Saturday, 30 August 2008

Mengapa Simbol Bulan Sabit?


Sebagaimana keyakinan hampir semua umat Islam di seluruh dunia mulanya saya percaya 100% bahwa bulan sabit adalah simbol asli Islam yang telah digunakan sejak masa awal Islam. Keyakinan ini semakin kuat mengingat bahwa dalam Islam semua keyakinan dan ibadah memiliki dasar historis theologis yang kuat, yaitu Al Qur’an dan sunnah Rosulullah.

Namun keyakinan itu agak goyah saat saya membaca buku Bloodline of the Holly Grail karya Laurence Gardner. Dalam buku itu tercantum beberapa simbol paganisme (budaya penyembahan berhala sebelum Islam). Salah satu simbol itu adalah bulan sabit. Sejak itu aku berusaha bertanya sejarah asal-usul simbol tersebut kepada orang-orang yang kupikir memahami agama Islam. Namun tak seorangpun bisa menjelaskan dalil yang kuat. Tidak ada ayat Al Qur’an, hadits Rosulullah dan buku-buku sejarah Islam klasik yang menyinggung soal itu. Karena itulah aku meninggalkan keyakinan simbol bulan sabit sebagai simbol Islam karena dalam Islam, tidak ada satu keyakinan pun yang patut diikuti tanpa dalil yang kuat.

Dan akhirnya aku berhasil mendapatkan pengetahuan tentang asal-usul simbol itu di Wikipedia. Menurut situs ini simbol bulan sabit merupakan simbol kuno yang sudah ada jauh sebelum Islam datang. Simbol itu telah digunakan oleh bangsa-bangsa kuno di Persia, Turki, Yaman, dan Ethiopia. Bukti-buki sejarah berupa pecahan mata uang logam kuno mencatat bahwa simbol itu telah digunakan oleh bangsa Yunani yang tinggal di kota Byzantium (sekarang Istambul) pada abad IV sebelum masehi. Menurut legenda pada tahun 339 sebelum masehi penduduk kota itu berhasil mengalahkan pasukan Machedonia. Sebagai penghormatan kepada dewi pujaannya, Artemis, mereka mulai menggunakan simbol bulan sabit yang merupakan simbol dewi Arthemis.

Bangsa Romawi juga menggunakan simbol itu sebagai penghargaan kepada dewi Diana saat berhasil mengalahkan bangsa Goth. Dan saat kaisar Konstantin menyatakan agama Kristen sebagai agama resmi kerajaan Romawi, ia menambahkan simbol bintang sebagai penghargaan kepada Virgin Mary, ibunda Yesus. Sejak itulah simbol bintang melekat pada bulan sabit. Dan setelah bangsa Turki Ottoman berhasil merebut Byzantium abad XV, mereka mengadopsi simbol itu. Namun bangsa Turki bersikukuh bahwa simbol itu mereka ciptakan sebagai penghormatan kepada para prajurit Turki yang tewas dalam perang di Balkan setelah pendiri Turki Ottoman, Usman I, melihat genangan darah membentuk gambar bulan sabit di dada seorang prajuritnya yang tewas di Semenanjung Balkan.

Tulisan ini sekedar untuk mengingatkan bahwa sebenarnya banyak sekali pandangan-pandangan keliru di kalangan awam umat Islam yang mereka terima begitu saja dari para pendahulu mereka. Namun karena telah mendarah daging terwariskan berabad-abad, pandangan telah menjadi dogma yang terkadang bahkan mengalahkan dalil-dalil yang kuat. Sebagai contoh adalah pandangan umum bahwa Nabi Isa tidak pernah menikah dan punya anak. Pandangan ini sama sekali tidak memiliki dalil yang kuat. Tidak dalam Al Qur’an maupun hadits. Sebaliknya Al Qur’an justru menyatakan para Rosul memiliki istri-istri dan keturunan (QS. Ar-Rad: 38). Kajian sejarah dan teks Injil juga mendukung dalil Al Qur’an tersebut.

Dan bila dianalisis secara mendalam keyakinan Nabi Isa berselibat (tidak pernah menikah) merupakan keyakinan yang diwariskan dari keyakinan Kristen yang memang telah cukup mapan di kalangan penduduk Arab sebelum Islam.

Keyakinan keliru lain yang tidak memiliki dasar namun terpendam sangat mendalam di hati sebagian besar umat Islam adalah keyakinan bahwa semua sahabat Rosulullah adil dan bijaksana. Keyakinan ini selain tidak memiliki dalil yang kuat dalam Al Qur’an dan hadits, tentunya justru bertentangan dengan Al Qur’an yang berkali-kali menyebutkan adanya orang-orang munafik di antara sahabat Rosulullah. Kajian sejarah Islam juga menunjukkan banyaknya sahabat yang munafik dan memusuhi Rosulullah dan keluarganya.

Lagi, Ironi Amerika


"Having used this freedom-shibboleth,we shall erase that word from the lexicon; when we come into our kingdom. Freedom of the Press, of speech, of association and conscience must disappear forever . . We define freedom as the right to do that which the law allows; this serves our aim very well, for we shall make the laws!" (Protocols Learned Elders of Zion)

Anda mungkin pernah menonton film yang mengisahkan sebuah negara yang dipimpin oleh sekelompok penguasa bengis. Untuk mengawasi rakyatnya setiap saat sehingga tidak punya kesempatan untuk memberontak, mereka mencangkokkan satu alat pelacak pada tubuh semua rakyatnya. Sehabis menonton film itu mungkin Anda akan mendesah: ah hanya sebuah film.

Tunggu dulu, itu bukan hanya sebuah cerita film bohong-bohongan. Sebuah negara akan menerapkan hal yang sama dengan penguasa bengis dalam film tersebut: menanamkan chip dalam tubuh semua warga negaranya sehingga bisa dilacak keberadaan mereka setiap saat. Chip yang ditanamkan dalam tubuh tersebut disebut Radio Frequency Identity (RFID), dan undang–undang yang mendasari penanaman chip tersebut adalah “undang-undang identitas sebenarnya”, Real ID Act. Adapun negara yang menerapkan undang-undang tersebut adalah Amerika, negara yang selama ini mengklaim sebagai kampiun demokrasi.

Belum reda dari kegemparan-kegemparan yang dibuat oleh karya-karya kontroversial yang dibuat oleh Pat Robertson, Michael Moore, John Perkins, dan Collins Piper, tahun lalu dunia dikejutkan lagi dengan karya film dokumenter berjudul “America: From Freedom to Fascism” karya sutradara Aaron Russo. Film ini mengupas tuntas proses pembusukan Amerika dari sebuah bangsa demokratis menjadi negara paling fasis dalam sejarah manusia, lebih fasis dari regim-regim fasis yang terkenal dalam sejarah: Hitler-Jerman, Mussolini-Italia. Pada akhir filmnya Aaron menghimbau rakyat Amerika untuk melakukan “pemberontakan” dengan menyerukan beberapa hal berikut:
• Penghapusan sistem Bank Sentral.
• Penghapusan sistem penghitungan suara elektrik dalam pemilu, hal kontroversial yang mengantarkan kemenangan presiden Bush tahun 2000.
• Penghapusan sistem politik yang dimonopoli oleh dua partai politik: Demokrat dan Republik.
• Mengkaji kembali dasar-dasar hukum penerapan pajak penghasilan yang diterapkan.
• Mendorong sistem hukum yang independen.
• Mengembalikan cadangan emas Amerika ke tempat semula (Fort Knox) dan mengauditnya.
• Menolak undang-undang Patriot Act yang telah mengkebiri kebebasan warga dengan mengijinkan aparat keamanan menyadap semua sarana telekomunikasi milik masyarakat.
• Menolak beberapa RUU “penindas kebebasan” lainnya yang bakal disyahkan, yaitu, Real ID Act.

Baru-baru ini di Indonesia dan di sebagian besar dunia tengah beredar luas buku berjudul “Dinasti Bush, Dinasti Saud” karya Craig Unger. Buku ini patut dicurigai karena isinya melegitimasi Tragedi WTC sebagai aksi terorisme yang didalangi Osama bin Laden. (Tragedi WTC sebagai rekayasa Amerika sendiri untuk melegitimasi politik ekapansi Amerika di dunia, terutama timur tengah, sudah terlalu telanjang). Yang membuat buku ini menarik adalah karena mengupas hubungan dekat antara keluarga Presiden George Bush dengan keluarga kerajaan Arab Saudi, keluarga Saud dan menyimpulkan Amerika saat ini di bawah kendali kerajaan Saudi.

Tentunya kesimpulan itu bagaikan jauh panggangan dari api dan menyembunyikan fakta sebenarnya. Apa yang menjadi daya tekan Arab Saudi terhadap Amerika sehingga dapat “menguasai” Amerika? Saudi tidak mempunyai kelompok penekan (lobby) yang kuat di Amerika. Saudi tidak mempunyai jaringan inteligen yang kuat di Amerika. Saudi tidak memiliki jaringan media yang kuat di Amerika. Kalaupun keluarga Bush berada dalam “genggaman” keluarga Saud karena hutang jasa, itu jauh dari cukup untuk membuat Amerika “ditaklukkan”, karena bahkan keluarga Bush sendiri tidak ada apa-apanya dibandingkan orang-orang Yahudi. Dalam suatu masa, Presiden George Bush Sr, bahkan nyaris menjadi presiden lain yang dibunuh agen-agen Yahudi setelah Abraham Lincoln dan John F Kennedy.

Dalam buku The Other Side of Deception yang dirilis tahun 1994, mantan agen Mossad, Victor Ostrovsky mengungkapkan, Mossad merencanakan membunuh Presiden Bush dalam sebuah konperensi internasional di Madrid tahun 1991 karena “berkhianat” terhadap kepentingan Israel dengan menarik pasukan Amerika dari Irak usai Perang Teluk I. Modusnya dengan melepaskan tiga tiga orang “teroris” Palestina di Madrid, melepasnya di lokasi konperensi dan membunuhnya sekaligus bersama Presiden Bush. Rencana itu gagal karena Ostrovsky membocorkan rencana itu kepada rekan Presiden Bush, Senator Pete McClosky yang selanjutnya menyampaikannya ke Dinas Keamanan. Hanya karena kekuatan Yahudi di Amerika, rencana jahat itu tidak terekspos ke media massa. Tapi yang jelas Presiden Bush gagal memperpanjang kekuasaannya dan harus menyerahkan kursinya kepada Bill Clinton setelah orang-orang Yahudi menarik dukungan terhadapnya.

Anda mungkin pernah menonton film “Clear and Present Danger” yang dibintangi aktor Harrison Ford. Dalam film itu digambarkan seorang opsir dinas inteligen asing Amerika, CIA, menemukan konspirasi jahat yang melibatkan rekannya, pimpinannya hingga presidan Amerika. Pada akhirnya sang pejabat CIA berhasil membongkar kejahatan itu meskipun telah digertak oleh Presiden Amerika sekalipun. Cerita itu mirip dengan satu kasus sebenarnya yang telah terjadi di CIA dimana seorang opsirnya menemukan sebuah konspirasi jahat yang tidak saja membahayakan rakyat Amerika, namun juga masyarakat dunia. Namun berbeda dengan cerita di film, dalam kasus yang sebenarnya ini sang opsir tewas dalam kasus pembunuhan yang tidak pernah terungkap. Begini ceritanya:

Pada tahun 1970-an orang-orang Yahudi, baik di Israel maupun Amerika merasa cemas terhadap kemungkinan tercapainya perdamaian antara Amerika dan Uni Sovyet setelah 30 tahun lebih terlibat “Perang Dingin”. Dengan perdamaian itu maka dipastikan perlindungan Amerika kepada Israel sebagai “sekutu terpercaya penangkal komunisme di Timur Tengah” akan menurun sehingga pada akhirnya keamanannya terancam oleh negara-negara Arab yang memusuhinya. Untuk itu lobby Yahudi merasa perlu merubah konstelasi politik dunia sehingga “Perang Dingin” tetap terus berlanjut dengan intensitas yang tinggi. Namun hal itu mendapatkan kendala dari CIA sebagai penyuplai resmi data inteligen Uni Sovyet ke dalam negeri Amerika sebagai bahan perumusan kebijakan luar negeri Amerika. Ini tidak lain karena CIA, berdasarkan analisisnya, menganggap Uni Sovyet tidak dalam posisi siap untuk melakukan konfrontasi dengan Amerika di belahan dunia manapun.

Langkah awal untuk “menyingkirkan” CIA dilakukan tahun 1974 melalui pernyataan Prof. Albert Wohlstetter, seorang ilmuwan University of Chicago yang dikenal sebagai arsitek strategi nuklir Amerika sekaligus pendukung kuat Israel, yang isinya mengecam analisa inteligen CIA yang meremehkan kemampuan Sovyet. Berdasarkan pernyataan Wohlstetter itulah orang-orang Yahudi, baik yang ada di birokrasi pemerintah maupun di Kongres yang dimotori oleh Senator Henry M Jackson dan Richard Perle, menuntut penyidikan atas hasil analisa CIA tersebut. Atas desakan tersebut Presiden Ford pada tahun 1976 membentuk komisi independen yang bertugas mengevaluasi analisa yang dibuat oleh seksi internal CIA, National Intelligence Officers atau disebut “Tim A”. Adapun komisi independen tersebut disebut sebagai “Tim B”. Tim baru tersebut dipimpin oleh Yahudi kelahiran Rusia dan profesor di Harvard, Richard Pipes. Anggota lainnya termasuk Paul Wolfowitz. Untuk menjembatani “Tim A” dan “Tim B”, George Bush Sr yang saat itu Direktur CIA, menunjuk John Paisley.

Pada tahun 1978 “Tim B” menyelesaikan laporan evaluasi dengan kesimpulan yang bertolak belakang dengan kesimpulan “Tim A”, yaitu: Uni Sovyet, karena alasan ancaman krisis bahan bakar, merencanakan invasi atas Iran atau negara-negara teluk lainnya yang saat itu menjadi sekutu Amerika.

Meski laporan tersebut rahasia, tapi Paisley berhasil mendapatkan kopinya. Selanjutnya ia bermaksud membuat laporan tandingan yang isinya mengkonter analisa “Tim B”. Namun sebelum ia menyelesaikan laporannya, ia ditemukan tewas terbunuh. Menurut keterangan Richard Clement, mantan pimpinan Inter-agency Committee on Counter Terorism (Komite Antar-Lembaga untuk Kontra Terorisme) pada masa Presiden Reagan, sebagaimana dimuat di majalah The Spotlight, kalangan inteligen sebenarnya mengetahui Paisley dibunuh oleh dinas inteligen Israel, Mossad. Namun karena pengaruh Yahudi, tidak seorangpun, termasuk anggota Kongres, berani membuka suara.

Setelah pembunuhan Paisley, “Tim B” semakin berkuasa menentukan arah kebijakan politik luar negera Amerika. Menurut John Ehrman dalam sebuah laporan ilmiahnya: The Rise of Neoconservatism: Intellectual and Foreign Affairs, “Tim B” berhasil membentuk Committee of Present Danger sebagai kepanjangan tangan mereka. Komisi ini pada dasarnya hanya mewakili kepentingan lobby Yahudi, industrialis militer dan birokrat neo-konservatif pendukung Israel. Para anggota “Komisi B” sangat aktif mendukung Ronald Reagan pada masa kampanya. Dan setelah Presiden Reagan meraih kursi presiden, “Tim B” secara resmi menjadi “Tim A”.

Penulis masih ingat, pada tahun 1980-an pernah terbit buku yang cukup menggemparkan masyarakat barat. Buku itu berjudul “Inside the Sovyet Army” karangan seorang mantan perwira KGB yang membelot ke Inggris. Penulis beruntung mendapatkan buku tersebut di toko buku bekas di Yogya saat masih kuliah. Buku itu sangat menghebohkan saat dirilis karena menyatakan pasukan Uni Sovyet tengah bersiap untuk melalukan invasi ke Eropa Barat. Sebagai gambaran kesiapan tersebut disebutkan beberapa unit pasukan tank Sovyet tidak pernah menghentikan mesinnya untuk menjaga kondisi tetap hangat sehingga setiap saat dapat digerakkan untuk melakukan penyerangan. Buku itu juga melebih-lebihkan kekuatan militer Sovyet. Selain jumlahnya yang di luar perkiraan inteligen barat, salah satunya mengungkapkan bahwa tiap tentara Uni Sovyet memiliki kemampuan fisik dan mental yang jauh di atas kemampuan tentara barat dimana mereka mampu bertempur berhari-hari tanpa suplai makanan dan minuman. Kini penulis tahu buku tersebut sebagai salah satu bagian dari skenario menipu masyarakat barat terutama Amerika, agar terus mengucurkan dananya untuk Israel.

Kini kita tahu bagaimana Yahudi telah menguasai Amerika. Ingin bukti lebih kuat lagi? Faktanya adalah tidak ada satu Presiden Amerika pun yang berani disumpah di bawah kitab Injil Perjanjian Baru kecuali kitab Perjanjian Lama. Mengapa? Karena orang-orang Yahudi tidak mengakui Perjanjian Baru.

Tuesday, 26 August 2008

Pemahamanku Tentang Kepemimpinan Islam


Suatu hari di bulan Mei tahun 2007, di toko buku QB World Book di kawasan Kemang Jakarta, saya bertemu dan berkenalan dengan HNr, seorang penulis buku-buku zionisme di Indonesia yang kini menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah Islam terbesar di Indonesia.

Pada mulanya kami berbincang-bincang dengan akrab soal berbagai persoalan ummat Islam. Namun ketika saya menyinggung-nyinggung tentang perlunya kepemimpinan ummat dipegang oleh keturunan Rosul (ahlul bait), Ia berubah drastis. Cara duduk dan gaya bicaranya langsung menunjukkan ketidak senangan. Kemudian dengan berbagai alasan, termasuk diragukannya keaslian “darah keturunan Rosulullah”, ia menolak klaim tersebut dan menganggap semua orang, asal memiliki kualifikasi berilmu dan berakhlak mulia, berhak menjadi pemimpin umat. Dan meski kami berpisah dengan baik-baik dan ia sempat mengikrarkanku sebagai saudaranya, ia kemudian memutuskan silaturrahmi denganku.

HNr merupakan typical orang Islam kebanyakan yang beraliran Sunni. Mereka sangat over-reacted terhadap segala sesuatu yang berbau Syiah meski sebenarnya antara Syiah-Sunni tidak ada perbedaan mendasar dalam keyakinan kecuali dalam hal kepemimpinan umat serta pandangan tentang keimanan sebagian sahabat.

Syiah menganggap kepemimpinan umat adalah hak ahlul bait, sedang Sunni menolak pendapat itu. Syiah menganggap sebagian sahabat utama adalah orang-orang munafik sementara Sunni menganggap semua sahabat adalah adil dan terlepas dari dosa akibat tindakan mereka yang dianggap sebagai ijtihad. Kalaupun ijtihad yang diambil keliru, mereka tetap mendapat pahala. Satu hal lagi menurut pengamatanku yang menjadi perbedaan pendapat antara keduanya adalah Shiah menganggap Rosulullah adalah maksum atau terbebas dari kesalahan, sedangkan Sunni menganggap Rosul tidak maksum kecuali dalam hal penyampaian wahyu.

Alasanku mengenai perlunya kepemimpinan umat Islam berada di tangan ahlul bait sebenarnya mengikuti sunatullah. Bukankah merekalah manusia paling utama di dunia berdasarkan nashab. Mereka keturunan orang-orang yang telah dibersihkan oleh Allah dengan sebersih-bersihnya (QS 33:33). Mereka keturunan orang-orang yang kepada umat Islam diwajibkan melimpahkan kasih sayang (QS 42:23). Mereka keturunan orang-orang yang dikecualikan Allah dari manusia lainnya dengan larangan menerima zakat dan sedekah namun berhak mendapat bagian dari harta negara (QS 59:7 dan 8:41). Mereka keturunan orang-orang yang kepada mereka umat Islam diwajibkan bershalawat setiap sholat.

Kalau Allah saja memuliakan mereka dengan memilih mereka menjadi keturunan yang mulia, dengan dalih apa kita menolak mereka sementara kita menerima selain mereka untuk menjadi pemimpin kita? Apakah kita termasuk orang yang kelak di akhirat dengan percaya diri mengklaim di hadapan Allah sebagai orang yang tidak kurang mulia dibandingkan para keturunan ahlul bait, sementara kita tidak tahu darah siapa saja yang mengalir di dalam diri kita?

Dan mengenai sulitnya mencari keturunan Rosulullah yang dapat dipercaya rasanya terlalu berlebihan. Bukankah di berbagai penjuru dunia terdapat beberapa komunitas keturunan Rosul yang masih terjaga? Apalagi dengan adanya ilmu gineolog (bagian ilmu sejarah yang mempelajari asal usul suatu keturunan) masalah ini tentu saja bisa dipecahkan.

Saya sebenarnya bukan penganut Syiah karena belum bisa memahami salah satu ajaran pokok mereka, yaitu tentang keghaiban Imam ke-12 yang diyakini akan turun sebagai Imam Mahdi di penghujung umur dunia. Saya juga tidak bisa menerima salah satu kegiatan ritual mereka yang suka menyiksa diri terutama dalam menyambut hari Asyura. Ritual tersebut saya anggap bahkan lebih mendekati ritual pagan Hindu daripada Islam yang diajarkan Rosulullah.

Namun dalam banyak hal lain saya lebih cenderung kepada faham Syiah daripada Sunni atau ajaran kelompok-kelompok keyakinan Islam yang lain. Hal-hal lain tersebut adalah soal kemaksuman Rosulullah, soal keimamahan atau kepemimpinan ummat Islam serta ketidak-adilan dan kemunafikan sebagian besar sahabat setelah kematian Rosulullah.

Mengenai kemaksuman (bebas dari kesalahan) Rosulullah mungkin hanya Shiah yang setuju dengan pendapat itu, sementara paham Sunni menganggap kemaksuman Rosul hanya dalam hal penyampaian wahyu Allah (Al Qur’an). Mengenai ini cukup saya kemukakan satu ayat dalam Al Qur’an: “dan tidaklah dia (Muhammad) berbicara sesuatu dengan hawa nafsunya.” (sori lupa nama surat dan ayatnya, tolong dibetulkan)

Sedangkan mengenai kemunafikan sebagian sahabat saya kemukakan satu ayat Al Qur’an: “Dan di antara orang-orang di sekelilingmu, penduduk kota Madinah dan orang-orang badui, terdapat orang-orang yang keterlaluan dalam kemunafikannya. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka.” (QS. Al Maidah: 117).
Rosul juga sudah memperingatkan adanya sebagian besar sahabat yang berpaling dari kebenaran karena memperebutkan dunia. Dalam satu haditsnya yang terkenal sebelum meninggal, Rosulullah bersabda: “Aku tidak khawatir kalian akan kafir sepeninggalku. Aku hanya khawatir kalian akan bertikai memperebutkan dunia.”
Soal kemaksuman Rosul dan kemunafikan sahabat, keduanya terkait erat dengan pemahaman umat Islam sekarang (Sunni) mengenai sosok-sosok sahabat utama.


Kemaksuman Rosul dan Kemunafikan Sahabat

Sesuai dengan ayat Al Qur’an: “tidaklah dia (Muhammad) berbicara sesuatu dengan hawa nafsunya,” pada dasarnya Rosulullah adalah maksum atau bersih dari dosa. Anehnya keyakinan ini hanya diimani oleh orang Syiah. Orang-orang Sunni justru menganggap Rosul tidak maksum kecuali dalam hal penyampaian wahyu. Untuk meyakinkan paham ini maka dibuatlah cerita-cerita aneh seperti dongeng tentang Rosulullah yang terkena sihir, atau cerita tentang kesalahan Rosul dalam ijtihadnya dan diluruskan oleh para sahabat. Umar dan Abu Bakar adalah dua sahabat yang sering diceritakan meluruskan kesalahan ijtihad Rosul.

Padahal Allah telah menegaskan bahwa Rosulullah terbebas dari gangguan manusia dan jin. Ilmu psikologi modern juga menegaskan bahwa sihir, hipnotis dan sebagainya hanya dapat diterapkan pada orang-orang yang lemah jiwanya sementara Rosulullah adalah manusia yang jiwanya paling kuat. Cerita tentang kesalahan Rosul dalam berijtihad dan diluruskan oleh sahabat juga bertentangan dengan logika maupun nash-nash dalam Al Qur’an. Bagaimana mungkin orang yang telah dibersihkan dadanya oleh malaikat sejak kecil, orang yang Allah dan malaikatnya bershalawat kepadanya, orang yang menjadi penghulu para nabi, tidak lebih bijak dibandingkan murid-muridnya yang separoh hidupnya dilalui dalam kejahiliahan: menyembah berhala, berjudi, minum khamr, berzina dan membunuh anah perempuan.

Kemudian setelah mengkaji lebih dalam saya berkesimpulan bahwa keyakinan Rosul tidak maksum sengaja dibuat untuk melegitimasi tindakan para sahabat yang sering membangkang Rosul sebagaimana tercatat dalam buku-buku sejarah. Keyakinan Rosul dapat berbuat salah tentunya memberi ruang positif bagi sahabat-sahabat seperti itu untuk lepas dari hukum manusia sebagai orang munafik meski tidak menjamin bebas dari hukum Allah. Terkait dengan itu semua adalah pembahasan di bawah ini.


Kepemimpinan Umat Islam

Allah dalam Al Qur’an berulangkali menyebutkan tentang kepemimpinan. Rosulullah pernah bersabda bahwa seseorang yang meninggal dalam keadaan tidak memiliki pemimpin, maka ia meninggal dalam keadaan jahil? Ulama besar Ibnu Tamimiyah mengatakan bahwa hidup selama 60 tahun di bawah kekuasaan pemimpin yang dzalim masih lebih baik daripada hidup sehari tanpa pemimpin? Abu Bakar sebelum meninggal dunia mengangkat Umar sebagai penggantinya? Umar sebelum meninggalnya membentuk majelis syuro untuk menetapkan penggantinya? Pada saat jenazah Rosulullah diurus keluarganya pun, kaum muslim sudah bertengkar soal kepemimpinan?

Lalu mengapa kita percaya bahwa Rosulullah tidak pernah meninggalkan wasiat sedikitpun tentang kepemimpinan ummat Islam sepeninggal beliau? Apakah Rosul begitu “bodoh”-nya sehingga lupa pada masalah kepemimpinan umat Islam sepeninggalnya? Secara logika saja hal itu tidaklah mungkin. Syiah percaya bahwa Rosulullah telah menetapkan penggantinya sepeninggal beliau, dan hal itu sesuai dengan logika dan didukung oleh nash-nash yang ada.

Saya percaya bahwa kepemimpinan merupakan suatu hal yang mutlak harus ada dan melekat erat dengan Islam itu sendiri sehingga Islam dapat terus berkembang dan terpenuhi janji Allah yang akan memenangkan Islam dari agama-agama yang lain. Sebelum Muhammad, setiap nabi yang diturunkan wahyu kepadanya pasti juga menjadi pemimpin ummatnya agar ajaran-ajarannya dapat lebih mudah diterima dan berkesinambungan. Sepeninggalnya, setiap nabi pun mewariskan kepemimpinan umat kepada penggantinya yang paling memenuhi “syarat”. Itulah sebabnya Nabi Ibrahim mewariskan kepemimpinan umatnya kepada anaknya Ismail (bangsa Arab) dan Ishak (menurunkan bangsa Yahudi). Nabi Ismail menurunkan kepemimpinan kepada anak cucunya hingga ke Muhammad. Nabi Ishak mewariskan kepemimpinan umat kepada Yakob yang diteruskan oleh anaknya Yusuf, hingga anak cucunya Musa, Harun, Daud, Sulaiman, Zakaria, Yahya, dan Isa. Semuanya merupakan satu garis “keturunan suci nabi-nabi”

Selain dalil aqli (logika), sebenarnya banyak sekali dalil-dalil naqli (nash atau teks-teks Al Qur’an, buku-buku hadits dan buku-buku sejarah Islam awal) yang menunjukkan bahwa Rosulullah telah menunjuk Ali sebagai penggantinya. Buku-buku sejarah Islam awal baik karangan Ibnu Ishak (152 H), Ibnu Shihab (125 H), Ibnu Rahuya (238 H), Ahmad bin Hambal, Tabhari, Tirmizi, Hakim, Ghazali hingga buku edisi pertama sejarah Muhammad karya Haikal, semuanya mencantumkan peristiwa Ghadir Khum, yaitu peristiwa proklamasi Ali sebagai pengganti Rosulullah. Buku-buku hadits dasar seperti Shahih Bukhari-Muslim hingga Haikal secara jelas mengakui klaim Ali atas kepemimpinan ummat Islam setelah kematian Rosulullah. Haikal dengan gamblang menyinggung adanya pertengkaran dan perkelahian di rumah Ali karena ia menolak membai’at Abu Bakar hingga nyaris rumahnya dibakar oleh para pendukung Abu Bakar.

Dalam suatu hadits muthawir juga disebutkan bahwa kedudukan Ali di sisi Rosulullah adalah seperti kedudukan Harun di sisi Musa. Alasan pemilihan Ali sebagai pengganti Rosul juga memiliki legitimasi yang kuat. Sebagaimana pandangan Syiah, Ali memiliki kualifikasi yang tidak dimiliki sahabat-sahabat yang lain. Selain sebagai saudara dan kerabat terdekat (sepupu), Ali adalah sahabat yang paling berilmu (disebut sebagai kunci kota Ilmu dalam hadits muthawir). Ali juga yang pertama memiliki mushaf Al Quran yang hanya dimiliki oleh sebagian kecil sahabat. Pada saat meninggalnya, Ali meninggalkan kumpulan karya tulis berkualitas tinggi Nahjul Balaghah yang menjadi pegangan para ulama selama ratusan tahun. Selain Ali hampir tidak ada sahabat, bahkan yang paling utama sekalipun seperti Abu Bakar, Umar dan Usman, yang meninggalkan karya tulis karena memang kebudayaan Arab belum begitu mengenal tulis-menulis. Tidak heran jika oleh sejarahwan barat John Pool Ali disebut sebagai orang yang “melindungi dan memajukan sastra Arab”.

Ali juga sahabat yang paling awal beriman meski oleh para penulis sejarah sering disamarkan dengan istilah “dari kalangan anak-anak”. Faktanya adalah Ali tercatat dalam sejarah sebagai orang pertama selain Rosul dan Siti Khadijah, yang melakukan sholat. Al Qur’an pun menyebutkan orang-orang yang pertama menerima risalah Rosul adalah kerabat beliau. Ali adalah kerabat, dan sahabat yang lainnya bukan kerabat.
Pasti banyak sekali yang tidak setuju dengan pandangan tersebut karena mayoritas umat Islam menganggap Abu Bakar, Umar dan Usman lebih memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin dibandingkan Ali. Tapi kalau mau jujur, dengan membuka nash-nash dan buku-buku sejarah serta berpegang teguh pada kriteria pemimpin yang paling memenuhi kualifikasi: paling berilmu, paling awal beriman dan paling banyak jasanya dalam penegakan Islam, tentu menganggap Ali lah yang paling layak. Apalagi bila ditambahkan kualifikasi lainnya, yaitu kekerabatan dengan Rosulullah serta ayah dari cucu-cucu penerus darah keturunan Rosulullah.

Tidak ada nash-nash dan riwayat-riwayat keutamaan sahabat yang lebih banyak dibandingkan keutamaan Ali. Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: tidak satupun dari sahabat Rosul yang memiliki keutamaan sebagaimana Ali. An-Nasai, A-Qodhi Ismail, dan Abu Ali an-Naisaburi berkata: Tidak satupun dari hadits-hadits keutamaan sahabat yang diriwayatkan dengan isnad-isnad yang hasan sebagaimana hadits tentang keutamaan Ali. Selain itu, tidak seperti sahabat yang lain, nash-nash dan riwayat-riwayat keutamaan Ali banyak terkait dengan peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah Islam yang sulit untuk dibantah karena disaksikan banyak orang termasuk Rosul.

Riwayat tentang kepahlawanan Ali dalam Perang Badar, Perang Khandak dan Perang Khaibar dimana Rosulullah menyatakan keridhaan Allah dan Rosul kepada Ali, tidak sebanding dengan misalnya, riwayat Umar memikul makanan untuk orang miskin yang kelaparan yang tidak jelas kapan dan dimana kejadiannya. Katakanlah kedua riwayat itu sama-sama benar, tetap tidak sama kadar kualitas kepahlawanan antara keduanya seperti tidak samanya kualitas keimanan sahabat yang turut berperang dan sahabat yang tidak turut berperang karena suatu suatu sebab yang dibolehkan. Dalam Perang Uhud, ketika sebagian besar sahabat, termasuk Umar, lari dan kemudian tertidur di bawah bukit, Ali termasuk dalam sedikit sahabat yang mati-matian melindungi Rosul dari gempuran musuh.

Selain itu Ali, tidak terbantahkan oleh nash-nash dan manapun, sahabat yang paling patuh kepada Rosulullah, sementara para sahabat lainnya sering membantah dan membuat marah Rosulullah. Saat Rosulullah memerintahkan hukuman mati kepada beberapa tokoh musrik Makkah dalam peristiwa penaklukan Makkah, Ali memenuhi perintah itu sementara Usman bin Affan justru melindungi saudara sesusuannya yang diperintah bunuh oleh Rosulullah. Umar juga tercatat beberapa kali membangkang perintah Rosul. Misalnya dalam peristiwa Tragedi Hari Kamis saat ia menolak perintah Rosul untuk menuliskan surat wasiat Rosulullah sebelum meninggal. Umar dan Abu Bakar juga tercatat membangkang perintah Rosulullah untuk berangkat perang dalam ekspedisi terakhir Rosulullah yang dikomandani Usamah bin Zaid. Semuanya itu tercatat dalam buku-buku hadits dan sejarah pegangan seluruh ummat Islam baik Syiah maupun Sunni.

Pembangkangan-pembangkangan itu tidak bisa dibantah telah menginspirasi Umayah bin Abu Sufyan dan keturunannya (Bani Umayah) untuk mencaci maki keluarga Rosul, yang oleh Allah telah disucikan sesuci sucinya dan kepada umat Islam diwajibkan bersholawat dan menghormatinya. Perlakuan keji itu berpuncak pada pembunuhan secara keji (dengan disembelih seperti binatang) cucunda Rosulullah Hasan bin Ali dan keluarganya di Karbala. Sebagian keluarga Rosul yang selamat (wanita dan anak-anak, semua laki-laki dewasa dibunuh) diperlakukan seperti budak dengan dirantai dan dicambuk sepanjang jalan antara Irak dan Syiria).

Generasi Islam setelah bani Umayyah seperti bani Abassiah tidak kurang kejinya terhadap keluarga keturunan Rosul hingga mereka terpaksa hidup terpencar-pencar menyelamatkan diri.

Sebagian besar orang mungkin juga akan menganggap tidak ada manfaatnya mengungkit-ungkit kembali persoalan kepemimpinan awal ummat Islam sepeninggal Rosulullah. Namun justru di sinilah masalah paling mendasar dalam Islam terjadi. Karena ummat Islam yang tidak memenuhi wasiat nabi untuk menjadikan keturunan nabi (ahlul bait) sebagai pemimpin umat, maka sekarang ummat Islam menjadi lemah dan terpecah-belah, karena semua orang berhak mengklaim sebagai pemimpin.

Dari sisi akidah, menjadikan seseorang yang tidak memenuhi kualifikasi sebagai pemimpin menyebabkan amal perbuatannya sia-sia atau justru membawa dosa karena pemimpin yang tidak berkualitas tidak menuntun ke arah kebaikan dan kebenaran. Lihatlah bagaimana Umar yang pertama kali menolak sunnah Rosul (dalam peristiwa Tragedi Hari Kamis) dan membuat ijtihad yang menolak nash (mengeluarkan kaum muallah sebagai golongan yang berhak mendapat bagian zakat serta beberapa ijtihad lainnya), menjadi inspirasi timbulnya faham ingkar sunnah dan faham Islam Liberal.

Sampai saat ini para tokoh Jaringan Islam Liberal selalu berdalih hanya meniru Umar saat mereka berijtihad menolak nash, seperti pendapat mereka yang membolehkan pernikahan beda agama, pembagian zakat sama rata laki-laki dan perempuan, hingga menghalalkan homoseksual. Padahal berkali-kali dalam Al Qur’an Allah memerintahkan ummat Islam untuk menetapi semua perintah Allah dan Rosulnya, tanpa menambah atau mengurangi. Ijtihad hanya boleh dilakukan untuk hal-hal yang tidak tercantum dalam nash Al Qur’an dan hadits Rosulullah.

Lihat pula bagaimana Usman memimpin ummat Islam. Pada waktu pemilihan jabatan khalifah ia bersumpah akan mengikuti sunnah-sunnah Abu Bakar dan Umar, hal yang ditolak Ali yang menyatakan hanya patuh pada sunnah Rosul sehingga Ali tidak terpilih menjadi khalifah. Kebijakan pertama Usman justru mengingkari sunnah Abu Bakar dan Ummar dengan memecat pejabat-pejabat yang diangkat kedua khalifah pendahulu dengan pejabat-pejabat dari kalangan kerabatnya sendiri. Inilah yang menjadi penyebab perpecahan ummat Islam hingga berujung pada pemberontakan yang mengakibatkan kematian Usman. Inilah pemberontakan (bughot) pertama dalam sejarah Islam, dan apa yang diucapkan Usman sebelum pengangkatannya menjadi khalifah merupakan kebohongan publik pertama.

Tapi tetap saja Abu Bakar, Umar dan Usman dianggap adil. Keadilan juga dinisbatkan kepada Khalid bin Walid, seorang sahabat yang dua kali membunuh seorang muslim dan memperkosa istrinya hingga dipecat dari jabatannya dan dipenjara oleh Umar. Keadilan bahkan juga dinisbatkan kepada Muawiyah bin Abu Sufyan, seorang sahabat yang memberontak kepada khalifah Ali, meracun cucunda Rosulullah Hasan bin Ali, mencaci maki keluarga Rosul dan menciptakan sistem kerajaan dalam Islam. Sementara Rosulullah justru dianggap tidak maksum dan sering berbuat salah hingga perlu dikoreksi oleh para sahabat. Na’udhubillah.

Tentu saja tidak semua sahabat adalah munafik. Ammar bin Yassir, Abu Dzar al Ghifari, Salman al-Farisi, Bilal, Adi bin Hatim dan anaknya Hujjur bin Adi (saya lega karena akhirnya menemukan nama yang baik yang berkaitan dengan nama saya), Muhammad bin Abu Bakar adalah sebagian sahabat yang mencintai Islam tanpa pamrih keduniawian. Namun justru nama-nama mereka tenggelam dalam sejarah.


Penutup

Ilmu agama yang kita terima secara tidak langsung diterima dari para penerus Rosulullah, baik itu sahabat, ulama penerus sahabat (tabi’in), serta ulama penerus penerus sahabat (taba’it tabi’in). Jika dari awal ilmu yang kita terima sudah melenceng, maka ilmu yang kita terima sekarang lebih besar lagi melencengnya karena telah melewati berbagai penafsiran dan pemahaman.

Rosulullah sendiri pernah mengancam orang-orang yang salah memilih pemimpin dengan api neraka. Mungkin karena itulah Rosul pernah bersabda bahwa ummat Islam akan terpecah menjadi 73 golongan dan hanya 1 golongan yang masuk surga. Mungkin karena itu pulalah maka janji Allah untuk memenangkan umat Islam atas umat yang lain dan menjadikannya pewaris dunia, belum dapat dipenuhi-Nya. Namun yang pasti, suka maupun tidak terhadap kepemimpinan ahlul bait, Rosul pernah bersabda bahwa pada akhir dunia nanti akan muncul Imam Mahdi yang akan memimpin ummat Islam menjadi ummat pewaris dunia. Orang itu adalah darah keturunan Rosulullah.

Lalu mengapa harus menunggu sampai menjelang kiamat agar kita mengakui kebenaran kepemimpinan umat Islam di tangan keturunan Rosulullah?
Kalau saya ditanya mengapa menolak dinisbatkan sebagai pengikut Syiah, saya akan menjawab: tidak ada Syiah atau Sunni dalam Islam sebagaimana Allah dan Rosulnya tidak pernah menciptakan umat yang terpecah-pecah.
Keterangan foto: Raja Saudi bersama George W. Bush bergandengan tangan.

Sunday, 24 August 2008

PERKEMBANGAN BARU KRISIS GEORGIA


Perkembangan baru krisis Georgia antara Rusia dengan Georgia memasuki perkembangan baru yang menarik untuk dicermati, yaitu perselisihan klasik antara Rusia melawan Yahudi. Stasiun televisi Al Manar melaporkan 23 Agustus lalu bahwa satu armada laut Rusia dipimpin oleh kapal induk Admiral Kutnetzov dan kapal penjelajah Moskva tengah berada dalam perjalanan dari Laut Baltik untuk berlabuh di Syria, negara tetangga musuh terkuat Israel saat ini selain Iran. Al Manar juga melaporkan Rusia dan Syria tengah membicarakan rencana penggelaran rudal SS-26 di wilayah Syria yang tentunya
sangat mengancam keamanan Israel, yang secara teknis masih terlibat perang melawan Syria paska perang Yom Kippur tahun 1973.

Bila laporan itu terealisasi maka tidak ada hal lain selain fakta bahwa Rusia bermaksud memberi pelajaran kepada Israel yang telah terlibat dalam krisis Georgia sebagai pendukung utama Georgia selain Amerika. Hal ini tentunya membuka babak baru perselisihan antara Rusia dan Yahudi yang telah berlangsung ratusan tahun.

Fenomena paling up to date dari pertikaian antara Rusia dengan Yahudi adalah penangkapan para pengusaha Rusia keturunan Yahudi yang sering disebut oligarch. Mereka dianggap telah memperkaya diri sendiri di atas penderitaan rakyat Rusia. Mereka memanfaatkan atau bahkan merekayasa kondisi sosial ekonomi dan politik yang tidak stabil paska runtuhnya Uni Sovyet untuk memperolah keuntungan. Dengan praktik-praktik ala mafia, mereka berhasil menguasai sektor-sektor strategis Rusia seperti perbankan, telekomunikasi & informasi serta minyak, gas dan energi.

Presiden Putin yang mengambil kebijakan politik berbeda dibanding pendahulunya Boris Yeltsin, menekan dan menangkapi para ologarch setelah mereka mengabaikan peringatannya untuk berbisnis secara jujur dan menjauhi arena politik. Di antara oligarch yang ditangkap pemerintah Rusia adalah Michael Khodorkovsky. Oligarch lainnya memilih melarikan diri, seperti Roman Abramovich (kini pemilik klub sepakbola Chalsea), Vladimir Gusinsky dan Boris Berezovsky.

Keberadaan kaum Yahudi di Rusia sangatlah lama. Catatan sejarah abad IV menunjukkan sebanyak 10 ribu hingga 30 ribu Yahudi tinggal di Semenanjung Krim, Rusia selatan. Sepanjang sejarahnya, kaum Yahudi yang memegang teguh tradisi mereka dan hidup inklusif, menjalani hubungan yang tidak harmonis dengan penduduk asli Rusia yang beretnis Slavia. Akibatnya mereka terus menerus mengalami penindasan. (Sejarah penindasan Yahudi Rusia bisa dilihat di Wikipedia artikel History of the Jew in Russia.).

Namun kaum Yahudi pun tidak tinggal diam. Mereka juga melakukan berbagai aksi anarki dan terorisme, termasuk membunuh kaisar Alexander II. Dan puncak perjuangan Yahudi untuk menguasai Rusia adalah dengan menggerakkan faham sosialisme & komunisme yang berhasil menumbangkan kekaisaran Rusia tahun 1905. Dan setelah rejim komunis berkuasa tahun 1917, kaum komunis Yahudi membantai puluhan juta warga Rusia yang secara religi adalah penganut Kristen yang taat. (Wikipedia tidak menyebutkan dalam artikel tersebut di atas, tapi sumber-sumber lain yang dapat diakses melalui situs-situs seperti jewwatch.com atau davidduke.com menyebutkan dengan jelas). Itulah sebabnya mengapa Hitler, seorang kristen fanatik, membalas dengan membantai Yahudi. Adapun penyerbuan Jerman ke Rusia pada Perang Dunia II dimaksudkan untuk membebaskan Rusia dari komunisme Yahudi. Perlu dicatat bahwa Hitler secara moral mendapat dukungan pemimpin Kristen tertinggi saat itu, Paus Vatikan.

Seperti disebutkan dalam berbagai laporan media massa, Israel secara aktif terlibat dalam krisis Georgia sebagai pemasok senjata dan instruktur militer tentara Georgia. Mungkin ini dilakukan sebagai balas dendam atas kebijakan politik pemerintah Rusia yang anti oligarch. Dan aksi Rusia yang mengirimkan armada ke negara tetangga Israel, Syria, tidak bisa diabaikan begitu saja merupakan rangkaian dari pertikaian lama antara Rusia melawan Yahudi.

Namun harus diwaspadai, pertikaian itu bisa memicu krisis lain yang lebih hebat, seperti hebatnya Perang Krim pada abad 19 yang juga dipicu oleh pertikaian antara Rusia melawan orang-orang Yahudi.

Friday, 15 August 2008

SISI LAIN KRISIS GEORGIA


Pada tanggal 7 Agustus lalu, ketika semua mata tertuju pada persiapan pembukaan Olimpiade Beijing yang dihadiri para kepala negara dunia, Georgia sebuah negara kecil pecahan Uni Sovyet, melakukan serbuan ke Ossetia Selatan, sebuah wilayah yang dipersengketakan antara Georgia dan Rusia. Serbuan itu menghancurkan infrastuktur Ossetia Selatan, membunuh ratusan penduduk Ossetia (Rusia mengklaim korban tewas mencapai 2.000 orang) termasuk puluhan personil militer Rusia (yang hadir di Ossetia Selatan atas persetujuan masyarakat internasional untuk menjaga keamanan wilayah tersebut), serta memaksa puluhan ribu warga Ossetia melarikan diri ke Rusia. Serbuan itu justru dilakukan hanya beberapa jam setelah Presiden Georgia Mikheil Saakashvili mengumumkan gencatan senjata.
Tentu saja Rusia sangat marah atas tindakan tersebut. Menteri Pertahanan Rusia mengutuk aksi sepihak tersebut dan menyebutnya sebagai “petualangan kotor”. Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin yang tengah berada di Beijing mengatakan, “Sangat disesalkan di hari menjelang pembukaan Olimpiade Georgia melakukan tindakan agresi atas Ossetia Selatan.” Selanjutnya Putin mengatakan, “Perang telah dimulai.”
Sementara itu Presiden Rusia Dmitry Medvedev menyerukan Rusia untuk melindungi warga Ossetia yang sebagian besar beretnis dan berpaspor Rusia. Medvedev segera memerintahkan pengiriman pasukan ke untuk melawan pasukan Georgia, termasuk penyerangan udara terhadap basis-basis militer Georgia. AL Rusia juga diperintahkan melakukan blokade atas Georgia. Di sisi lain, keadaan semakin genting setelah Georgia mengumumkan perang terhadap Rusia dan melakukan mobilisasi pasukan. Separuh personil militer Georgia di Irak juga dikirim kembali ke Georgia untuk perang. Sementara itu, wilayah Georgia lainnya yang memisahkan diri dan menjadi wilayah protektorat Rusia, Abkhazia, memobilisasi pasukan dan menyerang pasukan Georgia di wilayah Kodori Gorge. Presiden Abkhazia Sergei Bagapash menyatakan menolak berunding dengan para pemimpin Georgia yang dituduhnya telah bertindak sebagai penjahat perang.
Georgia bukan tandingan Rusia. Pada tanggal 10 Agustus pasukan Georgia dipukul mundur dari Ossetia. Selanjutnya Georgia sendiri yang terancam diduduki Rusia setelah beberapa kotanya diduduki dan basis militernya hancur diserang Rusia. Dengan tergopoh-gopoh, meski awalnya dengan bangga mengklaim kemenangan, pemerintah Georgia segera meminta Rusia menghentikan serangannya dan menawarkan gencatan senjata.
Ketika Georgia melakukan aksi nekad tersebut penulis sudah curiga ada “tangan-tangan tidak tampak” yang mengendalikan pemerintah Georgia. Tanpa itu semua mustahil Georgia berani melawan Rusia. Tindakan Georgia hampir sama dengan tindakan negeri kecil Serbia menjelang Perang Dunia I. Setelah membunuh seorang pangeran negeri Austria dan diancam oleh negara besar Austria, Serbia menolak meminta maaf. Akibatnya Austria menghukum Serbia. Inggris dan Perancis yang merupakan sekutu Serbia mengumumkan perang kepada Austria. Maka pecahlah Perang Dunia I.
Saya juga teringat pada kasus pecahnya Perang Dunia II. Jerman yang berusaha membujuk Polandia untuk memberikan akses kepada wilayahnya yang terisolasi dengan imbalan tertentu, merasa dipermainkan Polandia karena pengaruh Inggris dan Perancis. Akibatnya Jerman menyerang Polandia. Inggris dan Perancis (lagi-lagi dua negara ini) yang menjadi sekutu Polandia menyatakan perang kepada Jerman. Maka pecahlah Perang Dunia II.
Dan kecurigaan saya terkonfirmasi setelah membaca lebih banyak berita tentang krisis Ossetia Selatan, terutama dari situs-situs internet di luar situs internet milik media-media massa mainstream. DR. David Duke dalam website-nya davidduke.com memberikan fakta, termasuk mencantumkan potongan berita media massa Israel, bahwa Israel terlibat langsung dalam aksi Georgia dengan menyediakan senjata dan ribuan penasihat militer. Sedangkan Eric Walberg dan Paul Craig Roberts (Asisten Menteri Keuangan Amerika era Presiden Reagan) dalam artikelnya di situs Counterpunch menyebutkan kehadiran 1.000 personil militer Amerika di Georgia yang menjadi pelatih militer Georgia. Pesawat-pesawat Amerika pula yang telah menerbangkan 1.000 personil militer Georgia dari Irak pula ke negaranya untuk berperang melawan Rusia. Koran terbesar Rusia, Pravda mengungkapkan tertangkapnya beberapa personil militer Amerika di antara pasukan Georgia yang tertawan.
Lebih jauh DR. David Duke bahkan membuka tabir yang lebih sensitif. Dua orang menteri yang paling bertanggung jawab dalam krisis Georgia, yaitu Urusan Integrasi Temur Yakobashvili dan Menteri Pertahanan David Kezeerashvili keduanya mempunyai kewarganegaraan ganda. Selain Georgia, mereka juga warga negara Israel.
Keterlibatan Israel lebih terkonfirmasi lagi setelah saya membaca berita di situs almanar.com milik kelompok pejuang Shiah Lebanon, Hezbollah. Mengutip berita di harian terbesar Israel, Haaretz, almanar.com pada 14 Agustus lalu mengungkapkan pernyataan Presiden Georgia Mikheil Saakashvili bahwa Israel berperan besar sebagai pemasok senjata Georgia sekaligus menjadi instruktur militer Georgia. Saakashvili bahkan membuat pengakuan yang mengejutkan: “Kami mempunyai dua orang Israel dalam kabinet, David Kezeerashvili dan Temur Yakobashvili. Inilah keterlibatan Israel di sini (Georgia): baik perang maupun damai ada di tangan Yahudi Israel.”
Menulis di Asia Times, diplomat senior India M. K. Bhadrakumar mengungkapkan fakta yang tidak pernah dipublikasikan media massa bahwa menjelang serangan Georgia, Rusia sebenarnya telah menyampaikan draft penyelesaian krisis Ossetia ke Dewan Keamanan. Dalam draft tersebut Rusia meminta diakhirinya penggunaan senjata dalam penyelesaian krisis. Namun Amerika justru menolak.
Bagi mereka yang fair menilai, kesalahan jelas ada pada Georgia. Reporter BBC Sarah Rainsford dalam laporannya tanggal 14 Agustus mengungkapkan pendapat umum di Ossetia Selatan. “Bagi mereka sangat jelas siapa yang harus disalahkan, Presiden Georgia Mikhail Saakashvili.” Sedangkan Human Rights Watch setelah melakukan penyidikan mendalam menyatakan, “Berdasarkan pengakuan saksi-saksi dan waktu terjadinya kerusakan menunjukkan kebanyakan kerusakan yang timbul disebabkan oleh tembakan pasukan Georgia.”
Namun fakta-fakta tersebut seolah terabaikan oleh media-media massa mainstream internasional, termasuk di Indonesia. Alih-alih menyalahkan Georgia, media massa justru menyalahkan Rusia yang dianggap telah menduduki Georgia dan bertindak berlebihan dalam mempertahankan Ossetia Selatan. Mereka lebih banyak mengutip pernyataan para pemimpin Georgia atau Amerika yang tentu saja menyalahkan Rusia.
Panik dengan ancaman kejatuhan Georgia ke tangan Rusia, Presiden Georgia berteriak, “Ini bukan lagi masalah Georgia, tapi juga Amerika.” Para penasihat Presiden Bush yang tergabung dalam LSM Heritage Foundation di Washington segera menyelenggarakan konferensi yang menyerukan keterlibatan Amerika untuk menghentikan Rusia. Washington Post menulis artikel mengecam Rusia dengan judul “Putin Makes His Move”. Sedangkan The New York Times menulis, “Will Russia Get Away with It?”. Dengan kata lain media massa dan lembaga-lembaga berpengaruh di Amerika menyerukan: serang Rusia sekarang juga.
Namun sebodoh-bodohnya Bush, ia masih bisa berfikir. Melibatkan diri secara langsung dalam konflik melawan Rusia pada saat ini sama saja dengan bunuh diri. Energi Amerika nyaris habis untuk mempertahankan kekuatannya di Irak dan Afghanistan. Satu konflik bersenjata lagi dipastikan membuat ekonomi Amerika hancur. Apalagi Rusia bukanlah negeri kecil. Dengan jutaan personil militer, persenjataan modern serta ribuan hulu ledak nuklir yang dimilikinya, tak satupun negara, bahkan Amerika, dapat mengalahkannya dalam satu perang terbuka. Apalagi kini Rusia di bawah kepemimpinan Vladimir Putin telah pulih dari kelemahan paska runtuhnya Uni Sovyet.
Pada tanggal 12 Agustus lalu koran terbesar Rusia, Pravda, mengejek Presiden Bush yang telah mengecam dan menggertak Rusia untuk menghentikan aksinya atas Georgia. Secara ringkas Pravda menulis: Presiden Bush, setelah begitu jelas terungkap keterlibatan Anda dalam masalah ini, setelah apa yang Anda lakukan atas Irak, kasus Abu Ghraib, dan Guantanamo sehingga tidak ada orang di muka bumi ini yang tidak mengacungkan jari tengahnya setiap melihat wajah Anda di televisi, maukah Anda tutup mulut?
Mungkin ini adalah ejekan yang paling menyakitkan bagi Bush setelah tahun lalu Presiden Venezuela, di depan Sidang Umum PBB, menyebut Bush sebagai setan.

Tuesday, 12 August 2008

TANDA-TANDA KERUNTUHAN AMERIKA


Pada tanggal 17 Desember 2007 David M. Walker, Kepala Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Semacam BPKP di Indonesia. Bekerja untuk lembaga legislatif, pen.) mengeluarkan laporan di hadapan badan legislatif Amerika, Congress. Dalam laporan itu ia mengatakan bahwa “pemerintah tidak dapat melakukan kontrol efektif dan sesuai standar hukum atas laporan keuangannya”. Dengan kata lain laporan keuangan pemerintah tidak lolos audit.

Selain itu Walker juga melaporkan bahwa total kewajiban pemerintah yang harus ditanggung per- 30 September 2007 mencapai 53 triliun dolar (hutang yang merupakan sebagian dari kewajiban pemerintah mencapai 9 triliun, pen.). Atau kalau dirupiahkan mencapai sekitar Rp 500.000 triliun. Jumlah yang tidak pernah dibayangkan siapapun.
Tidak lama kemudian Walker pun mengundurkan diri dari jabatannya. Mungkin karena kecewa dengan kinerja keuangan pemerintah, atau karena shock melihat jumlah hutang pemerintah yang “maha besar” itu.

Dan ironi hutang pemerintah itu terus berlangsung. Pemerintah Amerika dalam anggaran belanjanya tahun ini menganggarkan defisit sebesar 410 miliar dolar. Di antara belanja pemerintah yang besar adalah membayar bunga hutang sebesar 200 miliar dolar (hanya sebagian dari jumlah bunga yang harus dibayar, sehingga dengan sistem bunga berganda kewajiban semakin menumpuk dari tahun ke tahun, pen) dan biaya perang Irak-Afghanistan sebesar 840 miliar dolar.

Defisit belanja pemerintah itu darimana dipenuhi kalau tidak dengan hutang. Beberapa tahun terakhir, dengan jumlah defisit yang samakin besar dari tahun ke tahun, pemerintah mengatasinya dengan menjual obligasi. Selain para kapitalis besar, obligasi itu ironisnya dijual kepada pemerintah Cina atau pemerintah negara lain yang dimusuhi Amerika.

Sebagian pengamat menganggap jumlah defisit belanja pemerintah sebenarnya jauh lebih besar lagi kalau memperhitungkan biaya sesungguhnya operasi intelejen Amerika di seluruh dunia. Mereka memperhitungkan sebagian besar biaya tersebut dibiayai melalui praktek ilegal seperti perdagangan senjata gelap dan obat bius. Skandal Iran Contra pada jaman pemerintahan Reagan misalnya, telah membuka borok praktik ilegal semacam itu. Sebagian pengamat intelejen memperkirakan nilai perdagangan obat bius yang dikelola CIA untuk membiayai operasinya di luar negeri mencapai 800 miliar dolar.
Selain itu asumsi pertumbuhan ekonomi 2,7% yang digunakan pemerintah jelas jauh dari harapan akibat krisis ekonomi yang melanda terkait krisis kredit perumahan yang melanda Amerika. Akibatnya secara riel defisit belanja pemerintah sebenarnya jauh lebih besar dari 410 miliar dolar.

Masalahnya adalah sampai kapan negara-negara luar mau membantu Amerika? Tidak ada makan siang gratis, demikian istilah di dunia bisnis. Inggris harus menyerahkan hegemoni ekonomi dan politiknya kepada Amerika karena kesulitan keuangan menghadapi Perang Dunia I dan II. Sangat boleh jadi Amerika pun terpaksa harus menyerahkan hegemoninya kepada Cina, Jepang atau Uni Eropa tidak lama lagi.

Masalah keuangan Amerika tidak saja berasal dari defisit APBNnya, tapi juga dari melorotnya nilai tukar dolar. Saat ini nilai tukar dolar terhadap franc Swiss adalah 1:1. Padahal pada tahun 1970 1 dolar seharga 4,2 franc Swiss. Pada tahun 1970 1 dolar adalah seharga 360 yen Jepang. Saat ini 1 dolar hanya seharga 100 yen.
Indikator ekonomi Amerika semakin runyam lagi bila ditambahkan lagi dengan defisit neraca perdagangan yang semakin besar dari tahun ke tahun. Tahun lalu saja diperkirakan defisit perdagangan Amerika mencapai 700 miliar dolar. Laporan dari Manufacturing and Technology News baru-baru ini menyebutkan pada tahun 2007 nilai total impor nasional mencapai 14% dari GDP sementara produksi industri manufaktur nasional (sebagian saja yang diekspor) hanya mencapai 12% dari GDP.

Melorotnya nilai dolar, ditambah sistem keuangan yang kacau dan defisit APBN serta defisit neraca perdagangan yang semakin meningkat dari tahun ke tahun tentu menjadi pertimbangan negatif bagi negara-negara donor (Amerika sudah menjadi negara pengutang alias negara dunia ketiga, pen). Para pendonor tentu juga memperhitungkan, keuangan Amerika tidak selamanya dapat mempertahankan diri selamanya.

Ironisnya kekhawatiran itu tidak nampak di mata para kandidat presiden mendatang. Kandidat dari Partai Republik McCain bahkan sesumbar akan mempertahankan pasukan Amerika di Irak hingga 100 tahun lagi. Padahal baru lima tahun saja berperang di Irak, Amerika sudah menghabiskan biaya 3 tiliun dolar. Dana dari mana lagi?
Ilmuan kritis, Noam Chomsky, pernah menulis bahwa rakyat Amerika (kecuali sebagian kecil yang kritis) mengira mereka menguasai dunia. Kenyataannya adalah sebaliknya, dunia menguasai Amerika. Sang Superpower bahkan tidak mampu lagi membiayai hidupnya sehari-hari.

Keadaan semakin runyam saja jika mempertimbangkan indikator-indikator sosial. Baru-baru ini otoritas energi negara bagian California melakukan aksi pemadaman listrik selama beberapa jam. Menyusul pemadaman listrik besar-besaran selama beberapa hari di sebagian negara bagian Amerika tahun 2005 lalu, aksi tersebut menandai dimulainya krisis energi Amerika. Jutaan imigran gelap dari negara dunia ketiga terutama Meksiko juga menjadi persoalan yang sangat serius dan menjadi isu panas dan mengancam perpecahan kalangan pembuat kebijakan tertinggi.
Bencana Katrina yang melanda kota New Orleans dan merengut korban ribuan orang serta penanganan paska-bencana yang amburadul juga menunjukkan kemampuan pemerintah yang lemah dalam menangani masalah-masalah sosial warganya.

Amerika juga terancam perpecahan etnis. Sebagian kalangan kulit putih yang merupakan etnis mayoritas, merasa keberadaannya terancam oleh etnis Yahudi, kulit hitam dan kulit berwarna. Di beberapa kota besar, orang-orang kulit putih tersingkir dari pusat-pusat kota dan pindah ke pinggiran kota. Dan terutama terhadap etnis Yahudi, sebagian kalangan kulit putih merasa terancam karena etnis minoritas itu telah menguasai seluruh sendi kehidupan masyarakat Amerika.

Suatu saat, ketika nilai dolar demikian rendah, orang akan meninggalkannya. Saat itu pula Amerika tidak akan mendapat kepercayaan lagi untuk memperoleh pinjaman dari negara lain, bahkan untuk sekedar menutupi hutangnya. Ditambah banyaknya pengurangan tenaga kerja dan tutupnya perusahaan akibat resesi, saat itu mungkin saja negara Amerika sudah terpecah-pecah menjadi beberapa negara kecil, atau bahkan tinggal kenangan sejarah. Dan pasukan Amerika, atau diplomat Amerika yang merajalela di Irak, Afghanistan, Kosovo, Indonesia dan di seluruh penjuru dunia lainnya, tinggal segerombolan orang yang terlantar di negeri orang.

Wednesday, 6 August 2008

Aku dan Dunia Wartawan

Sejak masih duduk di bangku sekolah dasar sebenarnya aku telah bercita-cita untuk menjadi wartawan. Kesan pertama dunia kewartawanan kudapat dari seorang tetanggaku yang menjadi wartawan di kantor berita Antara di Jakarta. Meski jarang bertemu karena kesibukannya di ibukota, aku menangkap kesan menarik atas kehidupan wartawan. Kesan itu semakin kuat saat tetangga tadi memberi hadiah untuk Bapakku sebuah buku berjudul “Sekitar Tanggal dan Penggalinya” terbitan Yayasan Idayu, yang berisi polemik di media massa tentang tanggal penggalian Pancasila yang dipicu oleh buku karangan Profesor Nugroho Nutosusanto.
Hobiku membaca buku sejarah semenjak di bangku SMP juga telah menemukan para pejuang kemerdekaan Indonesia didominasi oleh kalangan jurnalis. Hal itu semakin membuatku mengagumi profesi wartawan. Puncaknya terjadi tahun 2000 setelah Aku membaca buku karangan Pramoedya Ananta Toer berjudul “Sang Pemula”. Buku itu menceritakan kiprah RM Tirtoadisoeryo, seorang pelopor wartawan Indonesia yang berupaya memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan membentuk organisasi modern berwawasan nasional pertama di Indonesia, Syarekat Dagang Islam/SDI. (Ada versi lain tentang pendiri awal SDI, yaitu H. Samanhudi. Yang jelas keduanya adalah sama-sama pelopor SDI. Bedanya RM Tirtoadisoeryo mendirikan SDI di Bogor, sedangkan H. Samanhudi di Surakarta).
Namun meski terobsesi, aku cenderung membuang keinginan itu ke alam bawah sadar. Kehidupan keluargaku yang berasal dari kalangan priyayi (meskipun miskin) termasuk orang tuaku yang menjadi pegawai negeri, membuatku cenderung bercita-cita untuk menjadi seorang pegawai atau birokrat, swasta ataupun negeri. Apalagi setelah pada tahun 1989 aku diterima menjadi mahasiswa sekolah “elit” sarangnya faham ekonomi kapitalis-liberalis Indonesia yang lagu kebanggaannya sewaktu ospek adalah “Paling Sial Jadi Menteri”. (Meski hiperbola, setidaknya aku melihat tiga orang teman se-angkatanku telah menjadi tokoh muda nasional yang siap menjadi menteri karena menempuh "jalur yang tepat”)
Meski demikian obsesi menjadi wartawan kembali muncul ke alam sadar setelah tulisan opiniku berjudul “Independensi Kehakiman di Indonesia” dimuat di Harian Kompas akhir tahun 1995 menjelang kelulusanku. Sebulan sebelumnya tulisan cerpenku juga dimuat di majalah remaja Aneka.
Mungkin karena obesesi itu aku tidak pernah betah bekerja selain sebagai wartawan. Setelah lulus dan bekerja di beberapa perusahaan dan memegang beberapa posisi jabatan di Jakarta, Batam dan Bali, akhirnya obsesiku tercapai saat aku diterima menjadi wartawan di sebuah harian nasional yang terbit di Batam, akhir tahun 1998.
Dan obsesi yang tergapai itu membuatkan mabuk kepayang. Dengan penuh gairah, meski bergaji rendah (gaji pertama hanya sebesar Rp 300 ribu), aku bekerja keras, bahkan sangat keras hingga tak terasa hampir setahun aku bekerja dari pagi sampai malam tanpa libur. Liburan baru aku dapatkan setelah aku tergeletak di rumah sakit. Pertama karena kecapaian, kedua karena terkena gejala demam berdarah.
Namun kerja kerasku, bersama-sama dengan teman-temanku sekantor, membuahkan hasil yang sangat manis, terutama bagi para pemilik saham perusahaan yang merupakan salah satu anak perusahaan sebuah group media terbesar di Indonesia. Oplah harian yang awalnya hanya 6 ribuan eksemplar dalam waktu satu tahun naik menjadi 20-25 ribu eksemplar serta berhasil menjadi salah satu koran berpenghasilan iklan terbesar di Indonesia. Dengan keuntungannya, koranku bahkan berhasil mendirikan beberapa anak perusahaan yang bergerak di berbagai bidang mulai dari media massa (termasuk televisi & radio), biro travel, perhotelan hingga property, tersebar di beberapa kota seperti Batam, Tanjungpinang, Pekanbaru, Banda Aceh dan Medan.
Karierku pun berjalan lancar. Dari mulanya seorang calon reporter, aku berhasil menduduki jabatan Editor Eksekutif hanya dalam waktu dua tahun.
Namun dunia wartawan ternyata bukan seperti yang aku obsesikan seperti wartawan jaman Tirto Adisoeryo. Memang banyak enaknya jadi wartawan di daerah “basah” seperti Batam. Amplop bertebaran di sekitarku. (Setelah jadi redaktur tidak lagi berupa amplop, tetapi bentuk lain yang lebih menggiurkan). Ditambah berbagai “servis” dan “fasilitas” yang disediakan para “narasumber”, serta power dan ketenaran yang didapat karena kedekatan dengan orang-orang penting di daerah. Bagaimanapun kepentingan bisnis pemilik modal seringkali bertentangan dengan idealisme seorang wartawan. Beberapa kali aku ditegur atasan karena tulisan-tulisanku yang dianggap mengancam keberadaan koran.
Aku masih beruntung, tidak seperti rekanku yang mendapat kiriman berlembar-lembar kertas fax dari pimpinan (yang tengah berada di luar daerah) yang dengan panjang lebar mendikte bawahan dengan kalimat terakhir: “Siapa yang mengatakan si Fulan adalah raja judi?”.
Soal amplop yang beterbangan awalnya aku segan menerimanya. Namun mengingat standar gaji wartawan yang rendah meski koranku telah menjadi mesin uang yang besar, ditambah fakta tidak ada wartawan yang kutemukan bersih dari amplop hatta wartawan media besar nasional sekali pun, aku pun tidak bisa lagi menolak.
Setelah meninggalkan Batam aku masih berharap bisa menemukan dunia jurnalisme yang kuidaman dengan bekerja sebagai wartawan di Medan. Namun lagi-lagi kondisi tidak terlalu jauh berbeda, bahkan di Medan kondisinya lebih parah. Di Batam profesi wartawan masih jauh lebih dihargai dibandingkan daerah lain di Indonesia, bahkan termasuk Jakarta, karena masih ada banyak wartawan idealis di sana.
Kini, setelah banyak membaca dan mengkaji berbagai fenomena sosial-politik masyarakat, aku semakin mengenal sisi gelap dunia kewartawanan. Hampir semua wartawan (kecuali beberapa wartawan idealis yang tersisih dari mainstream dunia jurnalisme) bekerja untuk kepentingan kapitalis lokal. Kapitalis lokal itu sendiri pada akhirnya bekerja untuk kepentingan kapitalis asing.
Lihat saja bagaimana para wartawan diam seribu basa tentang keterlibatan Syamsul Nursalim atas kasus suap Arthalita terhadap jaksa Urip. Atau lihat saja bagaimana mereka begitu gencar memberitakan tuntutan pembubaran FPI seraya menyembunyikan tuntutan pembubaran Ahmadiyah. Atau bagaimana mereka begitu gencar mengkampanyekan pornoaksi goyang Inul dan “bencongisasi” televisi.
Aku sempat bermimpi menjadi seorang wartawan senior terkenal dan berpengaruh saat bertemu IRs, seorang musisi jazz terkenal tanah air. Kepadaku ia mengaku sebagai pejabat intel setingkat jendral bintang dua. Ia mengaku kenal dengan para petinggi group media tempat aku bekerja dan berjanji akan membantu karierku di dunia jurnalisme. Melalui jaringannya yang terkait dengan kepentingan asing, sangat mungkin seorang wartawan lokal seperti aku berubah menjadi seorang wartawan senior berpengaruh seperti GMh yang dulunya hanya orang desa miskin bukan siapa-siapa itu (kebetulan aku berasal dari daerah yang sama dengan GMh, hanya dia lebih udik). Tentunya setelah melalui "jalur yang tepat": mengikuti kursus atau sekolah jurnalisme di Amerika dengan beasiswa asing, menduduki jabatan strategis di media massa tempat bekerja, membentuk atau bergabung dengan LSM “pejuang demokrasi, HAM dan kebebasan”, menulis buku atau artikel-artikel kontroversial yang mendekonstruksi nilai-nilai lama, terutama agama (tidak peduli hanya sekedar menjiplak ide orang lain), dan menunjukkan loyalitas kepada kepentingan asing (seperti membela aliran Ahmadiyah atau membela aktifis LSM asing yang dideportasi pemerintah).
Jangankan hanya menjadi wartawan senior, menjadi menteri atau bahkan presiden pun sangat mungkin sekali. Di Indonesia, kepentingan asing dengan leluasa mendapatkan semua yang diinginkan: Timtim-Blok Natuna-Blok Cepu “lepas”, Playboy-Aceh-Namru 2-Abu Bakar Ba’asyir-Habib Rizhieq “aman”, Ahmadiyah-RUU APP “quo vadis”.
Tapi segera kubuang jauh-jauh mimpi itu karena aku tidak yakin betul atas pengakuan IRs mengingat ia adalah seorang entertainer yang suka becanda. Lagipula tidak lama kemudian aku pun keluar dari koran tempatku bekerja.
Kini aku tidak lagi menjadi wartawan. Namun aku masih terus menggeluti dunia tulis-menulis. Karya tulisku sudah lebih dari cukup untuk dibuat menjadi sebuah buku. Tinggal diedit sedikit dan menyiapkan sejumlah uang untuk modal cetak, maka bukuku yang terregistrasi (ISBN) sudah siap beredar di toko-toko buku.
Namun aku telah menemukan sarana lain yang lebih baik untuk mengekspresikan jiwa kewartawananku, yaitu blog ini.

Sunday, 3 August 2008

ISLAM & SEJARAHNYA


Prof. Syafi’i Ma’arief, tokoh Islam liberal mantan pimpinan Muhamaddiyah dalam kolomnya di majalah Gatra edisi awal Agustus 2008 lalu menulis topik yang sangat menarik, yaitu hitamnya sejarah Islam. Menurutnya selama ini ummat Islam tidak banyak banyak mengetahui sejarah Islam yang penuh dengan hal-hal negatif. Kalaupun ada sebagian orang Islam mengetahui, mereka cenderung menyembunyikan fakta-fakta sejarah tersebut karena tidak dapat menerima kontradiksi yang sangat besar dengan keyakinan umat Islam yang telah berakar kuat selama belasan abad. Sebagian bahkan takut dicap kafir untuk mengungkapkan fakta-fakta sejarah sebenarnya, misalkan dengan menulis buku atau menyatakan pendapatnya secara terbuka tentang fakta-fakta sejarah yang kontroversial tersebut.

Di akhir tulisannya Prof. Syafi’i dengan sinis menantang para pengusung bendera khilafah (mungkin maksudnya orang-orang Hizbut Tahrir dan orang-orang yang memperjuangkan tegaknya khilafah Islam) untuk membaca sejarah Islam dengan baik. Tampaknya Prof. Syafi’i yakin setelah membaca sejarah itu, para pengusung bendera khilafah itu akan berubah pikirannya untuk tidak mempercayai kekhilafahan Islam karena dalam sejarahnya penuh dengan noda hitam dan bercak darah.

Hanya sayangnya, sebagai seorang tokoh Islam, Syafi’i nyaris tidak menyisakan kebaikan dalam sejarah kekhilafahan umat Islam yang telah berlangsung selama 15 abad. Tidak saja ummat Islam sunni, ummat Islam syiah pun, menurut pandangan Syafi’i dilingkupi dengan sejarah yang kelam. Misalnya ia menuduh cucu Rosulullah yang merupakan salah satu Imam kaum Syiah, Hasan bin Ali, menerima imbalan materi (disebutkan imbalan tertentu) setelah berdamai dengan Mu’awiyah yang merupakan musuh bebuyutan ayahnya, Ali bin Abi Thalib. Sedangkan tuduhan negatif yang terkait dengan keyakinan kaum sunni adalah pendapatnya bahwa seluruh khalifah Islam jaman dahulu, kecuali sedikit di antaranya, adalah orang-orang yang dzalim dan tamak.

Aku sependapat dengan Prof. Syafi’i kecuali pendapat tentang Hasan bin Ali yang akan akan aku bahas kemudian. Sejarah Islam setelah wafatnya Rosul memang penuh dengan noda hitam dan bercak darah pembunuhan, pemberontakan, pengkhianatan. Tidak perlu membaca buku-buku sejarah buatan orang-orang orientalis atau orang-orang Syiah yang dianggap kafir. Buku-buku sejarah klasik dan modern Islam sendiri seperti karangan Ibnu Ishak, Ibnu Katsir, dan Haikal mencatat noda-noda hitam itu.

Bagaimana dengan tulisan Ibnu Katsir tentang peristiwa Hurrah, yaitu peristiwa penyerbuan tentara Jazid bin Mu’awiyah, anak Mu’awiyah dan cucu Abu Sufyan, terhadap Kota Madinah akibat pemberontakan penduduk Kota Nabi yang sebagian diantaranya adalah para sahabat utama dan para tabi’ini? Tentara Jazid, yang sebagian di antaranya juga adalah sahabat dan tabi’in, merampok, membunuhi penduduk Kota Nabi dan memperkosa para wanitanya dengan keji hingga satu tahun setelah itu di Kota Nabi terdapat sekitar 1.000 anak kecil yang lahir tanpa jelas siapa ayahnya?

Lalu siapa yang bisa membantah peristiwa perusakan Ka’bah oleh Jazid, putra Mu’awiyah yang oleh sebagian ummat Islam dipuji-puji setinggi langit (tanpa dasar) sebagai sahabat utama dan seorang penulis wahyu Rosul?

Aku tidak akan menyinggung peristiwa Karbala dan penindasan yang dilakukan para khalifah terhadap keluarga Rosulullah, yang kebenarannya diketahui oleh semua orang Islam. Atau penindasan yang dilakukan para khalifah terhadap para ulama hingga dari empat Imam atau ulama besar Islam: Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hambali, tiga diantaranya meninggal dibunuh oleh para khalifah dan satu sisanya nyaris meninggal karena disiksa. Tapi bagaimana dengan kelakuan Khalid bin Walid? Seorang sahabat utama Rosul yang lain? Dua kali ia membunuh orang muslim dan memperkosa jandanya hingga membuat Umar bin Khatab marah dan menyebutnya “musuh Allah” dan Abu Bakar terpaksa membayar diyat? Detil ceritanya disebutkan oleh semua buku sejarah Islam klasik, tapi Khalid tetap dipuji-puji sebagai seorang sahabat yang adil.

Aku cukupkan di sini saja karena aku takut dianggap Syiah dan dihalalkan darahku untuk dibunuh meski aku bukan orang Syi’ah karena tidak memahami keyakinan Imam ke 12 yang ghoib serta menganggap ritual penyiksaan diri mereka adalah bi’dah warisan budaya penyembah berhala.

Mengenai Hasan bin Ali cukup aku ingatkan bahwa ia adalah ahlul bait yang oleh Allah telah disucikan sesuci-sucinya (QS: Al Ahzab 33). Kebijakannya berdamai dengan Mu’awiyah adalah demi kepentingan ummat, tanpa reserve apapun setelah menyadari Mu’awiyah yang lebih lihai berpolitik, termasuk dengan ancaman dan bujukan, mampu menarik dukungan lebih banyak ummat. Reserve yang Hasan minta hanyalah agar Mu’awiyah dan keluarganya menghentikan kebiasaan menghujat keluarga Rosul di depan mimbar yang terbukti kemudian terus dilanggar Muawiyah dan penerusnya. Kebijakan damai tersebut sama seperti kebijakan ayahnya, Ali bin Abi Thalib, yang membiarkan Abu Bakar, Umar dan Usman menduduki jabatan khalifah, meski secara batin merasa lebih berhak. Saat Abu Bakar dibai’at, Ali sebenarnya mempunyai kekuatan untuk merebutnya karena dukungan Bani Hasyim, Bani Umayah (keluarga Abu Sufyan) dan kaum Anshar keluarga Sa’ad bin Ubadah (Sa’ad, seorang sahabat utama pemuka kaum Anshar, meninggal di pengasingan tanpa pernah membai’at Abu Bakar). Hanya karena memenuhi amanat Rosul untuk tidak menumpahkan darah sesama muslim, Ali rela menahan diri.

Bagi yang tidak percaya dengan fakta ini dapat melihat Shahih Bukhari (kitab yang derajat validitasnya dianggap paling tinggi setelah Al Qur’an) bab bai’at Ali terhadap Abu Bakar. Saat itu, sekitar enam bulan sejak Abu Bakar memegang jabatan khalifah, Ali mendatangi Abu Bakar untuk membai’atnya. Namun dalam pembicaraan antar keduanya ia masih berusaha mengingatkan Abu Bakar tentang haknya atas jabatan khalifah.

“Kamu mengetahui bahwa kami lebih berhak atas urusan itu (jabatan khalifah),” kata Ali kepada Abu Bakar. Abu Bakar menjawab bahwa ia tidak merebut jabatan khalifah dari Ali, namun ia hanya menerima amanah umat yang telah membai’at-nya.
Mengenai keadilan semua sahabat Rosul sebenarnya tidak memiliki nash yang kuat. Nash yang ada justru mendelegitimasi keyakinan itu. Saya sebutkan beberapa di antaranya:
“Dan di antara orang-orang di sekelilingmu itu (penduduk kota dan orang-orang badui) terdapat orang-orang yang keterlaluan dalam kemunafikan. Engkau (Muhammad) tidak mengetahui mereka. Kamilah yang mengetahui mereka.” (QS. At Taubah: 101)

Rosul juga bakal terkejut di akhirat kelak menjumpai di antara penghuni neraka adalah para sahabat dekatnya. Sama seperti Nabi Isa (tertulis dalam kitab Injil), Rosul akan berkata kepada Allah di akhirat: “Aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di tengah-tengah mereka. Kemudian setelah Engkau wafatkan aku, Engkaulah yang mengawasi mereka” (QS. Al Maidah: 117). (Tafsir seperti ini terdapat dalam Shahih Bukhari).

Kebanyakan orang takut mengakui hitamnya sejarah Islam karena seolah-olah menganggap Rosul gagal menjalankan misinya. Padahal tidak ada hubungan yang mutlak antara tugas Rosul dengan keimanan umatnya, sama seperti halnya tugas nabi-nabi sebelumnya dengan keimanan ummatnya. Bukankah tugas Rosul hanya menyampaikan? Dan bukankah hampir semua Rosul terdahulu di”khianati” umatnya? Sebagian di antaranya bahkan dibunuh oleh umatnya?

Meski sejarah hitam melingkupi umat Islam sepeninggalnya, Rosul tetap berhasil dalam misinya. Karena Rosul-lah maka ajaran tauhid yang telah punah kembali hidup di muka bumi hingga sekarang, setelah umat-umat sebelumnya (Yahudi dan Nasrani) gagal menjaganya. Terlepas dari kehidupan mereka yang kelam karena pertikaian, umat Islam sepeninggal Rosul adalah orang-orang yang menyembah Allah yang Esa, bukan lagi berhala.

Mengenai hal itu Rosul pernah berkata: “Aku tidak khawatir kalian akan kafir sepeninggalku. Aku hanya khawatir kalian akan bertikai memperebutkan dunia.” (Shahih Bukhori).

Aku punya tetangga yang sekitar setahun terakhir ini aktif dalam kegiatan-kegiatan komunitas yang menamakan diri kaum salafi. Sejak itu tetanggaku itu nampak aneh di mataku. Pertama ia mengharamkan musik hingga di rumahnya kini tidak lagi ada TV ataupun perlengkapan audio-visual lainnya. Selanjutnya ia menolak undangan tetangga mengikuti untuk kenduri. Dan yang terakhir ia melarang anaknya yang sekolah di SD Muhamaddiyah untuk mengikuti pelajaran tarikh atau sejarah Islam.

Aku tidak tahu alasan mengapa larangan mengikuti pelajaran sejarah itu dilakukan. Tapi aku yakin karena takut, atau ditakut-takuti, untuk mengakui hitamnya sejarah Islam.