Sunday, 30 November 2008
PELAJARAN DARI INDIA
Beberapa waktu lalu saya terlibat sebuah diskusi tentang krisis keuangan global di sebuah milis yang dikelola teman-teman se-SMA. Teman diskusi saya, seorang pegawai bank dan seorang dosen ITB pemegang gelar doktor ilmu kimia dari Jepang. Teman saya yang pegawai bank mengirimkan tulisan Dahlan Iskah (bos Jawa Pos Group) tentang sub-prime mortgage yang menjadi penyebab krisis. Di akhir tulisan teman saya itu menambahkan komentar singkat: “Setidaknya kita masih bisa menanam jagung”. Komentar ini dikomentari teman saya yang doktor ITB: “Jagung siapa. Semuanya sudah dimiliki BISI.”
Teman saya yang pegawai bank rupanya berilusi menjadi seorang petani di negeri Indonesia yang adil makmur gemah ripah loh jinawi. Namun teman saya yang doktor ITB lebih realistis: Indonesia bukan lagi negeri adil makmur gemah ripah loh jinawi.
Diskusi tersebut mengingatkan saya pada sebuah artikel di situs berita Daily Mail.co.uk pada 3 Novemberi lalu berjudul The GM Genocide, tentang fenomena bunuh diri massal para petani India karena kemiskinan dan jeratan hutang.
Menurut artikel tersebut diperkirakan 125.000 petani India melakukan bunuh diri beberapa tahun terakhir karena kegagalan panen dan jeratan hutang. Kementrian Pertanian India mengkonfirmasi lebih dari 1.000 petani melakukan bunuh diri setiap bulannya. Fenomena bunuh diri massal, atau sering disebut GM Genocide ini nyaris diabaikan media massa sampai Pangeran Charles dari Inggris membuat pernyataan keras menyangkut fenomena ini. Menurut Charles bunuh diri massal petani India telah menjadi sebuah krisis kemanusiaan besar dan telah tiba saatnya untuk mengakhiri fenomena miris tersebut.
Berbicara via telemedia di sebuah konperensi di New Dehli, Charles menuduh perselingkuhan industriawan bio-agriteknologi dan politisi sebagai penyebab tragedi tersebut.
Para politisi dan industriawan, dibantu para “ilmuwan bayaran”, segera membantah pernyataan tersebut. Menurut mereka GM (genetically modified, produk pertanian yang telah direkayasa secara genetis) telah meningkatkan produksi pertanian India jauh lebih besar dari sebelumnya. Para petani di seluruh dunia pun seharusnya mengikuti keberhasilan itu, demikian kata mereka. Para ahli pro GM mengklaim fenomena bunuhdiri massal disebabkan oleh kemiskinan stuktural, alkohol, dan kekeringan, bukan oleh GM.
Untuk mengetahui kondisi sesungguhnya, Andrew Malone, jurnalis Daily Mail melakukan pengamatan langsung di daerah yang disebut 'suicide belt' atau “sabuk bunuh diri” di propinsi Maharashtra. Yang dilihatnya jauh lebih dahsyat dari perkiraan. “Orang-orang desa yang sederhana, mereka mati secara perlahan-lahan,” lapor Andrew.
Andrew menemukan sebagian besar petani di daerah “sabuk bunuh diri” mengalami kegagalan panen setelah menggunakan bibit GM buatan perusahaan Amerika Monsanto Co. Selanjutnya mereka masih dibebani dengan hutang yang harus mereka bayar yang mereka dapatkan sebelumnya untuk membeli bibit yang setiap saat bertambah mahal harganya hingga mencapai 10 x harga bibit tradisional.
“Di satu desa kecil saya menemukan 18 petani bunuh diri setelah terlilit hutang. Di banyak kasus para istri menyusul kematian sang suami dengan melakukan bunuh diri juga, meninggalkan anak-anak yang menangis histeris mengingat orang tuanya,” ungkap Andrew.
Para petani mengaku tergiur membeli bibit GM setelah salesman Monsanto dan pegawai pertanian pemerintah menjanjikan hasil berlipat ganda selain ketahannya terhadap hama penyakit. Mereka pun rela merogoh kocek lebih banyak untuk membeli bibit GM. Mereka bahkan rela berhutang kepada rentenir karena tergiur dengan hasil yang dijanjikan.
Kenyataannya pemerintah berperan serta dalam tragedi ini. Dalam rangka mempromosikan bibit GM, pemerintah menghilangkan bibit tradisional dari pusat-pusat pembibitan. Dan sebagai imbalan dibukanya India untuk produk-produk GM buatan Amerika terutama dari Monsanto Co, pemerintah India mendapatkan “bantuan” dari IMF sepanjang dekade 1980-an dan 1990-an millenium lalu yang mendorong booming ekonomi India hingga mencapai pertumbuhan 9% setahun.
Namun, sementara pertumbuhan ekonomi tampak jelas di kota-kota besar seperti Mumbai dan Dehli, dan orang-orang India seperti Mukesh Ambani, Laksmi Mittal dan Azim Pramji muncul sebagai orang-orang terkaya di dunia (Mukesh Ambani baru saja membangun rumah pribadi setinggi gedung 60 tingkat senilai 1 miliar dolar atau lebih dari Rp 10 triliun dan membeli pesawat jet pribadi senilai $60 juta untuk hadiah ulang tahun sang istri), di desa-desa kemiskinan justru semakin merajalela. Dan meski area pertanian pengguna bibit GM tumbuh dua kali lipat dalam dua tahun terakhir hingga mencapai 17 juta acre, banyak petani harus membayar terlalu mahal.
Jauh dari bibit tahan hama yang dipromosikan, bibit GM mudah terkena penyakit bollworms, sejenis cacing parasit. Selain itu bibit GM membutuhkan air yang jauh lebih banyak dari bibit tradisional. Dengan kekeringan yang melanda India dua tahun terakhir, kebanyakan bibit GM mati sebelum berkembang, meninggalkan petani miskin yang terlilit hutang.
Umumnya kegagalan panen masih dapat diobati dengan keberhasilan panen di musim berikutnya dengan bibit yang diambil dari sisa hasil panen yang masih dapat dipetik. Namun tidak demikian halnya dengan bibit GM yang mengandung sifat “terminator technology”, bibit yang disemai dari hasil panen tidak bisa memberikan hasil yang memadai. Akibatnya petani harus membeli bibit setiap tahun, dengan harga bibit yang semakin lama semakin naik seiring semakin tinggi ketergantungan petani kepada bibit tersebut.
Seorang petani yang kehilangan temannya karena bunuh diri mengatakan, “Dia meninggal karena bibit GM. Mereka menjual bibit itu, mengatakan bibit itu tidak memerlukan pestisida, namun kenyataannya tidak demikian. Kami harus membelinya setiap tahun. Ini membunuh kami semua. Tolong katakan pada dunia apa yang terjadi di sini.”
Pemerintah India terkesan abai terhadap penderitaan para petani hingga para petani pun merasa putus asa terhadap segala upaya penyelamatan. “Kami hanya ingin bantuan untuk mencegah lebih banyak lagi dari kami yang mati,” kata para petani.
Pangeran Charles begitu tersentuh dengan fenomena tersebut sehingga beliau mendirikan sebuah yayasan Bhumi Vardaan Foundation yang didedikasikan untuk membantu para petani. Para petani juga mulai melakukan perlawanan, di antaranya mengadakan aksi penjarahan terhadap distributor bibit GM selain mengadakan aksi-aksi protes.
Pemerintah propinsi Andhra Pradesh pernah melarang proguk GM Monsanto Co dijual di propinsi tersebut pada tahun 2005, namun kemudian dicabut kembali. Pemerintah Andhra Pradesh juga tengah melakukan tuntutan hukum kepada Monsanto Co dan anak perusahaannya di Mumbai, Maharashtra Hybrid Seed dengan tuduhan melakukan praktek monopoli benih pertanian yang disertai penetapan harga terlalu tinggi, selain tuntutan ganti rugi atas kerugian yang ditimbulkan kepada petani.
Terlepas dari fenomena GM Suicide di India, Monsanto Co adalah perusahaan yang sangat kontroversial. Didirikan awal abad 20 oleh keluarga Monsanto, Yahudi pedagang budak asal kota New Orleans, Monsanto Company tercatat sebagai perusahaan bioteknologi pertanian terbesar di dunia dengan keuntungan tahun 2007 lalu mencapai 8,5 miliar dolar, Monsanto terkenal dengan produk-produknya yang tidak ramah lingkungan. Monsanto juga terkenal dengan praktik bisnisnya yang kotor seperti penyuapan dan tindak kekerasan ala mafia. Ia diketahui menyewa mantan pejabat tinggi Amerika hingga tentara bayaran untuk memperlancar bisnisnya. Di antara pejabat tinggi Amerika yang disewa adalah Donald Rumsfeld, mantan menteri pertahanan dalang Perang Irak.
Saya masih belum tahu apakah produk BISI yang disebutkan teman saya dari ITB merupakan salah satu produk dari Monsanto Company. Namun yang pasti Monsanto telah mulai menancapkan kukunya di Indonesia. Buktinya jelas dari beberapa kasus penyuapan yang dilakukan Monsanto terhadap para pejabat Indonesia. Pada tahun 2002 Monsanto mengakui telah menyuap Menteri Negara Lingkungan Hidup senilai $50 ribu untuk menghindari kewajiban pemeriksaan dampak lingkungan atas produknya. Monsanto juga mengaku telah menyuap beberapa pejabat Indonesia antara tahun 1997-2002. Pada bulan Januari 2005 Monsanto juga didenda $1,5 juta karena berusaha menyuap seorang pejabat Indonesia.
Awas Ancaman Totaliterisme Global!
Kamis (20/11) lalu pengadilan Kota London, Inggris, menghentikan perkara penuh kontroversi yang menimpa DR. Frederick Toben. Inggris, negara yang memiliki tradisi hukum yang kuat untuk melindungi kebebasan hak-hak menyampaikan pendapat, menahan Toben karena tuduhan menyebarkan kebencian kepada Yahudi (anti-semit). Tuduhan tersebut ditimpakan kepada Toben, seorang sejarahwan Australia, karena telah menyebarkan pendapatnya yang mempertanyakan “kebenaran” holocoust (pembantaian 6 juta orang Yahudi pada Perang Dunia II) di internet. Toben telah ditahan polisi Inggris sejak tgl 1 Oktober lalu berdasarkan European Arrest Warrant yang dikeluarkan pemerintah Jerman yang juga memintanya diekstradisi ke Jerman untuk diadili.
Belajar dari kegagalan kasus Toben, kaum Yahudi Eropa berupaya memperkuat cengkeramannya agar tidak ada lagi kasus sejenis berakhir kebebasan bagi terdakwanya. Menyusul bebasnya Toben, Dewan Eropa (The Council of Europe), sebuah lembaga non-konstitusional seperti halnya Uni Eropa, menyatakan tidak akan membiarkan adanya perbedaan penafsiran dan implementasi seputar hukum kebencian (hate law) di Eropa yang menyebabkan lolosnya para tersangka dari hukuman seperti halnya Toben. Dewan Eropa akan membuat sistem hukum yang akan membuat seluruh negara Eropa mempunyai standar hukum yang sama seputar hukum kebencian.
Dapat dipastikan di masa mendatang, jika rencana tersebut benar-benar terealisasi (dan selama ini hampir agenda “negara super” Uni Eropa menggelinding tanpa resistansi berarti dari negara-negara Eropa), para penolak mitos holocoust, pembenci yahudi dan pembenci homoseksual tidak akan dapat lolos dari jeratan hukuman (undang-undang kebencian seringkali mengarah kepada mereka. Dalam hal tertentu orang-orang yang dianggap berseberangan pandangan dengan negara dapat dikenai hukuman tersebut karena sifat undang-undang yang intepretatif).
Sebagimana dilaporkan oleh Jerusalem Post, sebuah koran Israel baru-baru ini bahwa “Dewan Eropa tengah mempertimbangkan dalam beberapa tahun mendatang, sebuah undan-undang untuk menstandarisasikan dan menyatukan konvensi (UU) Anti-kebencian melalui negara-negara anggota Dewan Eropa.”
“European Framework Convention on Promoting Tolerance and Combating Intolerance (EFCPTCI, tim perancang UU anti-kebencian Eropa) telah menyampaikan rancangan undang-undang tersebut di depan Parlemen Uni Eropa minggu lalu. Para perancangnya berharap undang-undang itu dapat segera diadopsi oleh 47 negara anggota Uni Eropa (“Europe considers unifying anti-prejudice legislation” Jerusalem Post, November 16, 2008).
UU anti-kebencian Eropa, sebagaimana juga di Amerika, dirancang oleh lembaga Yahudi yang sangat berpengaruh, Anti-Defamation League (ADL). ADL juga mengkampanyekan pembentukan The Organization for Security and Cooperation in European (OSCE) dan The International Network Against Cyberhate (INACH). Lembaga-lembaga itu didirikan untuk memberangus pandangan-pandangan Kristen konservatif di negara-negara Eropa yang secara otomatis menghancurkan akar agama tersebut. Pandangan agama yang paling sering diincar saat ini adalah tentang homoseksualitas.
Jerusalem Post juga mengungkapkan, “Konvensi tersebut dirancang oleh The European Council on Tolerance and Reconciliation (ECTR), sebuah kelompok yang dibentuk atas inisiatif Kongres Yahudi Eropa.”
Secara simultan ADL juga terus berupaya mendorong Amerika untuk UU-anti kebencian sehingga memperkuat terciptanya konvensi dunia anti-kebencian kepada Yahudi (baca konvensi dunia pro-Yahudi). Upaya tersebut tampak dalam sebuah pertemuan internasional The Global Summit on Internet Hate di Washington. Dalam konperensi tersebut pimpinan INACH Chris Wolf, Senator Benjamin Cardin, pejabat kementrian luarnegeri David A. Gross serta pimpinan ADL Abe Foxman (semuanya adalah Yahudi) mengatakan, teknologi internet memungkinkan tumbuh suburnya kelompok-kelompok pembenci Yahudi di seluruh dunia.
Dalam kesempatan itu Chris Wolf mengatakan: “Virus kebencian telah menjangkiti teknologi internet. Internet secara terus-menerus digunakan orang untuk mengungkapkan pandangan kebenciannya dalam berbagai sisi: anti-Semit, penolak holocoust, rasisme, anti-homoseksual, dan teroris. Kemunculan teknologi internet baru dan penggunaannya oleh para “pembenci” jauh lebih mengkhawatirkan daripada yang kita duga. Hal ini diperparah lagi adalah munculnya teknologi Web 2.0. . .Pada YouTube, misalnya, terdapat ribuan video berisi pesan-pesan rasisme, anti-semit, anti-homoseksual, dan kebencian kepada minoritas. Untuk setiap situs yang bisa kita deteksi dan kita tutup, terdapat satu atau lebih penggantinya dalam berbagai bentuk.”
Keynote speaker dalam The Global Summit ….., James Cicconi, seorang top eksekutif perusahaan telekomumikasi Amerika AT&T mengatakan, AT&T akan melakukan program untuk mencegah wabah “pembenci” internet menjangkiti anak-anak. Pendapat Cicconi sejalan dengan kampanye yang dilakukan ADL dengan apa yang disebutnya “cyber bullying” terhadap anak-anak.
Sekilas ADL
ADL dibentuk tahun 1913 (tahun yang sama UU bank sentral Amerika yang memberikan kekuasaan moneter kepada swasta Yahudi diundangkan) untuk membungkam siapa saja yang menentang Zionisme dan Jehudisme. Organisasi ini efektif mengkampanyekan pandangan-pandangan pro-Yahudi dan anti-Kristiani. Secara efektif mereka berhasil menghentikan ritual baca doa (secara Kristen) di sekolah-sekolah dan universitas Amerika, mengkampanyekan libur hari Sabtu (hari suci Yahudi), menjauhkan simbol-simbol Kristen dari gedung dan kantor pemerintah, sekolah-sekolah dan tempat-tempat publik (misalnya taman) di Amerika, dan program-program sekularisme lainnya. Namun sebalinya mereka sukses membangun sebuah menorah (simbol Yahudi) raksasa di Gedung Putih. Demikian berpengaruhnya organisasi ini terutama di Amerika sehingga tidak ada seorang pun yang berani mengungkapkan pandangan anti Yahudi dapat selamat dari hukuman.
ADL juga gencar mengkampanyekan gerakan cinta-homoseksual, sebuah penyimpangan yang telah merusak tatanan sosial masyarakat di seluruh dunia termasuk Indonesia. (Baca artikel “Homonisasi” dalam blog ini). Mereka bahkan memberi penghargaan “Torch of Liberty Award” kepada bos dan pendiri majalah Playboy, Hugh Hefner!
Mengapa ADL begitu peduli dengan anak muda, sementara ia justru mengkampenyekan homoseksual dan pornografi yang banyak menimbulkan korban pada anak-anak? Hal ini tidak lain karena mereka berharap bisa terlibat dalam lembaga sensor internet yang kemungkinan segera dibentuk pemerintah. Dengan keterlibatannya itu ADL akan semakin menancapkan kekuatannya untuk memberangus pandangan-pandangan anti-Yahudi, anti-homoseksual, dan anti Israel.
Tuesday, 25 November 2008
AGEN CIA DI INDONESIA?
Akhir-akhir ini Indonesia digegerkan dengan isu tentang Adam Malik, seorang negarawan dan tokoh pejuang yang disebut-sebut sebagai agen CIA, alias menjadi pengkhianat bangsa.
Sebagian orang terkejut dengan isu itu. Namun sebagian lagi menganggap sebagai sesuatu yang tidak terlalu mengejutkan. Salah seorang yang berpendapat terakhir adalah Gubernur Lemhanas Muladi. Menurutnya tidak tertutup kemungkinan bahkan dalam kabinet SBY sekarang terdapat mentri-mentri pengkhianat yang bekerja untuk kepentingan asing. Mentri-mentri itu bankan kemungkinan besar menduduki jabatan di kementrian yang strategis.
Terlepas dari silang pendapat tersebut saya pribadi sudah lama mengetahui banyak sekali agen intelegen asing yang menduduki posisi dan jabatan tinggi di Indonesia. Mereka menduduki jabatan di birokrasi sipil dan militer, pers, LSM, perguruan tinggi, seniman dan artis, agamawan dlsb.
Semuanya ini sebenarnya sesuatu yang sangat wajar, mengingat mental inlander akibat penjajahan merupakan mental yang telah mendarah-daging pada sebagian besar rakyat Indonesia. Ciri umumnya: rendah diri dan selalu merasa kurang, mudah terpesona dengan kemajuan asing dan sudah pasti mudah terbujuk dengan harta dan kedudukan.
Selama penyakit ini tidak hilang, maka selamanya Indonesia akan menjadi negara miskin, korup, dan menjadi sapi perahan bangsa asing.
Terus terang saya kurang begitu bergairah menganalisa berita-berita dan fenomena-fenomena politik tanah air karena faktor tersebut di atas. Indonesia hanyalah resultan ke-sekian dari fenomena sosial-politik-ekonomi luar-negeri khususnya Amerika.
PEMBANTAIAN WACO
Pada tanggal 19 April 1993 terjadi sebuah peristiwa kemanusiaan yang sangat tragis yang ironisnya peristiwa itu terjadi di Amerika, negeri yang mengklaim sebagai negeri pelopor demokrasi dan HAM. Peristiwa itu adalah Pembantaian Waco (The Waco Massacre).
Peristiwa ini terjadi karena penyerbuan pasukan gabungan dari institusi-institusi keamanan Amerika: FBI, CIA, BATF, National Guard, US Army terhadap sekelompok penganut agama Kristen sekte Branch Davidians.
Beberapa hal menjadi sebab peristiwa ini sangat tragis.
1. Terjadi korban tewas sebanyak 74 orang, 21 di antaranya anak-anak tak berdosa.
2. Penyerbuan itu tidak memiliki dasar hukum. Alasan penyerbuan pemerintah: kepemilikan senjata dan keyakinan beragama yang berbeda, justru dilindungi oleh konstitusi Amerika.
3. Seandainya terjadi pelanggaran hukum pun tindakan pemerintah luar biasa berlebihan, termasuk dengan menggunakan perlengkapan militer seperti tank. Apalagi pemerintahan Amerika saat itu dikuasai oleh partai Demokrat yang gencar mengkampanyekan demokrasi dan HAM ke seluruh dunia.
4. Terjadi beberapa aspek misterius di balik peristiwa ini.
Peristiwa ini diawali dengan kecurigaan dinas pengawas alkohol, tembakau dan senjata (BATF), kepada sekelompok anggota sekte Branch Davidians pimpinan David Koresh yang menyimpan senjata api di perkampungan mereka di Mount Carmel, Waco, Texas.
Sebagai negara yang melindungi hak warganya untuk memiliki senjata api, kecurigaan itu sebenarnya berlebihan. Apalagi bila hal itu diikuti dengan tindakan penyerbuan (dan penghancuran) ke perkampungan David Koresh untuk mengamankan senjata milik para pengikut David Koresh sementara di dalamnya terdapat puluhan anak-anak dan wanita yang tidak berdosa. Padahal konstitusi Amerika melarang penggunaan perlengkapan militer terhadap warganegara sipil. Lebih tragisnya lagi penyerbuan juga menyertakan penggunaan gas syaraf yang bahkan dilarang digunakan dalam peperangan.
Aspek misterius dalam hal ini adalah meninggalnya jaksa penyidik perkara ini, Paul Wilcher, sebulan setelah melaporkan penyidikannya ke Jaksa Agung.
Dalam penyidikannya ia menemukan fakta bahwa penyerbuan tersebut adalah sebuah kebijakan yang sengaja dibuat oleh para pejabat tingkat tinggi pemerintah yang tidak ia sebutkan motifnya. Wilcher menganggap Jaksa Agung Janet Reno dan Presiden Bill Clinton tidak terlibat dalam kasus ini. Namun itu adalah kesimpulan na'if yang harus ditebus dengan kematiannya. Tidak akan ada penyerbuan, apalagi seperti yang terjadi di Waco, tanpa adanya ijin dari Jaksa Agung dan Presiden Amerika.
Lalu pelajaran apa yang dapat diambil dari peristiwa tersebut? Analisa penulis, juga analisa banyak ahli, peristiwa itu merupakan test case dari agenda tersembunyi dari sekelompok “penguasa belakang layar” untuk menjadikan Amerika negara totaliter. Analisa ini mendapat banyak bukti penguat dari kecenderungan politik Amerika ke arah negara totaliter setelah peristiwa itu. UU pembatasan penggunaan senjata api, Patriot Act, Real ID Act (UU yang mewajibkan semua warga negara dipasangi chip di badannya untuk memonitor gerak-gerik semua warga negara) dan Violent Radicalization and Homegrown Terrorism Prevention Act adalah beberapa UU yang menunjukkan ciri negara totaliter yang disahkan setelah peristiwa Tragedi Waco.
Dan agenda di balik agenda adalah membentuk pemerintahan super global yang melindungi kepentingan para “penguasa belakang layar” di atas kepentingan masyarakat dunia.
Berikut ini adalah salinan dari laporan Jaksa Paul Wilshire atas Tragedi Waco yang diposting di situs internet Truth Seeker.
Waco: The Untold Story.
The Paul Wilshire Report on Waco
The following was extracted from a report prepared by Attorney Paul Wilcher, a report based on actual eyewitness testimony. The members of the very assault team mentioned in the following report had been in contact with Paul Wilcher, via a third party, and given immunity from prosecution they had been prepared to testify. Even though these were hardened professional killers, what they had been ordered to do and actually done at Waco had deeply disturbed them. On May 21st, 1993, Wilcher went to present the following to US Attorney General Janet Reno, on June 23rd Wilcher�s badly decomposed body was found in his apartment. Upon discovery his apartment was sealed and searched and all documents removed. That indeed might have been the end of the matter but Wilcher had given a copy of his 100-page report to Sara McClendon, a senior White House correspondent, shortly before his death.
Wilcher had made one critical mistake in presuming the innocence of Janet Reno and Bill Clinton; it was a mistake that was to cost him his life.
In mid 1999 the report re-emerged, whereupon the four members of the Delta Force assault team involved at Waco all died in training �accidents�. The fact that they are not named in this report had probably allowed them to live so long. However as soon as the report re-appeared the �accidents� occurred, effectively �silencing their testimony forever.�
The Paul Wilcher Report:
What actually happened in Waco, according to the information I have been given is as follows:
1) As early as Sunday afternoon or evening, April 18th (shortly after your conference with President Clinton), calls went in to the Parkland Hospital in Dallas--the very same hospital where President Kennedy was taken after his assassination in Dealey Plaza on November 22nd 1963 -- again, at the hands of CIA professional killers -- to be prepared to receive a large number of serious burn victims from Waco the following day.
2) On the morning of April 19th, the same Delta Force commando team -- actually, a select group of the CIA�s top professional killers -- which would have carried what I have referred to above the �penultimate plan,� had it been approved -- was on the ground in Waco to carry out all aspects of the �wet� operation planned for that Monday.
3) This mass murder was then to be covered up and made to look like a �mass suicide� -- just like Jonestown -- thereby layering one monstrous CIA lie upon another -- since both Waco and Jonestown were CIA mass murders, and not mass suicides.
4) This Delta Force was composed of 15 men in all, headed by a Lieutenant Colonel who was a CIA liaison officer. The group flew into Texas on their own C-130 transport plane, parked it at the Waco or Dallas airport all day, then departed once their �dirty work� had been completed. The plane belongs to Triangle.
5) Among the 15 men in this larger group, there were two (2) smaller operational teams -- the 4-man team which actually made the insertion into the compound, as described in detail below, and a back up team, which apparently was never used.
6) These were all dressed in black -- black pants, black shoes, black jackets, black gas masks, black gloves -- very poetic for a black or wet operation -- and were dressed to look like all the other FBI officers on the ground -- probably even wearing jackets with FBI insignias on them (though I am not certain of this), so that to any outside observer, there would have been virtually no way of telling these four men apart from any of the other federal officers on the scene at the time.
7) The whole nation watched on TV that morning as the FBI used M1-A1 tanks to punch holes in the exterior walls of the compound�s living quarters. We were later told that at the same time they had battered down these walls, the tanks had also lobbed massive quantities of a very virulent form tear gas into the compound.
8)This tear gas had been designed to be used for crowd control -- i.e. it was so virulent and irritating that even in a fresh air out of doors situation, it was guaranteed to cause people to flee from its presence simply in order to be able to breathe.
9) Now, it was being used in a closed, indoor, living quarter�s situation where 95 men, women and children were trapped inside. The logical expectation would have been that all 95 of these persons would have fled out-of-doors instantly, just to be able to breath. But strangely, not a single person came out of the compound -- even after this noisome substance had been poured into the compound in enormous quantities over a period of several hours.
10) The logical therefore arises: Why? Why did not ANY of these 95 men, women and children -- particularly the women and children -- instantly flee for fresh air into the out of doors? The answer we have been given by the news media and the official FBI spokesman is that David Koresh and his cult members had stockpiled and outfitted themselves with gas masks
TEAR GAS -- AND NERVE GAS -- WERE USED
11) The real truth, however, is much more sinister and cold-blooded. For what actually happened here is that the tear gas -- as virulent and noisome as it was -- was only the mask or cover for the real active ingredient being propelled by the tanks into the compound.
What was actually propelled into the compound was a nerve reagent -- a neuro toxin -- NERVE GAS a virulent poisonous substance like curare -- which instantly paralyzed and rendered totally helpless and defenseless all of the 95 men, women and children inside the compound -- except for those 9, later rescued, like David Thibideaux, who were on the 2nd and 3rd floor with their windows wide open on both sides, and who were thus spared the deadly effects of this tear gas/nerve gas combination.
For all the others, they could no longer coordinate their muscles in the effort required even just to get up, much less flee to the life sustaining fresh air outside, only a few feet away.
This is an extremely serious matter, Attorney General Reno. For it means that here the U.S. military, the FBI, and the Justice Department -- directed by the CIA -- used nerve gas on innocent men, women and children in our civilian population -- and then proceeded to murder them in cold blood, as is set out in detail below. This clearly rises to the level of War Crimes on a civilian population during peace time, an unspeakable human rights violation.
And it was committed by our intelligence community against innocent men, women and children -- simply to bury the truth concerning the CIA�s criminal use of mind control programming to �manufacture� �Manchurian Candidate type� robot assassins whose very existence is an unspeakable outrage, in and of itself.
THE �DELTA FORCE� TEAM ENTERS THE COMPOUND�
12) After this deadly tear gas/nerve gas combination had had time to do its debilitating and paralyzing work on all the men, women and children in the compound, 4-man �Delta Force� team -- actually some of the CIA�s top professional assassins -- made its entry into the compound. Fittingly for a black operation, they were dressed all in black, from head to toe, as stated above.
13) They were dropped onto the roof of the compound by one of the several low-flying, heavily armed military helicopters which hovered overhead throughout much of the day -- while all of the television cameras were focused on the outside of the building at ground level -- for example, focusing on the tanks which had just lobbed the tear gas/nerve gas combination into the building. The actual insertion into the building came at approximately 10:25AM.
14) Before they entered the compound, however, this four man team of assassins had received shots of atropine, the antidote to the nerve gas, so that they, too, would not be overcome and paralyzed by it.
15) According to the testimony given before the House Judiciary Committee on the day of your testimony, Attorney General Reno, the fires in the Branch Davidian compound did not become visible until approximately 11:45AM that morning. This means that the team had something in the neighborhood of one (1) hour and fifteen (15) minutes, or so, in which to do their �dirty work�, and then to make their escape.
16) The murder of David Koresh:
One of the first things they did, obviously, was to go into the so-called communications center, just off the kitchen, where they found, and quickly subdued and killed, David Koresh, along with any of his close associates who were nearby. David Koresh was killed with a single bullet to the middle of the forehead, about an inch above the eyes, fired from a distance of about four inches away.
In this regard, an article on page A-3 of The Washington Post, on Tuesday, May 18th, 1993, is directly relevant. It quotes noted forensic pathologist, Dr Cyril H Wecht of Pittsburg, who had recently completed an independent autopsy of the bodies of David Koresh and Steve Schneider, one of his chief lieutenants, as saying that the gunshot wound in the middle of the forehead, which killed Koresh, and the gunshot wound in the back of the head, which killed Schneider, are �not typical of suicide.�
And no wonder! They were, in fact, NOT killed by suicide at all. This was a calculated, carefully planned, cold-blooded mass murder...
17) From the communications center, the �wet� team then fanned out throughout the rest of the compound, and methodically �took out�(i.e. murdered) all of the other six (6) CIA �sleepers� they would have murdered earlier, in what I have called the �penultimate plan�, had that plan been allowed to go forward, plus a number of other persons along the way....
HOW THE FIRES WERE STARTED
18) The remaining task for this �wet� team -- after the multiple murders, described above, had been carried out -- while they were still inside, was to place 3 or 4 canisters of �Willie Peter� (White Phosphorus) in strategic locations throughout the compound in order to start the fires.
These canisters were all equipped with delayed timing devices, all set to go off simultaneously -- apparently at or before 11:45AM, that�s when the fires were actually sighted by outside observers on the scene.
White phosphorus is one of the most fearsome incendiary devices imaginable, and is therefore a favorite of the CIA�s �wet� teams. It ignites instantly, immediately burns with white hot intensity, and consumes, beyond all recognition, everything in its path -- thereby destroying all possible forensic evidence -- and covering, as well as one can possibly imagine, the trail of assassins (like this particular �wet� team) who want to try and claim later that their actual mass murder was merely a �mass suicide� or a �tragic accident.�
CIA �wet� teams have also been known to corner their intended targets into a closed quarter, and then throw �Willie Peter� into their midst, so that these victims are instantly immolated right before the teams eyes.
The fire which �Willie Peter� produces is so intense, and the combustion so complete, that victims -- as was the case here in Waco -- can only be identified by their dental records.
But here, because the team itself was inside the closed quarters, they had to use delayed timing devices on the �Willie Peter� canisters -- to give themselves time to make their own exit before the entire compound was consumed in the monumental conflagration we all watched in horror on television.
19) Notice that this explanation of how the fires started comports with the observations on the scene -- with what the television cameras at ground level recorded, and with what the military helicopters and their infrared cameras overhead observed -- i.e., that 3 or 4 fires started simultaneously at different places in the compound. And then these separate fires spread rapidly (because of the wood construction, the straw which was everywhere, the high winds, and the white hot �Willie Peter� incendiary devices which had started these separate blazes in the first place), until they became united into a cohesive whole, involving the entire compound, which became far more destructive than the sum of these separate smaller fires, until it ultimately became a massive conflagration which consumed everything in sight.
One possible contrary explanation, which has been offered by commentators and the �tragic accident theory� advocates, is that the tear gas sprayed into the compound by the tanks...(ignoring the fact that what was injected was NOT just tear gas but a tear gas/nerve gas combination) was itself a combustible substance, that one of the tanks, in punching holes in the exterior walls, had accidentally knocked over a kerosene lantern or container, and that the kerosene had then ignited the tear gas, which resulted in the conflagration.
This �tragic accident� theory, however, simply does NOT square with the known facts, preserved on videotape, because the compound did NOT explode into a massive fireball all at once (as would have been the case if the tear gas itself had been combustible, and had ignited by a torch, like lighted kerosene).
20) The other point to be made here is that, while the �wet� team did kill many of those inside the compound prior to setting the fires (by means of the �Willie Peter� canisters on delayed timing devices, discussed above) they apparently did NOT murder (at least, directly) ALL of the 86 men, women and children who ultimately died in the tragedy -- meaning that many of those who died were left paralyzed by the nerve gas, unable to get up or free themselves from this disaster in progress, and were thus consigned to being consumed alive in the giant conflagration brought on by the white phosphorus.
And those consigned to this horrible fiery fate -- being burned alive -- apparently included men, women and children.
NOTE WELL
21) The bottom line here is that 86 men, women and children died -- i.e. they were murdered -- in the Branch Davidian compound on Monday, April 19th, 1993 -- ALL at the hands of the 4 members of this CIA �wet� team, operating under cover of the �Delta Force�.
22) The bottom line is also that high-ranking officials in our government...
-- though NOT yourself, Attorney General Reno, and NOT President Clinton --
...including senior Reagan and Bush Administration holdovers in the Justice Department, the FBI, the BATF, the Pentagon and the CIA -- all knew in advance of this Waco operation was designed from the start to be a mass murder in which only those few individuals whom the CIA had targeted in advance to be saved would be allowed to survive -- and that ALL of the other 86 men, women and children in the compound would be murdered in cold blood by these CIA Delta Force assassins.
23) I mentioned on page 30 above that one of the uses the CIA makes of its mind control sophistication is to implant memory blocks into the subconscious memories of its top professional assassins -- in order to allow them to live with what they have done, and NOT to be overcome by flashbacks and nightmares of their �handiwork.�
Note Well: But I have been informed that those memory blocks are NOT holding very well in this instance and that some or all of the four (4) members of this particular �wet� team are sickened by what they were ordered to do, and what they did, in fact, �accomplish�, in Waco on April 19th. To these hardened, seasoned professional assassins, it was all �too easy�. The people inside the compound (as a result of the nerve gas) simply �never had a chance.�
Tuesday, 18 November 2008
Paradoks Amerika: Pembunuh Jadi Pahlawan
Anda mungkin geleng-geleng kepala bila mengetahui bahwa kebijakan politik pertama yang diambil oleh Presiden Bill Clinton setelah disumpah adalah memberi hak kewarganegaraan kepada Marthin Indyk, seorang Yahudi Inggris. Tidak lama Indyk pun diberi jabatan sangat strategis, pejabat di Dewan Kemanan Nasional. Belum cukup, ia pun diangkat menjadi seorang Duta Besar. (Bayangkan bila hal yang sama dilakukan Presiden SBY, mengangkat orang asing yang baru menjadi warganegara Indonesia sebagai pejabat tinggi. Pasti akan menjadi skandal yang luarbiasa).
Anda juga boleh gelang-gelang kepala bila mengetahui seorang gubernur Amerika yang kemudian diketahui gay, mengangkat pasangan gay-nya yang adalah seorang Yahudi kuli pekerja kapal Israel, sebagai seorang pejabat penting di kantornya.
Namun kini silahkan Anda menggeleng-gelangkan kepala lebih hebat. Seorang Yahudi Israel yang diduga kuat terlibat pembunuhan 3.000 rakyat Amerika dalam peristiwa WTC 2001, disambut bagai seorang tamu kehormatan di Amerika.
Ceritanya begini. Menyusul terjadinya pemboman WTC, lima orang karyawan perusahaan pengangkutan Urban Movers ditangkap polisi karena ketahuan menari-nari setelah menyaksikan runtuhnya gedung WTC. Di tangan mereka tergenggam camcorder yang menandakan mereka telah merekam peristiwa penyerangan WTC. Lebih tepat lagi mereka telah mengetahui rencana serangan tersebut. Dalam pemeriksaan awal mereka mangaku mahasiswa asal Israel yang bekerja paruh waktu. Kemudian setelah menjalani penahanan selama dua bulan lebih, para anggota penyidik yang menangani perkara mereka satu demi satu dimutasi dan tiba-tiba saja secara misterius kelimanya sudah berada di Israel. Dalam sebuah acara talkshow di televisi Israel mereka dengan lugas mengaku sebagai agen dinas rahasia Israel Mossad. (Dokumentasi kasus ini dapat dilihat di gadget youtube dalam blog ini).
Menyusul penangkapan tersebut seorang pengusaha Yahudi asal Israel, Dominick Suter, buru-buru kabur dari Amerika untuk menghindari penangkapan. Ia adalah boss Urban Mover tempat para tersangka bekerja. Dan kini Suter telah kembali ke Amerika. Bukan sebagai tersangka, melainkan pengusaha terhormat yang banyak mendapat keistimewaan. Perusahaan barunya, Urban Refuse, berbasis di Washington DC.
Dalam sebuah wawancara dengan LWB Business News, ia tanpa canggung menyebutkan adanya operasi Mossad di Amerika, sebuah hal tabu yang dihindari semua pejabat Amerika dan Israel karena sangat memalukan pemerintah dan rakyat Amerika. Menurutnya, operasi Mossad di Amerika akan semakin leluasa dengan terpilihnya Rahm Emanuel, seorang veteran angkatan perang Israel dan putra dari seorang teroris Yahudi, sebagai Kepala Staff Gedung Putih.
Ia dengan bangga mengungkapkan keberhasilannya kembali ke Amerika tanpa penangkapan oleh semua institusi hukum Amerika merupakan buah dari kedekatannya dengan beberapa anggota Kongres Amerika. Selanjutnya ia menambahkan, belajar dari peristiwa WTC dimana lima orang pegawainya ditangkap, ia tidak akan lagi mempekerjakan mahasiswa Israel jurusan seni yang dianggapnya terlalu bodoh. Pilihan berikutnya, demikian ungkap Suter, adalah mahasiswa Israel jurusan sejarah.
Tanpa sungkan-sungkan Suter juga mengungkapkan betapa Amerika telah memperlakukannya dengan sangat baik. Tanpa banyak mendapat pertanyaan, termasuk soal pinjaman modal $500.000 yang belum dikembalikan, dirinya mendapat bantuan modal senilai $2 juta (setara lebih dari Rp 20 miliar). “Siapa bilang kredit sangat susah di Amerika?” katanya. Ia menambahkan dirinya langsung mendapat ijin melakukan aktivitas landfill di New York.
Di sisi yang lain sebelumnya, AIPAC, organisasi lobby Yahudi sangat berpengaruh di Amerika, berhasil mengusulkan peraturan perlakuan pajak istimewa bagi pengusaha yang mempekerjakan mahasiswa program studi sejarah asal Israel.
Opo tumon?
Keterangan gambar: Dua dari lima agen Mossad yang tertangkap dalam peristiwa pengeboman WTC 11 September 2001.
INSPIRASI PROFESOR KOMAR
Inspiratif atau dalam bahasa aslinya inspiring, menurut pemahaman penulis adalah sesuatu yang mampu menarik atau mendorong orang untuk melakukan sesuatu. Namun ada satu hal lagi yang biasanya melekat pada kata inspirasi, yaitu dorongan untuk melakukan hal-hal positif, bukan negatif.
Kata inspiring menarik untuk saya kaji dalam tulisan ini karena terkait dengan seorang tokoh Islam nasional yang dikenal dengan pandangannya yang moderat, yaitu Profesor DR. Komaruddin Hidayat yang kini menjabat sebagai Rektor UIN Jakarta. Dalam suatu acara diskusi di stasiun televisi TVOne tanggal 9 November lalu bertema: Jihad Milik Siapa, Profesor Komaruddin membuat pernyataan yang menurut saya menarik untuk dikaji. Pertama beliau mengatakan bahwa jihad adalah semangat yang besar untuk berbuat kebaikan kepada sesama. Kemudian dalam konteks yang sama beliau mangatakan bahwa kaum Yahudi dengan sistem perbankan yang dibangunnya merupakan satu contoh jihad yang inspiring.
Pendapat terakhir beliau tersebut sangat menarik untuk dicermati. Menurut saya hanya ada dua kemungkinan pada diri beliau terkait dengan pernyataan tersebut: pertama adalah beliau tidak memahami bahwa sistem perbankan yang diciptakan kaum Yahudi lebih banyak memberikan kemudharatan bagi kemanusiaan. Kedua adalah beliau memahami kemudharatan sistem perbankan Yahudi, namun karena motif-motif tertentu yang beliau sendiri mengetahuinya, beliau menyembunyikan kemudharatan itu dan justru memujinya sebagai sebuah kebaikan yang inspiring. Untuk tidak berburuk sangka saya anggap Profesor Komaruddin tidak memahami, sama seperti sebagian besar orang yang berilusi menganggap segalanya berjalan baik-baik saja meski kenyataannya secara pelan tapi kehancuran telah menunggu di balik pintu. Atau perumpamaan lainnya adalah orang-orang yang menyangka dunia akan kekal selamanya padahal dunia berada di atas permukaan kulit tipis sebuah bola api raksasa yang siap meledak setiap saat bila keseimbangan energi yang melingkupinya terganggu.
(Bila kecepatan rotasi bumi berkurang sedikit saja --- bisa terjadi karena benturan dengan benda angkasa atau hanya karena terjadi perubahan garis edar benda-benda angkasa di sekitar bumi --- maka bumi dipastikan akan meledak. Sebaliknya jika kecepatan rotasi bumi meningkat --- bisa terjadi misalkan karena terjadinya perubahan garis edar benda-benda angkasa sekitar bumi, maka bumi akan runtuh ke dalam).
Sebagaimana kita fahami sistem perbankan yang dikembangkan kaum Yahudi adalah sistem ribawi yang dilarang oleh semua agama samawi: Islam, Kristen dan Yahudi. Sistem ini dilarang oleh agama karena menimbulkan ketidak-adilan dimana pihak yang memberikan pinjaman mendapatkan keuntungan dari jerih payah pihak yang menerima pinjaman. Praktik riba juga dilarang karena menimbulkan sifat malas bagi orang yang memiliki kekayaan karena hanya dengan meminjamkan uang mereka mendapat keuntungan. Sifat malas itu sendiri kemudian menurunkan banyak sifat negatif lainnya seperti tamak dan keji. Segala peperangan dan kekacauan global yang terjadi adalah disebabkan oleh sifat-sifat negatif seperti itu.
Dalam dunia modern sekarang ini dampak sistem perbankan ribawi ini dapat dilihat dari seringnya terjadi fenomena krisis ekonomi dan moneter yang berujung pada pemiskinan sebagian besar manusia yang disertai dengan penumpukan kekayaan sebagian kecil manusia lainnya. Fenomena lainnya yang tampak (namun tentu saja hanya orang-orang tertentu yang mau berfikir saja yang bisa melihat) adalah terjadinya ketimpangan sektor riel dan sektor keuangan. Perusahaan-perusahaan sektor keuangan adalah perusahaan yang memiliki asset terbesar. (Puluhan perusahaan keuangan besar di dunia memiliki asset triliunan dollar. Perusahaan-perusahaan sektor riel terbesar di dunia hanya ber-asset ratusan miliar dollar). Individu yang bergerak di sektor keuangan adalah individu yang bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Sementara sebagian besar individu di sektor riel (buruh, karyawan, petani, tukang hingga manajer) adalah individu-individu yang bergelimang dengan kemiskinan.
Contoh paling tepat untuk menggambarkan hal ini di Indonesia adalah gaji Presiden RI yang lebih kecil dibandingkan gaji Gubernur Bank Indonesia. Ruang kerja direktur bank terbesar di Indonesia lebih mewah dibandingkan ruang kerja para menteri bahkan presiden sekalipun. Di Amerika gaji para CEO perusahaan keuangan bahkan bisa mencapai 500 x lipat gaji presiden.
Padahal para individu sektor riel-lah yang sebenarnya bekerja menghasilkan barang dan jasa. Merekalah yang membuat rumah, menghasilkan baju dan menumbuhkan padi, bukan pengusaha dan karyawan perusahaan keuangan yang hidup dari riba dan berjudi main valas dan saham.
Dari sisi ini saja ketidak-adilan tampak sangat gamblang.
Saya sengaja tidak membahas lebih terperinci masalah ini karena sudah saya sampaikan pada beberapa artikel lain dalam blog ini. Saya hanya ini mengingatkan bahwa Profesor Komaruddin, sebagaimana orang-orang yang berpandangan Islam Liberal, merupakan sebuah produk dari gerakan liberalisasi yang bertujuan melemahkan semua keyakinan/ pemahaman/ agama/ kelompok etnis yang dapat mengancam gerakan zionisme. Dengan gerakan ini maka (diharapkan) tidak akan ada lagi kelompok-kelompok aliran/agama/etnis yang mempunyai kekuatan untuk mengalahkan dominasi Yahudi.
Saya mengamati ada sebuah pola rekrutment seseorang menjadi tokoh Islam Liberal. Pertama mereka berasal dari desa tertinggal (karenanya mudah terpesona dengan kemajuan), keluarga relatif miskin (karenanya terobsesi dengan kesuksesan), kuliah di kota besar seperti Yogya dan Jakarta (mulai terkena cultural shock), mendapat beasiswa ke luar-negeri, biasanya Amerika atau Eropa (cultural shock makin parah), setelah pulang bekerja di perusahaan/instansi/surat kabar/LSM yang mendapat sponsor atau bantuan asing (menjadi luar-negeri minded, menganggap segala yang berasal dari negeri maju adalah paling baik dan benar).
Dari kriteria-kriteria tersebut Profesor Komarudin memenuhi semuanya.
"Dulu saya mimpi untuk masuk saja tidak berani, apalagi jadi dosen di sana karena memang tidak ada jalurnya bagi orang miskin yang besar di pesantren," katanya tentang Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dalam Indopos, 22 Oktober 2006..
"Umur 18 tahun, saya bertekad mendatangi Jakarta. Prinsip saya, kalau di Jakarta itu banyak gula, saya ibarat semut, masak saya tidak tidak akan merasakan manisnya gula itu. Saya yakin ibu kota memberi harapan besar pada saya. Di sana ada ilmu, uang, informasi, dan sebagainya. Waktu itu saya nekat bermodal dengkul," tambahnya.
Lahir di sebuah desa kecil di Magelang tahun 1953, Komar, begitu nama panggilannya, menyelesaikan pendidikan dasar dan menengahnya di PP Pabelan Magelang (1969) dan PP al-Iman, Muntilan (1971). Pendidikan tingginya dilaksanakan di IAIN Jakarta dengan gelar doktorandus. Selanjutnya ia mendapatkan gelar doktor ilmu filsafat barat di MET University, Ankara Turki tahun 1990. Turki adalah salah satu pusat gerakan zionisme dengan Mustapha Kemal sebagai tokoh utamanya..
Tuesday, 11 November 2008
Jangan Berharap Banyak pada Obama
“Tuan-tuan, saya punya banyak orang yang telah mengawasi Anda sejak lama, dan saya diyakinkan bahwa Anda telah menggunakan dana-dana di bank Anda untuk mempermainkan harga bahan makanan negeri ini. Jika Anda untung, Anda membaginya di antara Anda sendiri. Dan jika kalah, anda membebankannya kepada masyarakat. Anda mengancam jika kami menarik dana kami dari bank-bank Anda dan menolak UU perbankan maka sepuluh ribu keluarga akan menderita karenanya. Itu mungkin saja benar, tapi itu adalah dosa Anda, bukan kami. Sebaliknya jika saya membiarkan Anda, maka 50 ribu keluarga Amerika akan menderita, dan itu akan menjadi dosa saya. Saya katakan kepada Anda, dan dengan rahmat Tuhan saya akan menghancurkan Anda."
(Presiden Andrew Jackson dalam sebuah acara diskusi dengan delegasi perbankan membahas Bank Renewal bill, 1832)
Pernyataan terkenal dari seorang negarawan Amerika di atas adalah untuk menunjukkan bahwa kondisi Amerika saat ini adalah sama persis dengan apa yang dikhawatirkan negarawan itu. Dengan hutang negara yang mencapai 11 triliun dolar dan ratusan ribu miliar dolar (ribuan triliun rupiah) bunga yang dibayar setiap tahun tanpa pernah mampu melunasi hutang pokoknya, rakyat dan pemerintah Amerika telah menjadi budak para kapitalis yang menguasai seluruh sendi ekonomi, politik, dan sosial Amerika dan Eropa, dan otomatis juga seluruh dunia (Indonesia hanya resultan ke-sekian sehingga kurang menarik untuk dianalisis).
Perlu dicatat bahwa Andrew Jackson, seorang mantan petualang legendaris yang religius, yang tidak pernah takut kehilangan nyawa, berhasil membendung ambisi para kapitalis untuk menguasai Amerika melalui sistem perbankan meski nyaris tewas karena diracun. Penggantinya, Abraham Lincoln, juga memiliki integritas yang sama hingga tewas secara tragis dengan ditembak kepalanya. Dua orang presiden lainnya, Garfield dan McKinley mengalami nasib yang sama dengan Lincoln karena penentangannya atas kekuasaan para kapitalis. (Tulisan terkait baca artikel di blog ini pada label sejarah dengan judul: Para Presiden yang Dibunuh).
Namun pada tahun 1913, saat pengaruh para bankir itu sudah sedemikian kuat dengan menguasai mayoritas kursi legislatif, media massa, universitas, bisnis, LSM, hingga aparatus pemerintah, seorang presiden yang kurang integritas, Woodrow Wilson, mengesahkan UU Bank Sentral yang memberikan otoritas moneter yang super eksklusif kepada sekelompok kapitalis swasta. Dengan kekuasaan itu mereka berhak yang mencetak uang kertas tanpa jaminan cadangan emas, menentukan suku bunga, menentukan inflasi/deflasi melalui mekanisme jumlah uang beredar. Kebijakan turunannya adalah menentukan berapa besar hutang dan bunganya yang harus disetor rakyat dan pemerintah Amerika kepada para bankir kapitalis, termasuk di dalamnya UU bailout yang baru disyahkan awal Oktober lalu.
Dengan dominasinya, para kapitalis menyetir kebijakan ekonomi-politik Amerika ke arah yang sedemikian rupa sehingga Amerika semakin tergantung kepada mereka. Peperangan-peperangan, defisit APBN dan bailout adalah sebagian kecil kebijakan politik ekonomi yang didiktekan para kapitalis tersebut kepada pemerintah Amerika untuk membuat pemerintah dan rakyat Amerika semakin tergantung sekaligus menjadi mesin uang yang tidak terbatas bagi mereka.
Inilah sebenarnya permasalahan mendasar bagi Amerika dan tata dunia global saat ini. Dominasi para kapitalis (orang-orang yang orientasi hidupnya hanya menumpuk uang tanpa peduli rakyat menderita) atas Amerika dan Eropa serta organisasi-organisasi internasional seperti PBB, Uni Eropa, NATO, NAFTA, WTO, telah membuat dunia selama 1 abad terakhir terus-menerus dilanda peperangan dengan intensitas dan ekstensitas yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah.
Lalu lihatlah bagaimana rakyat Amerika dan dunia mengelu-elukan Barrack Obama, bagaikan seorang messiah pembawa keadilan dan kesejahteraan yang telah lama ditunggu kedatangannya. Obama pun menyambut harapan itu dengan membuat retorika yang menghanyutkan impian masyarakat. Katanya dalam salah satu kampanye: “kita tidak akan membiarkan Wall Street (merujuk para pelaku bisnis keuangan) untung sementara Main Street (merujuk rakyat kebanyakan) menderita.” Dalam kampanye lainnya ia mengatakan: “Besok Anda semua dapat menghentikan kebijakan yang memihak kepada ketamakan dan ketidakpedulian Wall Street.”
Namun bagaimana mungkin orang yang untuk kampanye saja sudah harus berhutang kepada para kapitalis sektor keuangan dapat diharapkan melalukan perubahan berarti? (Para pengusaha sektor keuangan Amerika menyumbang $11 juta untuk kampanye Obama, Kompas 9 November 2008). Untuk isu-isu luar negeri yang sangat krusial seperti isu terorisme, Perang Irak dan Afghanistan serta hak-hak rakyat Palestina saja Obama tidak memiliki visi yang jelas. Dalam hal ini jauh-jauh hari Obama bahkan telah mendeklarasikan dukungannya tanpa reserve kepada Israel. Dan kebijakan pro-Israel semakin kukuh setelah ia menunjuk Rahm Emanuel sebagai kepala staff Gedung Putih. Rahm memiliki kewarganegaraan ganda Amerika-Israel (meski secara resmi dibantah oleh pemerintah kedua negara), veteran angkatan bersenjata Israel dan anak seorang anggota kelompok teroris Israel Irgun. Namanya me-refer kepada seorang teroris Yahudi yang membunuh utusan PBB untuk Palestina Count Bernadotte pada masa perang pembentukan negara Israel.
Kemudian dalam masalah isu senjata nuklir Iran, Obama, hanya beberapa hari setelah pemilihannya, menyatakan akan menghentikan program senjata nuklir Iran. Saya tekankan disini bahwa masalah ini hanyalah isu karena Iran adalah anggota IAEA yang program nuklirnya tidak ditujukan untuk membuat senjata dan selalu dalam pengawasan organisasi. Selain itu dinas-dinas inteligen Amerika sendiri sudah menyatakan bahwa Iran tidak terbukti tengah berupaya membuat senjata nuklir. Berbeda dengan masalah senjata nuklir ilegal Israel yang bukan lagi sekedar isu namun sebuah fakta yang lucunya justru diabaikan Obama dan presiden pendahulunya yang gila perang, George W. Bush.
Dan dalam masalah ekonomi Barack tampak semakin jauh dari harapan rakyat. Alih-alih mengedepankan sektor riel sebagai tulang-punggung dan darah bagi ekonomi Amerika yang hancur akibat krisis keuangan akhir-akhir ini, Barack justru mengandalkan para pelaku bisnis keuangan yang telah menyebabkan krisis. Lihat saja orang-orang yang ditunjuk Barack sebagai penasihat ekonomi dan bakal pejabat ekonomi Amerika: Lawrence Summer, Paul Volker, Timothy Geithner, John Corzine, Jamie Dimon, Warren Buffet, semuanya para “pemain lama” bisnis keuangan, para spekulan dan rentenir. Orientasi hidup mereka semuanya adalah meraih keuntungan sebesar-besarnya, tanpa kerja. Tidak ada pakar ekonomi pertanian, ahli administrasi publik, CEO industri manufaktur, aktivis hak-hak buruh, pakar hukum perdata, aktivis lingkungan, dan aktivis hak-hak konsumen dalam tim ekonomi Obama.
Laurence Summers misalnya, ia adalah mantan pejabat IMF dan Menkeu era Presiden Bill Clinton yang “berhasil” menggolkan UU Modernisasi Jasa Keuangan (Financial Service Modernization Act) tahun 1999 yang melegalkan praktek inside trading dan praktek-praktek kotor bisnis keuangan lainnya. UU itu sekaligus juga mengakhiri peran UU Glass Stagall pada masa krisis (UU yang berhasil mengakhiri Depresi Besar tahun 1930 melalui kebijakan fiskal yang tepat) dan menggantinya dengan kebijakan moneter yang merupakan domainnya para pelaku bisnis keuangan. Padahal UU Glass-Steagall dibuat untuk mencegah korupsi dan praktek-praktek kotor sektor finansial yang berujung pada bangkrutnya ribuan bank menyusul kolapsnya Bursa Saham New York tahun 1929 yang membawa dunia pada Depresi Besar pada tahun 1930-an. Bersama program kebijakan fiskal Presiden FD Rossevelt yang cemerlang, New Deal, UU ini berhasil mengatasi krisis ekonomi yang disebabkan para pelaku bisnis keuangan.
Laurence Summers dikenal sebagai konspirator krisis moneter yang melanda Indonesia dan negara-negara Asia Timur tahun 1997-1998 saat menjadi pejabat IMF, serta musuh para aktifis lingkungan karena mengkampanyekan pembuangan limbah negara maju ke negara berkembang.
Selanjutnya Paul Volker adalah mantan Gubernur Bank Sentral Amerika (The Fed) tahun 1980-an yang memainkan peran penting dalam kebijakan deregulasi sektor keuangan yang mendorong terjadinya kebangkrutan massal perbankan, merger-merger dan akuisisi yang berujung pada krisis keuangan tahun 1987.
Timothy Geitner adalah CEO Bank Central Amerika Cabang New York (institusi keuangan swasta paling berpengaruh di Amerika), mantan pejabat IMF dan staff Kissinger Associates, yang telah banyak berperan dalam kebijakan keuangan Amerika dan dunia.
John Corzine adalah mantan CEO Goldman Sach (sejawat Menkeu Paulson dan Gubernur The Fed Bernanke) yang sekarang menjabat Gubernur New Jersey. Jamie Dimon adalah CEO JP Morgan-Chase. Dan terakhir Warren Buffet adalah bos Berkshire Hathaway, salah satu orang terkaya di dunia karena bisnis spekulasi para uang.
Dan integritas macam apa yang bisa diharapkan dari orang yang latar belakang keluarganya membuat orang yang berakal dan bermoral berkerut keningnya? Baiklah saya jelaskan maksud saya tanpa motif apapun kecuali kebenaran. Obama adalah orang yang lahir dari hubungan gelap seorang wanita kulit putih Amerika dengan seorang laki-laki kulit hitam Kenya. Saat itu ibu Obama masih berumur 17 tahun (dan karena itu perkawinan yang syah tidak mungkin dilakukan di Amerika karena melanggar UU) dan ayah kandung Obama sudah memiliki istri dan anak di kampungnya di Kenya. Kemudian saat Obama masih anak-anak “petualangan” sang ibu terus berlanjut. Ia kawin dengan Soetoro, orang Indonesia yang tengah belajar di Amerika dan melahirkan anak perempuan (saudara tiri Obama), Maya Soetoro.
Orang kristen seperti ibu Obama tentu tidak mengenal kawin siri. Sebagai muslim ayah kandung Obama mestinya juga faham bahwa kawin dengan wanita non-muslim adalah sebuah pilihan terakhir yang buruk. Lalu agama apa yang dianut kedua orang tua dan diri Obama? Dan dalam hal agama Obama memiliki catatan kelam lainnya. Ia pernah menjadi anggota sebuah gereja kristen kulit hitam radikal yang mengajarkan kebencian kepada orang-orang kulit putih.
Konstitusi Amerika memang tidak mempermasalahkan seorang “anak haram” menjadi Presiden, meski di masa lalu pasti menjadi masalah serius. Namun dalam hal tempat kelahiran, Obama sempat menemui masalah. Sebagian publik Amerika meragukan tempat kelahiran Obama (Amerika atau Kenya) sebagaimana disyaratkan konstitusi bahwa presiden Amerika harus lahir di Amerika atau wilayah administrasi Amerika di luar negeri (lawan Obama dari Partai Republik, McCain lahir di Panama yang dahulu masih menjadi wilayah administratif Amerika).
Penulis tidak memiliki pretensi apa pun terhadap Obama. Namun karena Obama telah mendeklarasikan diri sebagai pendukung Israel, maka penulis menganggap Obama sebagai …...bukan teman.
Sunday, 2 November 2008
TENGGELAMNYA KAPAL ESTONIA
Tenggelamnya kapal ferry Estonia (milik bersama Republik Estonia dan Swedia), 28 September 1994 di perairan Swedia, merupakan bencana maritim terbesar sejak perang dunia dengan korban jiwa mencapai 852 orang. Namun sampai saat ini masih meninggalkan banyak pertanyaan tak terjawab. Penyidikan resmi pun tidak dapat menjelaskan secara jelas penyebab terjadinya bencana tersebut. Di antara hal-hal yang misterius adalah “hilangnya” kapten kapal Avo Piht dan 11 awak kapal lainnya dari rumah sakit tempat mereka dirawat. Keberadaan mereka hingga saat ini tidak diketahui entah dimana. Hal lain yang tidak kalah misteriusnya adalah tewasnya Odd Engström, Deputi Perdana Menteri Swedia pada saat penyidikan berlangsung. Sebelumnya ia terlibat perselisihan pendapat dengan pejabat-pejabat Swedia lainnya perihal musibah tersebut yang mengakibatkan ia mengundurkan diri dari jabatan, sesaat sebelum meninggal dunia.
Tulisan ini cukup relevan dengan keadaan saat ini karena adanya benang merah peristiwa tersebut dengan krisis keuangan global yang tengah melanda akhir-akhir ini. Benang merah itu adalah ditemukannya fakta bahwa pesawat Gulfstream 4 milik Maurice Greenberg, boss AIG, perusahaan asuransi terbesar dunia penerima bantuan talangan pemerintah Amerika senilai $37 miliar, berada di Swedia dan diduga kuat terlibat dalam penculikan (penghilangan saksi) para awak kapal yang selamat. Benang merah lainnya adalah ditangkapnya seorang mantan pejabat keamanan Estonia karena spionase tanggal 22 September lalu.
Kapal Estonia tenggelam di perairan dangkal Swedia antara jalur laut yang menghubungkan kota Tallinn, Estonia dan Stockholm, Swedia. Menurut penuturan saksi hidup sesaat setelah tengah malam terdengar dua ledakan keras sebelum akhirnya kapal tenggelam, 45 menit setelah terdengar ledakan.
Dan meskipun 500 di antara korban meninggal adalah warga negara Swedia, pemerintah Swedia menolak mengangkat bangkai korban dan kapalnya pada kesempatan pertama, termasuk tawaran penyelamatan oleh para ahli penyelaman Norwegia (terkenal keahliannya dalam hal penyelaman laut karena memiliki tambang-tambang minyak laut dalam yang dingin di laut Baltik).
Bahkan meski dua orang Perdana Menteri berbeda sempat menjanjikan untuk mengangkat bangkai korban dan kapalnya, tiga bulan setelah bencana pemerintah Swedia menyatakan tidak akan ada operasi penyelamatan bangkai korban dan kapal. Anehnya pemerintah Swedia justru mengontrak perusahaan Rockwater, anak perusahaan Brown & Root Energy Services (BRES) yang juga merupakan anak perusahaan Halliburton, kontraktor utama Amerika di Irak paska pendudukan Irak tahun 2003. Usaha senilai 350 juta dolar itu gagal total dan bangkai kapal dan korbannya tetap terkubur di dasar laut berlumpur berkedalaman 60-80 meter.
PENYIDIKAN
Penyidikan pemerintah Swedia menyatakan penyebab tenggelamnya Estonia adalah pintu dek depan yang tidak tertutup sempurna sehingga air masuk ke dalam dek. Ketidak sempurnaan penutupan pintu dek (secara ajaib) pada tingkat yang cukup membuat air masuk tanpa menimbulkan bunyi alarm peringatan bahaya sebagaimana semestinya jika beberapa perlengkapan kapal tidak berfungsi sempurna.
Meskipun demikian sebenarnya rekaman video kamera menunjukkan adanya air yang masuk ke dalam dek kapal. Hal ini sebenarnya sudah cukup bagi awak kapal untuk menghindari bencana dengan menghentikan kapal (pintu dek depan lebih tinggi dari permukaan air), atau membalikkan arah kapal untuk membuang keluar air yang telah terlanjur masuk.
Selain penyidikan resmi, beberapa pihak yang tidak setuju dengan penyidikan resmi melakukan penyidikan sendiri secara independen. Stephen Davis, seorang peyidik independen dalam bukunya berjudul New Statesman Mei 2005 menyatakan, berdasarkan temuan penyelam profesional Amerika Gregg Bemis dan krunya, bahwa penyebab kecelakaan adalah ledakan bom. Davis menyimpulkan bahwa kapal Estonia mengangkut perlengkapan militer yang diselundupkan dari Rusia ke Amerika atau Inggris.
Jurnalis Jerman Jutta Rabe juga melakukan penyidikan dengan hasil yang sama, yaitu Estonia telah digunakan sebagai alat untuk menyelundupkan senjata rahasia curian milik Rusia ke Amerika. Hasil penyidikan Jutta ditulis dalam sebuah buku yang telah difilmkan dengan judul Baltic Storm tahun 2003. Jutta juga mengkonfirmasi adanya laporan hilangnya kapten kapal dan 11 rekannya secara misterius.
Mengenai hal itu Jutta menulis bahwa tim penolong berhasil menyelamatkan kapten Avo Piht dan 11 rekannya. Namanya tercantum dalam daftar korban selamat. Mereka pun telah dirawat di rumah sakit. Keluarga kapten juga telah menerima kabar keberadaan kapten di rumah sakit dari rumah sakit yang menelepon ke rumahnya. Namun beberapa jam kemudian sang kapten dan 11 rekannya hilang tanpa bekas. Nama mereka dalam daftar korban selamat pun dicoret tanpa penjelasan.
Kecurigaan publik tentang adanya rekayasa untuk menutupi fakta-fakta kecelakaan semakin menguat pada tahun 2004 setelah adanya pengakuan Lennart Henriksson, seorang mantan pejabat bea-cukai Swedia bahwa dinas inteligen Swedia telah menggunakan Estonia sebagai pengangkut peralatan militer selundupan dari Distrik Militer Rusia di Baltik. Tidak lama kemudian pengakuan itu mendapat konfirmasi resmi dari jaksa penyidik Johan Hirschfeldt. Namun ia menolak menyebutkan detil angkutan rahasia itu.
Pada bulan Mei 2006 parlemen Estonia membuka kembali penyidikan kasus tersebut dan mengirim wakilnya Evelyn Sepp ke Swedia. Dalam konperensi persnya di parlemen Swedia Evelyn menuduh Johan Hirschfeldt atas restu pemerintah Swedia telah menghancurkan bukti-bukti kecelakaan. Evelyn menyatakan bahwa rakyat Estonia melihat adanya hubungan antara angkutan militer rahasia dengan tenggelamnya Estonia. Ia mengancam menjatuhkan tuduhan kejahatan kemanusiaan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam persekongkolan.
Selama itu satu demi satu bukti-bukti penting kasus ini hilang misterius, termasuk arsip otoritas maritim Swedia berupa video-video rekaman bangkai kapal Estonia.
Pada 22 September 2005, pemerintah Estonian melalui penyidik resmi, Margus Kurm menyatakan bahwa pemerintah Estonia mengkonfirmasi adanya fakta bahwa perlengkapan militer rahasia berada di dalam kapal Estonia pada saat musibah kecelakaan. Keberadaan perlengkapan militer tersebut merupakan pekerjaan Swedia dan Estonia tidak terlibat dalam operasi itu.
Dan akhirnya pada 30 Maret 2006, komisi khusus yang dibentuk pemerintah Estonia untuk menyidiki musibah tersebut membuka laporannya ke publik. Dalam laporan itu pemerintah Swedia disalahkan telah sengaja menghilangkan bukti-bukti kecelakaan. Di antara bukti-bukti yang hilang tersebut adalah pintu dek dan sebuah kopor berisi dokumen angkutan kapal yang terekam dalam kamera penyelam. Selain itu pemerintah Swedia juga menutup akses terhadap saksi-saksi dan barang-barang bukti.
Pada 12 September 2006 Lars Ångström, seorang anggota parlemen Swedia melalui media massa menuduh pemerintahnya telah melakukan rekayasa melalui penyelaman rahasia sebelum penyelaman resmi dilakukan. Ia kemudian melakukan gugatan terhadap pemerintah melalui ombudsmen. Pada Oktober 2006 media-media massa Estonian memberitakan adanya tuntutan hukum kepada pemerintah Swedia yang dilakukan oleh keluarga korban kecelakaan melalui European Court of Human Rights di Strasbourg.
Pada 22 November 2006, koran Norwegia Aftenposten memberitakan bahwa dokumen-dokumen penyidikan selama tahun 1995–96 yang berkaitan dengan kecelakaan hilang dari arsip Sweden's Shipping Inspectorate.
PENGHILANGAN BUKTI SECARA RESMI DAN PERMANEN
Segera setelah peristiwa kecelakaan, berbagai pihak mendesak pemerintah Swedia untuk segera mengangkat bangkai kapal untuk mengambil jenasah yang tertinggal sekaligus mencari bukti penyebab kecelakaan. Namun semuanya diabaikan begitu saja meski dua orang perdana menteri berbeda pernah menjanjikan hal itu akan dilakukan.
Dan alih-alih mengangkat bangkai kapal untuk menemukan kebenaran, pemerintah Swedia, Finlandia, Latvia, Denmark, Rusia, Estonia (pemerintahan saat itu) dan Inggris (mengkonfimasi dugaan keterlibatannya dalam kecelakaan itu karena Inggris bukan negara Baltik sebagaimana negara lainnya) membuat perjanjian tahun 1995 yang dikenal dengan Estonia Agreement. Perjanjian itu melarang semua warga negara peserta perjanjian untuk mendekati lokasi tenggelamnya Estonia. Menyusul perjanjian itu pemerintah Swedia mengubur bangkai kapal Estonia dengan beton cor.
Namun upaya pengungkapan kebenaran terus dilakukan. Pada bulan Mei 2006 organisasi yang terdidi dari para keluarga korban kecelakaan dari Estonia dan Swedia mengajukan surat kepada pemerintah negara-negara penandatangan Estonia Agreement untuk mencabut atau mengubah perjanjian sehingga penyidikan baru bisa dilakukan kembali.
PERKEMBANGAN TERAKHIR
Pada tanggal 22 September lalu rakyat negeri Estonia terkejut dengan ditangkapnya Herman Simm, mantan Direktur Keamanan Kementrian Pertahanan Estonia, karena tuduhan mata-mata untuk negara asing. Istri Simm, Heete Simm, seorang pengacara Dewan Kepolisian Negara, juga ditangkap dalam kasus yang sama.
Simm menjabat Direktur Keamanan sampai bulan November 2006. Lembaga itu bertanggungjawab atas keamanan rahasia negara. Karena jabatannya Simm menjadi wakil negara dalam pertemuan-pertemuan tingkat tinggi masalah keamanan Uni Eropa maupun NATO. Sebelumnya Simm adalah kepala polisi distrik Harjumaa dimana ibukota Tallinn berada.
Polisi belum menyebutkan negara pada mana Simm bekerja sebagai mata-mata, namun media media massa setempat berlomba-lomba menunjuk Rusia sebagai negara yang telah membayar Simm, meski bukti menunjukkan Simm terindikasi bekerja untuk Amerika dan atau Israel.
Lima hari setelah penangkapan itu dan berkaitan dengan peringatan musibah tersebut di Estonian National Library di Tallinn, Jutta Rabe, jurnalis penyidik kasus Estonia membuat pernyataan pers tentang keterkaitan Simm dengan penyembunyian fakta kasus Estonia.
Menurut Jutta Rabe, Simm adalah pejabat keamanan tertinggi Estonia yang terlibat dalam penyidikan resmi tenggelamnya Estonia saat dimulai. Ia telah memerintahkan penyelam (sebelum penyidikan resmi) untuk “mengamankan” kopor milik penumpang VIP Alexander Voronin, seorang pedagang senjata illegal berdarah Yahudi asal Rusia, yang disimpan di kabin Kapten Avo Piht.
Voronin memiliki perusahaan di kota Tallinn Estonia, Kosmos Association, sementara seorang kerabatnya menjalankan perusahaan cabang di Moscow yang banyak berhubungan dengan Kurchatov Institute, pusat penelitian teknologi nuklir dan ruang angkasa Russia. Aleksandr Voronin yang menumpang Estonia bersama anak lak-lakinya dan ayah mertuanya selamat dalam kecelakaan. Saat diwawancarai wartawan tentang mengapa memilih kapal ferry daripada pesawat, Voronin menjawab dirinya khawatir dengan angin kencang. Pada tahun 2002 Voronin meninggal dunia pada umur 45 tahun karena “serangan jantung”, hanya dua minggu setelah surat kabar terbesar Jerman Sued-Deutsche Zeitung, menulis detil bisnisnya yang terkait dengan tenggelamnya Estonia.
Meski kopor rahasia miliki Voronin terbukti ditemukan oleh tim pencari, keberadaannya tetap misterius dan tidak pernah disebut-sebut oleh tim penyidik pemerintah.
Namun anehnya, media massa, termasuk di Swedia dan Estonia sendiri tempat di mana kebanyakan korban berasal, mengabaikan berita tantang kapal Estonia bahkan di hari ulang tahun musibah tersebut, menunjukkan kuatnya pengaruh “men behind the scene” dalam mengubur suatu fakta segamblang dan sebesar apapun.
Apa yang ditakutkan media adalah fakta bahwa Simm bekerja untuk suatu kelompok paling berpengaruh di dunia, zionis Yahudi. Itulah sebabnya media setempat ramai-ramai menuduh Rusia di balik kasus Simm. Padahal logika paling sederhana saja tidak mungkin seperti itu. Rusia sangat boleh jadi sengaja menenggelamkan kapal tersebut untuk mencegah negara-negara musuhnya mendapatkan senjata rahasianya. Namun Rusia tentu saja tidak akan membayar orang untuk memata-matai dirinya sendiri. Sebaliknya Amerika, Swedia, Inggris atau Israel yang diduga berusaha mencuri senjata Rusia akan melakukan apapun untuk menutupi kasus ini rapat-rapat.
Perlu diingat pula bahwa kondisi politik Rusia tahun 1994 jauh berbeda dengan sekarang. Saat itu Rusia secara de facto dikuasai para oligarch, sekelompok pengusaha Yahudi yang menguasai semua sektor penting negeri: migas & energi, telekomunikasi & hiburan serta manufaktur. Bisnis illegal juga mutlak dikuasai mereka sehingga istilah mafia Rusia sangat terkenal di dunia. Mereka banyak mendapatkan keuntungan dari kondisi sosial politik yang tidak stabil paska runtuhnya Uni Sovyet dan terkenal dengan cara-cara bisnis mereka yang kotor.
Dengan cara yang sama pemerintah Amerika sudah jauh lebih lama dikendalikan para oligarch Yahudi. Apalagi semasa pemerintahan Bill Clinton tahun 1994 dimana lebih dari 50% pejabat publik Amerika adalah keturunan Yahudi. Seorang di antaranya, seorang dubes Amerika untuk Israel, bahkan baru memperoleh kewarganegaraan Amerika pada hari yang sama dengan pelantikan Bill Clinton. Sementara pejabat lainnya, Rahm Emanuel, tokoh dibalik pengukuhan blok ekonomi North American Free Trade Area (NAFTA), adalah putra pimpinan kelompok teroris Israel Irgun yang bertanggungjawab atas pembantaian warga Arab dan Inggris semasa perang Arab-Israel tahun 1948.
Zionis juga sangat berpengaruh pada pemerintahan Estonia di bawah pimpinan Mart Laar (1991-94). Laar, sebagai contoh, adalah orang yang terlibat dalam kontrak pembelian senjata pertama kali sejak merdeka, berupa pembelian senjata senilai $50 juta dari Israel. Senjata-senjata itu kemudian ditemukan ternyata berkualitas rendah, senjata bekas rampasan gerilyawan Palestina di Lebanon yang tidak berfungsi baik di suhu dingin Estonia. Laar juga terlibat dalam skandal transfer uang rubel kepada gerilyawan Chechnya.
Simm, tidak lain adalah tangan kanan Laar, yang pada akhirnya adalah anak emas Israel. Inilah kunci kasus ini karena adanya indikasi kuat senjata selundupan dalam kapal Estonia hendak dikirim ke Israel.
Andrus Öövel, mantan menteri pertahanan Estonian bahkan pernah mengatakan: "Sepanjang saya ingat, Herman Simm mendapatkan karier yang meroket selama pemerintahan Mart Laar."
Pertanyaannya sekarang adalah apakah kasus penangkapan Simm akan membuka tabir misterius tenggelamnya kapal Estonia?
Subscribe to:
Posts (Atom)