Friday 20 September 2013

INI BUKAN TERORIS, IDIOT! (2)

Setelah munculnya postingan pertama "INI BUKAN TERORIS, IDIOT!", saya pun melihat berita tentang Polri yang mengajak kerjasama BIN untuk membongkar aksi-aksi terorisme terhadap aparat kepolisian.

Itu semua hanyalah "lips service" belaka karena semuanya adalah by design. Sebagaimana saya pernah menantang polisi untuk membongkar kasus pencurian ratusan dinamit beberapa waktu lalu yang hingga sekarang tidak pernah bisa dibongkar, kali ini pun saya menantang polisi untuk mengungkap pelaku dan dalangnya serta motif di balik penembakan-penembakan polisi di keramaian Jakarta. 

Akhir-akhir ini warga Kota Medan kembali dibuat resah dengan aksi pemadaman listrik sesuka hati oleh PLN, tanpa pernah ada penjelasan dari PLN apalagi ganti rugi kepada masyarakat (meski PLN menerapkan kebijakan denda yang ketat untuk setiap keterlambatan pembayaran listrik). Tindakan PLN ini jelas telah menimbulkan dampak negatif yang luar biasa besar. Namun meski sudah terlalu sering terjadi, tidak pernah ada sanksi apapun terhadap para pejabat PLN. Dirut PLN masih bisa "cengengesan" di hadapan media massa, dan mantan dirutnya yang tidak pernah bisa mempertanggungjawabkan "inefisiensi" (istilah halus dari dugaan penggelapan atau korupsi) PLN senilai puluhan triliun rupiah, bisa melenggang menjadi kandidat presiden. Ruar wiasa!

Jika negara ini benar-benar masih memiliki tatanan hukum, sosial dan politik serta masih memiliki pemerintahan yang berfungsi melindungi kepentingan rakyat, tindakan PLN seperti ini tentu tidak akan terjadi. Di negara-negara barat, aksi pemadaman listrik seperti ini akan dianggap sebagai ketidak profesionalan perusahaan penyedia listrik dan para eskutif perusahaan tersebut pasti sudah dipecat dengan tidak hormat, atau dipaksa mengundurkan diri. Sedang di negara-negara totaliter seperti China, para pejabat perusahaan itu pasti sudah dihukum penjara karena dianggap melakukan tindakan subversif.

Maka tidak ada alasan lagi bagi aparat penegak hukum Indonesia untuk membiarkan para pejabat PLN seenak perutnya mematikan aliran listrik tanpa sanksi apapun. Polisi harus menangkap mereka. Kalau pun polisi menolak, TNI wajib untuk "mengamankan" mereka karena apa yang mereka lakukan sudah menimbulkan keresahan sosial dan kerugian ekonomi yang luar biasa besar.

Namun sayangnya saya harus pesimis hal itu bakal terjadi. "Big boss" PLN yang gagal menjelaskan inefisiensi (bahasa halus dari penggelapan) puluhan triliun dana PLN kini justru melenggang sebagai calon presiden. Rekannya, sesama menteri yang paling bertanggungjawab atas melambungnya harga barang-barang kebutuhan pokok dan membuat jutaan rakyat menderita karenanya (termasuk para pengusaha tempe yang menjerit setelah harga kedelai melonjak), di sisi lain tidak pernah bisa membuat satu kebijakan pun yang positif, juga melenggang sebagai kandidat presiden.

Maka tidak heran jika Harrison Ford berani bertingkah kurang ajar di kantor menteri kehutanan. Ia tahun betul bahwa ia tidak akan tersentuh hukum di negeri ini, bahkan untuk sekedar mengusirnya sebagai orang yang tidak disukai (persona non-grata). Dan benar, ia bahkan mendapat kehormatan untuk bertemu dengan Presiden SBY, dan Presiden SBY pun dengan sangat hormat menggenggam tangannya erat-erat sebagaimana 2 orang bersaudara yang sudah lama tidak bersua.

Baik Harrison Ford, para teroris penembak polisi di Jakarta dan penembak Kopassus di Papua (herannya mereka tidak pernah disebut sebagai teroris, melainkan "kelompok bersenjata"), "Boss" dan "Big Boss" PLN, serta menteri perdagangan yang tidak pernah membuat prestasi melainkan membuat harga barang-barang melonjak, tapi bisa melenggang sebagai calon presiden, mereka adalah orang-orang yang sama, yang terikat pada satu persaudaraan rahasia penyembah dajjal.

No comments: