By Ahmad Bay Lubis (Advokat, Ketua TAHAP, Pemerhati Hukum)
Ini
bukan rasis. bukan soal toleran atau intoleran. Ini bukan soal cemburu
buta, bukan soal agama atau etnis tertentu. Anda jangan salah faham bro.
Masalah yang ingin disampaikan adalah soal Sinar Mas Group, pemilik 5
juta hektar tanah di Indonesia (sumber: keterangan Hafid Abbas,
Komisioner Komnas HAM beberapa saat yang lalu di infodetik.com). Lalu apa masalahnya…?
Pertama
soal keadilan. Bagaimana mungkin ada keadilan yang riel bisa dirasakan
warga negara, manakala ada orang tertentu memiliki tanah 5 juta hektar
(Sinar Mas Group) tapi pada saat yang sama, banyak warga negara yang
masih terlunta-lunta tak punya tanah barang sepetak pun. Di manakah
letak keadilan negara bagi warganya yang miskin papa tanpa tak punya
tanah pertapakan rumah dan tak punya lahan untuk diolah, sementara Sinar
Mas Group (SMG) punya tanah 5 juta hektar. Lahan dengan luas 5 juta
hektar itu setara dengan 50 milyar meter persegi, sedangkan kaum Marhein
zaman now masih banyak melimpah ruah yang tak punya tanah, tapi negara
membiarkannya. Dengan demikian, negara tidak mampu mewujutkan keadilan
bagi warganya.
Kedua soal Filsafat Kenegaraan. Salah
satu tujuan merdeka dari penjajahan Belanda yang telah diperjuangkan
dengan darah dan air mata itu adalah merdeka secara ekonomi dan meraih
kesejahteraan yang seadil-adilnya bagi seluruh warga. Inlander yang
terjajah itu berhasrat dan bermimpi suatu saat kelak setelah merdeka
hidup bisa lebih baik dan lebih sejahtera. Harkat dan martabat ekonomi
kaum inlander ini bisa lebih maju dari waktu-waktu dahulu ketika masih
terjajah. Para founding father republik menyadari cita-cita dan mimpi
rakyatnya. Kesadaran itupun dituangkan dalam sila ke-5 Pancasila,
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia dan Pasal 33 UUD-1945.
Keadilan sosial yang dimaksudkan sudah barang tentu keadilan dalam
bentuk distribusi kepemilikan tanah. Bumi menurut Pasal 33 ayat (3)
UUD-1945 itu adalah tanah yang semestinya dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Saya sebagai rakyat ingin bertanya kepada
Presiden Joko Widodo, bagaimana mungkin rakyat bisa makmur jika rakyat
tak punya tanah untuk diolahnya secara ekonomi sementara SMG bisa punya
tanah sampai 5 juta hektar? apakah ini cita-cita kemerdekaan itu?
Ketiga
soal Panduan PBB. Mengutip apa yang disampaikan Hafid Abbas tersebut,
bahwa berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015 menyebutkan
sebanyak 74 % tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2% penduduk, termasuk
SMG yang kuasai 5 juta hektar. Jika SMG dan para taipan lainnya (0,2 %
penduduk) menguasai 74 % tanah, maka sisanya hanya 26 % tanah yang
dibagi kepada 99,8 %. Tanah yang 26 % ini yang diperebutkan oleh 99,8 %
penduduk. Pasti banyak orang miskin yang tak kebagian tanah. Orang-orang
miskin yang tak kebagian tanah ini akan miskin permanen secara
statistic. Orang-orang miskin ini yang sama sekali tak pernah berjumpa
dengan “kemerdekaan” itu. Ini tidak adil dan rawan. Ledakan kemarahan
sosial dapat terjadi kapanpun. Oleh karena itu, Negara harus arif dan
bijaksana. Jangan biarkan kemarahan sosial meledak dan mengoyak bangsa
hanya gara-gara ingin menyenangkan 0,2 % penduduk yang boleh jadi tak
pernah ikut merasakan pahit getirnya berjuang untuk kemerdekaan bangsa.
“Boleh dilakukan penggusuran terhadap mereka yang memiliki tanah yang
terlalu luas ini untuk dikasih ke orang miskin. Itu menurut panduan PBB,
indah sekali” (Hafid Abbas).
Keempat soal Penegakan
Hukum. Dalam rangka landreform, negara melarang adanya kepemilikan atau
pengusaan tanah secara berlebihan atau melebihi batas. Oleh karena itu
kepemilikan atau penguasaan tanah oleh seseorang atau badan hukum,
khususnya tanah pertanian, dibatasi oleh negara. Di daerah yang tidak
padat penduduk, batas maksimal kepemilikan tanah pertanian adalah 15
Hektar untuk tanah sawah dan 20 hektar untuk tanah kering. Hal
pembatasan ini di atur dalam Pasal 17 UUPA jo UU No. 56 Prp 1960 jo
Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No. 18 Tahun 2016.
Jika
di lihat dari ketentuan hukum agraria tadi, maka dapat dipastikan bahwa
Sinar Mas dan tuan tanah lainnya sesungguhnya telah berada di luar
mainstream politik agraria negara. Negara seakan-akan tak berdaya oleh
para tuan tanah atau negara sengaja menutup mata pura-pura tak tau
masalah. Dalam kasus ini saya lebih percaya bahwa Negara c.q Pemerintah
hanya menutup mata dan tidak responsif.
Rezim saat
ini perlu diingatkan, saya tidak bermaksud mengkritisi, tetapi
mengingatkan bahwa Negara c.q Pemerintah mestinya tetap menjaga
idealisme untuk selalu hadir buat rakyatnya dan menjaga keadilan
distribusi tanah untuk rakyat, dan pada saat yang sama dituntut untuk
menegakkan politik hukum agraria agar jangan terjadi groot-grondbezit
pada golongan tertentu, dan golongan rakyat miskin (jumlahnya mayoritas)
menjadi hilang harapan kepada negara, akhirnya menemukan caranya
masing-masing sehingga ledakan sosial tak dapat dihindari. Lakukan
sesuatu buat rakyat, sebelum semua jadi terlambat.
Beberapa
hari lalu, Selasa malam 26 Februari 2018, para aktifis hukum telah
bertemu dan sepakat akan mengambil langkah hukum, akan mengajukan
citizen law suite dalam waktu dekat. Djoko Edhi Abdurrahman memberikan
rumus citizen law suite untuk melawan Sinar Mas dengan legal standing
berdasarkan cluster nasional, berjumlah sekitar 1500 orang legal
standing. Legal standing tersebut dikelola oleh koalisi LBH, di
antaranya Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Nahdlatul Ulama se Indonesia.
2 comments:
Waduh...keterlaluan nih, negara pura2 buta. Tanah seluas itu hanya dimiliki SINAR MAS GROUP, terus negara ngapain kok hanya diam ??
Keadaan negara sudah saatnya di rombak total..reset dr awal
Post a Comment