Wednesday 31 May 2017

Tangan-Tangan Setan Masih Mencengkram Iran (4)

Indonesian Free Press -- Pada bulan September 2013, Menlu Iran Javad Zarif membuat kicaun di Tweeter, "Happy Rosh Hashanah", merujuk pada Tahun Baru Yahudi.

Hal itu memancing respons luas di antara pengikutnya, di antaranya Christine Pelosi, putri dari politisi senior Amerika yang dikenal sebagai pendukung berat zionis, Nancy Pelosi. Christine membalas kicauan Zarif: "Terima kasih. Namun tahun baru akan semakin manis bila Anda mengakhiri penolakan terhadap holocaust, Tuan."

Tanpa diduga Christine Pelosi, ia mendapat respons dari Zarif: "Iran tidak pernah menolak holocoust."

Lebih mengejutkan lagi Zarif menyindir Ahmadinejad, mantan Presiden Iran dari kubu konservatif yang dikenal sebagai penolak mitos holocoust.


"Orang yang dianggap sebagai penolak (holocoust) kini telah pergi. Selamat tahun baru," kicau Zarif.

Sampai setengah tahun yang lalu saya juga tidak akan percaya dengan kabar ini. Seorang pejabat senior Iran berkomunikasi dengan seorang zionis, bahkan memberikan ucapan selamat kepada para zionis, sangat jauh dari pikiran saya. Saya juga tidak pernah berfikir bahwa sebagian elit penguasa di Iran adalah hasil didikan Barat.

Faktanya adalah, Javad Zarif selama 11 tahun tinggal di Amerika menyelesaikan pendidikan sarjana hingga doktornya. Dua anak Zarif lahir di Amerika. Maka saya tidak bisa membantah begitu saja 'tuduhan' editor Veterans Today Kevin Barrett, bahwa Zarif sebenarnya memiliki kewarga-negaraan ganda, Iran dan Amerika.

Bagaimana dengan Presiden Iran, Hassan Rouhani? Ia juga lulusan universitas di Glasgow, Skotlandia, Inggris. Dipastikan masih banyak lagi pejabat-pejabat penting yang menempuh pendidikan di negara yang dijuluki sebagai 'setan besar' oleh pendiri Republik Islam Iran, Amerika.

Tahun lalu biro penyidik federal Amerika FBI menyidik keterlibatannya dengan Yayasan Alavi yang oleh pemerintah Amerika dituduh bekerja untuk pemerintah Iran dengan fungsi melakukan tindakan 'cuci uang' sebagai langkah menyiasati kebijakan sanksi Amerika untuk Iran. Ini seperti bisnisnya jutawan Babak Zanjani, yang dengan kedekatannya dengan jaringan keuangan internasional dan elit pemerintah Iran, membantu pemerintah Iran mengais uang pendapatan minyak yang tertahan karena sanksi Amerika.

Namun, jika nasib Babak berakhir tragis di tiang gantungan untuk menghilangkan jejak permainan kotor elit penguasa Iran, tidak demikian dengan Zarif. Ia dibebaskan dari jeratan hukum Amerika setelah Yayasan Alavi yang dipimpin Zarif menyerahkan bangunan 36 lantai dan sejumlah properti lainnya di Amerika kepada pemerintah Amerika.

Meski sama sekali tidak terlibat dalam gerakan Revolusi Iran tahun 1979, karena sejak tahun 1977 Zarif tinggal di Amerika, namun Zarif bersama sejumlah mahasiswa asal Iran melakukan tindakan pendudukan atas kantor Konsulat Iran di San Francisco dengan mengklaim sebagai pendukung Revolusi Iran yang anti Regim Shan Pahlevi. Mereka menuduh para diplomat Amerika sebagai 'kurang Islami', dan untuk itulah mereka harus diganti.

Zarif dan teman-temannya juga melakukan langkah yang sama terhadap Kedubes Iran untuk PBB. Untuk menghentikan langkah Zarif, kedubes Iran di PBB pun menawarinya pekerjaaan sebagai diplomat. Dan sejak saat itu, seperti ditulis Don Melvin, CNN, tanggal 3 April 2015 berjudul '6 lesser-known facts about Iran's Foreign Minister Javad Zarif', Zarif menghabiskan banyak waktu bersama John Kerry, yang kemudian menjadi capres dan terakhir menjadi Menlu Iran.(ca)



(bersambung)

No comments: