Saturday, 30 October 2010

Sang Terpilih (8)


Keterangan gambar: Pertemuan SBY dan George Soros di atas checkered floor, simbol freemasonry global.


Dari "organisasi" Subagyo banyak belajar "seni" berkuasa dengan tipu daya. Misalnya saja tentang subsidi BBM yang sebenarnya hanya ilusi belaka sebagaimana juga halnya dengan subsidi listrik. Selain pemerintah juga harus terus-menerus menekankan pentingnya investasi dan hutang luar negeri sedemikian rupa sehingga rakyat mengira tanpa itu semua perekonomian negara akan hancur.

Namun tidak ada ilusi yang lebih "canggih" daripada ilusi APBN. Dengan dalih demi memicu pembangunan, APBN harus dibuat sebesar mungkin hingga melebihi pendapatan negara. Untuk menutupi kekurangannya, pemerintah tentu saja berhutang ke lembaga-lembaga keuangan internasional yang notabene adalah sindikat bankir yahudi. Defisit APBN dan hutang luar negeri itu terjadi setiap tahun sedemikian rupa sehingga seolah-olah sebagai sebuah "kebijaksanaan yang arif" yang telah menjadi konvensi. Hanya karena akal sehat paling sederhana sekalipun tidak bisa menerima "hutang" dan filosofi "besar pasak daripada tiang" sebagai sebuah "kearifan", kebiasaan itu tidak ditetapkan sebagai undang-undang.

Sebagai contoh, target penerimaan negara tahun 2011 diperkirakan mencapai Rp 1.104 triliun. Jumlah yang sebenarnya cukup besar untuk mengurusi pemerintahan, membiayai penyelenggaraan birokrasi negara, membayar gaji aparat negara, dan membangun infrastruktur. Namun jumlah itu menjadi tidak berarti karena belanja negara dibuat melambung tinggi hingga APBN harus defisit 1,8% senilai Rp 127 triliun. Anggaran yang begitu tinggi itu sebagian besar darinya digunakan untuk membiayai hal-hal yang tidak penting, seperti proyek-proyek mubazir semacam pembangunan gedung baru DPR yang mencapai Rp 1,7 triliun dan rehab perumahan anggota DPR yang mencapai Rp 1 miliar tiap rumah, plesiran pejabat yang mencapai Rp 20 triliun, belanja baju dinas presiden yang mencapai Rp 70 juta per-bulan dsb. Bahkan dengan pemborosan-pemborosan itu semua, biaya penyelenggaraan negara sesungguhnya tidak mencapai Rp 1.000 triliun. Namun karena APBN telah ditetapkan dengan undang-undang untuk defisit, maka pemerintah tetap harus berhutang.

Dengan modus seperti itu kini hutang pemerintah Indungsia telah mencapai Rp 3 ribu triliun lebih dan bunga yang harus dibayar setiap tahun mencapai Rp 150 triliun. Dijamin hutang itu tidak akan pernah bisa lunas karena tidak akan pernah ada seorang presiden pun bisa melunasi hutang itu semua selama menjabat. Sebaliknya beban yang harus ditanggung rakyat, karena APBN dibiayai dengan pajak yang dibayar rakyat, semakin besar dari tahun ke tahun.

Sebelum APBN ditetapkan, sebelumnya perusahaan listrik negara (Pelina) mengajukan anggaran ke pemerintah dengan permintaan tambahan subsidi sebesar 15% dengan alasan untuk meningkatkan pelayanan. Permintaan itulah yang membuat APBN dinaikkan defisitnya dari 15% menjadi 18%. Namun di sini Pelina melakukan permainannya sendiri. Sebenarnya mereka tidak perlu meminta subsidi pemerintah jika saja mereka melakukan efisiensi. Namun alih-alih melakukan efisiensi, mereka terus menaikkan tarif listrik yang lucunya hampir selalu disetujui pemerintah dan DPR tanpa pernah melakukan audit terhadapnya. Tentu saja karena sebagian besar saham perusahaan listrik negara dikuasai anak-anak perusahaan milik anggota "organisasi", lagipula dengan itu semua permainan pat gulipat APBN berjalan lebih mudah.

Perusahaan minyak dan gas negara (Permigas) akhir-akhir ini melakukan permainan lainnya selain modus "subsidi". Demi memuluskan agenda "organisasi" untuk meningkatkan harga BBM setara harga internasional yang berarti keuntungan para anggota "organisasi" turut meningkat, Permigas melakukan "tekanan" untuk menghilangkan "subsidi" BBM yang selama ini diberikan kepada pengguna premium, BBM kelas paling rendah yang banyak dikonsumsi masyarakat kebanyakan. Namun tekanan itu dilakukan secara tidak fair. Untuk membuat masyarakat meninggalkan premium dan beralih menggunakan BBM yang lebih mahal, diam-diam mereka sengaja menurunkan kualitas premium. Dan meskipun sangat banyak masyarakat yang mengalami kerugian karena mesin kendaraan mereka mengalami kerusakan, pemerintah tidak pernah mengambil tindakan apapun untuk menghentikan aksi Permigas.

Sekedar tambahan, untuk semakin meyakinkan bahwa "organisasi" telah benar-benar menguasai BUMN-BUMN itu, CEO baru kedua BUMN telah menghapuskan segala hal yang terkait dengan nasionalisme Indungsia seperti misalnya kebiasaan mengadakan upacara bendera peringatan kemerdekaan setiap tanggal 17. BUMN telekomunikasi yang telah dimiliki "organisasi" melalui anak perusahaan di Malaysia dan Singapura bahkan telah mengganti logo perusahaan dengan simbol bintang daud yang sedikit disamarkan demi menghindari kecurigaan umat Islam. Simbol serupa juga sudah dipasang di atas gedung departemen keuangan saat Sri Mulyati masih menjadi menteri.

Dahulu para ekonom mengenalkan konsep DSR (Debt Service Ratio) sebagai indikator jumlah hutang luar negeri yang diperkenankan untuk mendukung perekonomian. Indikator ini merupakan rasio antara jumlah cicilan pokok dan bunga hutang luar negeri yang dibayar dengan nilai ekspor dalam satu tahun. DSR menunjukkan tingkat likuiditas yang dimiliki suatu negara untuk membiayai perdagangan luar negeri. Semakin tinggi DSR semakin tidak likuid perekonomian negeri tersebut sehingga hutang luar negeri harus diturunkan.

Namun seiring berjalannya waktu, jumlah cicilan pokok dan bunga hutang semakin besar jauh melebihi kenaikan ekspornya, sehingga DSR ikut membengkak. Tentu saja para pengamat ekonomi dan media massa mempersoalkan hal itu. Untuk mengatasi masalah itu, maksudnya agar agenda menjerumuskan negara ke lembah hutang dan membuatnya semakin tergantung pada "organisasi", tidak terganggu oleh gerutuan para ekonom dan media massa, maka pemerintah kemudian mengganti konsep DSR dengan DGR. Dengan konsep ini rasio nilai cicilan pokok dan bunga menjadi kecil karena tidak lagi dibandingkan dengan nilai ekspor, melainkan dengan GNP yang nilainya jauh lebih besar.

"Lihatlah, rasio hutang kita masih kecil, jadi biarlah kita menambah hutang lagi," demikian kira-kira yang dikatakan pemerintah kepada masyarakat yang tidak paham perihal masalah ekonomi. Media massa dan para ekonomi yang "telah terkooptasi", tentu saja diam membisu.

2 comments:

Riza Ahmad NN said...

Saya sangat menyukai artikel anda, teruskan dan tetap semangat Mas, saya belajar banyak dari Anda..

Dewandaru said...

DSR indungsia kok semakin membaik (menurun)? Menurut "cerita" anda kan DSR masih valid digunakan (daripada debt to gdp ratio)