Friday 11 January 2013

PERSPEKTIF LAIN KRISIS SYRIA

Lupakan tentang politik, sosial, budaya atau agama, demokrasi, HAM dll. yang menjadi penyebab terjadinya krisis berkepanjangan di Syria yang menurut PBB telah menelan sekitar 60.000 nyawa warga Syria dan membuat 1 juta penduduk lainnya harus meninggalkan kampung halamannya menjadi pengungsi di negara-negara tetangga. Ini sepenuhnya adalah sebuah "teori konspirasi". Teori konspirasi di sini adalah merujuk pada para dalang di balik fenomena ini, yang tidak pernah bergeser dari nama-nama para kapitalis berdarah yahudi, yang telah menjadi perhatian sejak puluhan hingga ratusan tahun lalu.

Hal inilah yang menjadi perhatian seorang blogger wanita Syria bernama Mimi Al Laham, yang mengungkapkan bahwa para bankir internasional-lah yang berada di balik krisis ini. Mimi, dengan berani mengungkapkan konspirasi jahat yang selama ini terabaikan dari pembahasan tentang krisis Syria.

Banyak orang dengan tegas menunjuk persekutuan Al Qaida dan para ekstremis wahabi-salafi dengan zionis barat serta Arab Teluk, namun hampir tak pernah tampak gambaran tentang Rothchild, Rofkefeller, dan para bankir internasional. Padahal jejak-jejaknya sangat jelas kelihatan selama berlangsungnya gerakan "Arab Springs" hingga krisis Syria yang merupakan bagian darinya.

Ketika perang Libya masih berlangsung sengit dan Khadafi masih kuat berdiri, salah satu hal pertama yang dilakukan pemerintahan transisi Libya dukungan NATO adalah mendirikan bank sentral di Benghazi yang didanai oleh para bankir internasional. Hal yang sama terjadi di Mesir. Salah satu kebijakan strategis yang pertama dilakukan oleh Presiden Mohammad Mursi adalah meminta pinjaman kepada IMF sebesar $4,8 miliar, dengan bunga tentunya. Sejak kapan organisasi Ikhwanul Muslimin (Mursi adalah tokoh organisasi ini) menghalalkan riba?

Hal ini tentu sangat kontras dengan kondisi sebelum revolusi dan Mesir masih dipimpin oleh Husni Mubarak. Meski bertindak otoriter, Mubarak tidak membebani rakyatnya dengan riba dari pinjaman asing. Sebaliknya, Mesir setiap tahun bahkan menerima dana "cuma-cuma" sebesar $3 miliar dari Amerika sebagai konsekwensi perjanjian damai Mesir dengan Israel.

Perbankan berbasis riba merupakan jantung dari kekuasaan para kapitalis yahudi yang secara efektif berhasil menjerat sebagian besar manusia ke dalam jebakan hutang yang tak terbayar. Sementara para kapitalis itu terus menumpuk kekayaan dari bunga yang dibebankan. Sebelum "Arab Springs" Tunisia, Libya, Mesir dan Syria adalah negara-negara yang bebas dari jeratan hutang perbankan asing. Kecuali Mesir, negara-negara itu juga telah menjadikan rakyatnya hidup makmur. Libya dan Syria misalnya, memberikan jaminan pendidikan dan kesehatan penuh kepada semua warganya. Di Libya perbankan dikuasai oleh pemerintah dan memberikan pinjaman tanpa bunga kepada rakyat yang membutuhkan tanpa perlu takut jika tidak bisa mengembalikan. Tidak hanya itu pemerintah Libya juga memberikan berbagai bentuk tunjangan kepada rakyatnya: tunjangan perkawinan, tunjangan kelahiran, tunjangan rumah, tunjangan kendaraan, tunjangan hidup bagi pengangguran, bantuan modal usaha dll. Semuanya itu otomatis hilang setelah berkuasanya bankir-bankir internasional. Hal yang saja kini mengancam rakyat Syria.

Satu hal lagi. Mereka yang menerima "bantuan" para bankir kapitalis asing itu harus mengembalikan hutangnya dalam bentuk dolar sebagaimana mereka menerima "bantuan". Untuk mendapatkan keuntungan ekstra besar selain bunga, sesekali para bankir itu menghancurkan pasar uang dan membuat nilai tukar dolar melonjak tinggi sehingga membuat hutang yang ditanggung negara penerima "bantuan" menjadi berlipat-lipat. Sama persis ketika terjadi krisis moneter tahun 1997 yang melanda Indonesia. Hasilnya adalah aset-aset nasional menjadi murah dan harus diobral kepada para kreditur asing itu.

Sebagai negara yang bebas dari jeratan hutang asing, Syria kini menjadi target serangan para bankir internasional dengan menggunakan tangan-tangan militer Amerika, NATO, Turki, dan negara-negara Arab pengkhianat sesama saudara.

Jika sebuah negara terbebas dari kendali keuangan asing, maka negara tersebut memiliki kemerdekaan untuk menentukan kebijakannya. Selama ini Syria menjadi negara yang kebijakan luar negerinya adalah anti-zionis dan anti-globali. Syria adalah satu dari sedikit negara yang tidak mengakui keberadaan negara Israel. Syria bisa melakukan ini karena Syria memiliki bank sentral yang bebas dari pengarung asing.

Syria juga terbebas dari pengaruh perusahaan-perusahaan raksasa agrikultur seperti Monsanto dan melarang keberadaan Genetically Modified Organisms (GMO, atau bibit-bibit tanaman yang termodifikasi untuk tidak bisa menghasilkan bibit setelah penanaman pertama). Setelah Irak diduduki pasukan asing pada tahun 2003, pemerintahan transisi mengeluarkan aturan "Bremer Orders" yang salah satu isinya adalah melarang para petani Irak menyimpan bibit semaian sendiri yang telah dikembangkan petani selama ratusan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan bibit itu petani harus membeli bibit-bibit GMO buatan Monsanto (adalah yahudi warga negara Amerika). Akibatnya para petani mengalami ketergantungan para Monsanto. Dan setelah terjadi ketergantungan, Monsanto akan menghisap darah para petani bagikan vampir.

Di India terdapat angka bunuh diri yang tinggi akibat ketergantungan mereka pada Monsanto. Setiap 1/2 jam terjadi kematian akibat bunuh diri petani, biasanya dengan cara meminum racun herbisida. Mereka tidak tahan menanggung beban bunga yang harus ditanggung setelah membeli bibit-bibit buatan Monsanto dengan bunga pinjaman hingga 50% atau bahkan 100%. Dan penderitaan petani tidak berhenti sampai di situ. Karena faktanya adalah bibit-bibit GMO itu juga menghancurkan kesuburan tanah mereka.

Kontrol atas suplai makanan kini juga menjadi alat kekuasaan para kapitalis global.

Blogger Syrian Girl alias Mimi Al Laham mengungkapkan bahwa sumber gas alam besar telah ditemukan di lepas pantai Syria dan telah ada rencana pembangunan pipas gas dari Iran melalui Irak dan Syria menuju Eropa. Para kapitalis yahudi tidak menginginkan hal itu terjadi karena memberi keuntungan besar kepada Iran maupun Syria.

Ada satu hal lagi, yaitu bebasnya Syria dari ketergangungan terhadap produk-produk asing. Pada satu saat Syria bahkan melarang Coca Cola beredar di sana.

Seruan "Free Syria" (seruan para pemberontak) pada dasarnya adalah seruan bagi terjadinya penjajahan atas rakyat Syria oleh para kapitalis asing. Sebagaimana Indonesia, Syria adalah negara yang berhasil membentuk rasa nasionalisme yang tinggi di antaranya penduduknya yang terdiri dari bermacam-macam agama. Namun semuanya hancur lebur dan berubah menjadi negara yang dilanda konflik sektarian setelah terjadinya campur tangan asing.

Namun tidak hanya para kapitalis global yang berperan dalam upaya penghancuran Syria, para zionis juga. Mereka ingin memastikan bahwa tidak ada lagi satu kekuatan di Timur Tengah yang bisa melawan mereka sebagaimana selama ini ditunjukkan rakyat Syria.



REF:
"'Syrian Girl' reveals truth behind Syria crisis"; Prof. Rodney Shakespeare; Press TV; 9 Januari 2013

4 comments:

Irysusanty (Halimeda) said...

mohon maaf bapak, bagaimana bila semua dikembalikan kepada Islam ?? Bagaimana bila revolusi berbeda dengan revolusi mesir, lybia dl. Namun benar-benar mengembalikan kepada institusi negara Islam ?

cahyono adi said...

Bagaimana revolusi yg Islami menurut Anda? Revolusi yg diikuti oleh pemilu "demokratis", atau yg lainnya?

qmal said...

tapi revolusi di Siria munafik,mengandalkan tangan2 kotor barat/nato/israel dalam meyebar fitnah demi tumbangnya Bashar Al ASad, di satu sisi ingin menegakkan khilafah(Alhamdulillah sampai hari ini belum terwujud, saya berdoa semoga khilafah tegak di bumi Saudi Arabia dimana rezim negara itu memang boneka amerika. bukan di Siria yang lebih banyak mendukung Islam terutama Palestina. Amin...

Unknown said...

Amin Ya Rabbal Alamin....