Indonesian Free Press -- Tidak ada senjata yang paling mencengangkan dibandingkan senjata ini: rudal jelajah supersonik yang bisa terbang tanpa batas jarak dan waktu. Rudal ini bisa terus terbang di angkasa, meliuk-liuk di ketinggian rendah untuk menghindari deteksi radar lawan, selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun tanpa kehabisan bahan bakar karena digerakkan dengan energi nuklir yang dihasilkan oleh reaktor nuklir mini di dalam rudal tersebut.
Ketika Presiden Rusia Vladimir Putin mengumumkan keberadaan rudal ini di gudang persenjataan Rusia dan siap ditembakkan sewaktu-waktu bila dibutuhkan, hampir semua orang tidak mempercayainya kecuali sebagian kecil orang. Dan orang-orang itu adalah militer Amerika.
Seperti dilaporkan oleh JOSEPH TREVITHICKMARCH di situs The War Zone, 2 Maret, Amerika sudah lama mengamati pengembangan senjata ini oleh Rusia. Amerika bahkan juga telah lama terobsesi dengan senjata ini dan telah mencoba mengembangkannya sejak tahun 1950 dan 1960-an.
"Ada sejumlah laporan bahwa pemerintah AS secara aktif memata-matai proyek Rusia ini dan bahwa sebagian besar atau semua ujicoba penerbangan rudal-rudal ini mengalami kegagalan. Maka, menjadi pertanyaan tentang keamanan dan kelayakan senjata ini, sebagaimana pertanyaan mengapa para pejabat Amerika menyembunyikannya," tulis laporan itu.
Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pidatonya tanggal 1 Maret mengklaim bahwa Rusia telah berhasil mengujicoba rudal ini pada akhir tahun 2017. Namun, hanya beberapa jam kemudian seorang pejabat militer Amerika yang tidak disebutkan namanya mengatakan kepada CNN, bahwa senjata semacam itu belum bisa dioperasikan sepenuhnya untuk saat ini.
"Amerika telah mengamati sejumlah kecil ujicoba senjata rudal jelajah bertenaga nuklir Rusia dan semuanya mengalami kegagalan,” kata sumber tersebut kepada CNN.
Fox News, melalui pernyataan sumber militer Amerika lainnya juga mengklaim senjata itu baru pada tahap ujicoba dan penelitian dan bahwa salah satu ujicoba yang digelar di Arctic mengalami kegagalan.
Di sisi lain, Jubir Kemenhan Amerika (Pentagon) Dana White, dalam konperensi pers rutin yang digelar pada hari yang sama dengan pidato Putin, menolak berkomentar tentang klaim Rusia tersebut. Meski demikian, dengan tegas ia mengatakan bahwa semua itu 'tidak ada yang baru'.
"Senjata-senjata itu, yang tengah menjadi pembicaraan, telah dikembangkan Amerika sejak lama. Kajian kekuatan nuklir kita telah mempertimbangkan hal ini.”
Namun, faktanya dalam laporan Nuclear Posture Review (NPR) yang dirilis bulan Februari lalu, tidak disebut-sebut tentang senjata ini, meski beberapa senjata terbaru Rusia lainnya disebutkan. Termasuk glider hipersonik rudal ballistik dan drone bawah laut bertenaga nuklir yang disebut sebagai 'Kanyon' atau 'Status-6'.
Demikian juga dalam laporan tentang 'program-program rudal jelajah dan ballistik dunia' yang dirilis U.S. Air Force’s National Air and Space Intelligence Center pada Juni 2017 tidak disingungg tentang senjata ini. Maka, bila Amerika mengetahui ujicoba-ujicoba senjata Rusia ini dan merahasiakannya dari publik, hal ini patut dipertanyakan. Terlebih karena senjata ini, yang memiliki reaktor nuklir mini di dalamnya, memberikan dampak lingkungan yang serius.
Menurut The War Zone, pada tahun 1960-an Amerika telah mengembangkan senjata Supersonic Low Altitude Missile (SLAM) dengan mesin ramjet yang digerakkan dengan tenaga nuklir, sama dengan senjata yang diklaim Rusia. Dalam pengembangan ini disimpulkan bahwa secara teknis senjata ini bekerja, namun secara praktis tidak memungkinkan. Untuk membuat reaktor mini yang bisa disimpan di dalam rudal, sejumlah elemen penting harus dibuang, seperti lapisan pelindung radiasi. Hal ini membuat senjata ini dianggap membahayakan keselamatan. Bahkan, dengan ukuran paling kecil, senjata ini akan lebih besar dari pesawat F-16.
Namun, dalam perkembangannya teknologi reaktor nuklir telah memungkinkan pembuatan reaktor dengan ukuran lebih kecil dan Rusia dipercaya telah mengembangkan teknologi ini. Meski untuk itu sejumlah besar radiasi nuklir telah dilepaskan oleh Rusia, demikian laporan itu menyinggung.(ca)
No comments:
Post a Comment