Sunday 4 December 2016

Halusinasi Sapi Marif, Antara Buih dan Air

Indonesian Free Press -- Sebuah status Facebook milik seorang Ahoker non-Muslim menjadi viral di media sosial. Dalam status tersebut, Ahoker wanita ini dengan jujur mengungkapkan kebenciannya pada orang-orang Muslim yang menjadi pendukung Ahok namun tetap mempertahankan baju Islam-nya. Menurutnya hal itu merupakan bentuk kemunafikan dan pengkhianatan.

Salah satu 'halusinasi' para penganut Islam liberal adalah bahwa sikap mereka mendukung kelompok-kelompok minoritas non-Islam telah membuat mereka dicintai orang-orang non-Islam. Saking kuatnya 'halusinasi' tersebut hingga mereka dengan terang-terangan telah menselisihi Al Qur'an yang telah mengingatkan bahwa orang-orang non-Islam tidak pernah senang dan ridho kepada mereka hingga mereka meninggalkan Islam.

'Halusinasi' serupa telah menjangkiti mereka, orang-orang Islam yang telah menjadi pendukung Ahok. Seperti Sapi Marif yang telah menulis opini di Republika berjudul 'Antara Buih dan Air'. Mereka menyangka telah melangkah di 'jalan Tuhan', sementara sebenarnya mereka telah melangkah di 'jalan Iblis'. Sebagaimana Iblis yang juga berhalusinasi sebagai mahluk paling mulia. Padahal Tuhan telah menetapkan manusia-lah yang paling mulia di antara semua mahluk-Nya.

Sapi Marif, mohon maaf bila saya agak kasar memanggilnya. Bagi saya, kondisi Indonesia dan dunia saat ini adalah sebuah medan perang antara kebenaran dan kebatilan. Dan, dalam kondisi perang (dalam konteks Indonesia masih berupa perang pemikiran dan ide) halal melakukan tindakan-tindakan yang pada kondisi normal adalah dilarang. Seperti memaki dan mencaci lawan. Seperti Sahabat Nabi Abu Dujannah, yang mencaci maki orang-orang musrik Quraish di medan Perang Uhud, dan Allah dan Rosulullah meridhoinya. Di akhir perang Uhud, jasad Abu Dujannah dipenuhi dengan luka-luka setelah sebelumnya ia menjadikan tubuhnya sebagai tameng untuk melindungi Rosulullah.

Sapi Marif memang masih cukup sopan dengan tidak mengklaim pendapatnya tentang perumpamaan 'air dan buih' dalam tulisannya di Republika beberapa waktu lalu sebagai pihak yang membela Ahok dan yang menolak Ahok. Namun, tentu saja secara tersirat, dan itu adalah esensinya, ia telah mengklaim bahwa dirinya dan para pembela Ahok sebagai 'air' dan para penentang Ahok sebagai 'buih'. Lihat saja tulisannya:

"Teologi semacam ini muncul ke permukaan pada saat orang merasa berada dalam posisi tak berdaya. Karena tidak berdaya, akhirnya menjadi kalap dalam suasana mental yang sangat labil dan memilukan. Sebagian dunia Muslim sedang berkubang dalam suasana mentalitas kalah ini. Buih disangka air."

Dari tulisan itu tampak jelas bahwa Sapi Marif menganggap ummat Islam sebagai ummat yang 'tidak berdaya' dan sebagai konsekuensinya segala pemahaman mereka tentang segala hal serba salah. Termasuk pemahaman tentang kasus penistaan Al Qur'an oleh Ahok. Ini berangkat dari mental beliau yang masih mengidap sindrom 'inferior complex', yaitu orang-orang yang berasal dari kalangan marginal yang tiba-tiba masuk ke lingkaran kekuasaan. Dalam budaya Jawa disebut dengan istilah 'kere munggah bale'. Orang-orang yang mengidap penyakit ini akan melihat masa lalunya, lingkungan asalnya beserta semua isinya, termasuk manusianya, adalah keterbelakangan dan kebodohan. Di sisi lain ia melihat lingkungan barunya sebagai kemajuan.

Seperti sudah pernah ditulis oleh politisi Golkar Indra Piliang, Sapi Marif berasal dari sebuah dusun terpencil di Sumatera Barat yang bahkan belum memiliki aliran listrik. Namun kemudian ia berhasil memasuki lingkungan baru yang jauh lebih maju: kuliah di kota besar hingga mancanegara, kemudian menjadi tokoh masyarakat yang dihormati.

Sayangnya, banyak orang yang tidak siap mental menerima kemajuan yang serba cepat seperti ini. Mereka menjadi sombong karenanya. Mungkin saja Sapi Marif bukan orang yang 'matre' dan korup seperti pengakuan Indra Piliang, tapi yang pasti ia sangat menikmati kemasyuran dan penghormatan yang diterimanya, sehingga terbuai dan terus berhalusinasi. Lihatlah, bagaimana ia menyambut kedatangan Jokowi ke rumahnya pada masa kampanye pilpres 2014 lalu.

Meski ia tidak mengetahui pasti masa lalu Jokowi dan yang pasti JOkowi bukanlah seorang tokoh di bidang tertentu kecuali orang yang beruntung bisa mendapat tiket sebagai calon presiden, namun Sapi Marif menyambutnya bak seorang anak kandung yang sangat disayanginya. Sapi Marif menghormati Jokowi bukan karena prestasinya karena memang Jokowi belum berprestasi, atau karena ketinggian ilmunya, melainkan karena menganggap Jokowi adalah 'sesama anggota klub eksklusif'. Hal yang sama, di mata Sapi Marif, berlaku bagi Ahok. Tidak peduli bahwa Ahok adalah manusia yang akhlaknya buruk, yang penting ia adalah 'sesama anggota klub'.

Kalau saja Sapi Marif mau berintrospeksi, merendahkan dirinya di hadapan Tuhan dan menyadarkan diri dari halusinasinya. Ia akan melihat dengan jelas siapa manusia yang dibelanya mati-matian dan para pendukung lainnya. Ia akan bertanya, mengapa ia bersama orang-orang 'kafir' yang sebagaimana disebut dalal Al Quran amal-amalnya sia-sia seperti buih di laut, penggiat LGBT, manusia berakhlak rendah yang kencing sembarangan usai mengikuti aksi PKI 4-12, koruptor, dan manusia-manusia tamak yang  merampas sebagian besar kekayaan negara dan hanya menyisakan sedikit untuk yang lainnya.

Di sisi lainnya, ia akan melihat orang-orang yang dibencinya adalah orang-orang yang lemah-lembut, sayang-menyayangi sesamanya, yang bercucuran air matanya ketika disebutkan nama Allah, yang rela mengorbankan harta dan tenaganya untuk membantu peserta aksi 212 dan menangis setelah mengetahui harta dan tenaga yang dikeluarkannya masih kurang banyak. Ia juga akan melihat di antara yang dibencinya itu adalah anak kecil yang melakukan long-march dari Ciamis ke Jakarta dalam keadaan basah kuyup dan bertelanjang kaki karena sendal jepitnya putus beberapa kilometer sebelumnya. Ketika ia ditanya mengapa mau melakukan hal itu, ia pun menjawab bahwa apa yang dilakukannya adalah amal yang diperuntukkan bagi almarhum ayahnya.

Saya tidak yakin bahwa Sapi Marif akan bisa menangis mendengar kisah para peserta aksi 212 seperti saya menangis saat menulis artikel ini. Dan saya akan dengan bangga  bersaksi di hadapan Rabb kelak bahwa apa yang dilakukan peserta aksi 212 dan anak kecil dari Ciamis itu adalah 'air', dan apa yang dilakukan Sapi Marif dan para Jokower-Ahoker adalah 'buih'.(ca)

1 comment:

kasamago said...

Berdoa dan terus berharap, Allah SWT melindungi tegaknya kemuliaan Islam dlm menghadapi kebatilan di nusantara..