Artikel terbaru Gilad Atzmon diblognya gilad.co.uk berjudul "Spielberg v. Taratino" sangat menarik perhatian saya.
Artikel tersebut membahas tentang kecenderungan ilmu sejarah modern yang terpolarisasi dalam 2 kutub ekstrem, yaitu kutub Yerussalem dan kutub Athena. Kutub Yerussalem adalah ilmu-ilmu sejarah yang menjaga "kemapanan", menyembunyikan beberapa hal yang sensitif, mengabaikan hasrat dan nafsu manusia dan menerapkan standar baru yang disebut politically correct: bahwa zionisme dan yahudi adalah baik, bahwa homoseksual adalah wajar, bahwa Islam-Arab dan Palestina adalah tidak baik dll. Di sisi lain kutub Athena adalah ilmu-ilmu sejarah yang menggambarkan sejarah secara "apa adanya", menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah secara esensial, menempatkan hasrat dan nafsu manusia sebagai sebuah keniscayaan.
2 kutub itu, dalam pandangan Gilad, terwakili oleh 2 sineas besar Hollywood yang masing-masing karyanya tengah merajalela dalam dunia perfilm-an saat ini, yaitu Steven Spielberg dengan filmnya "Lincoln" dan Quentin Tarantino dengan filmnya “Django”
Spielberg, seperti biasa menjaga diskursus kemapanan tentang kebaikan dan kejahatan dan terlebih lagi kebenaran yahudi dan penderitaannya atas penindasan oleh orang-orang kulit putih Kristen NAZI Jerman. Biasanya Steven memilih untuk menampilkan 2 sisi berlawanan yang masing-masing mewakili kebaikan dan kejahatan, seperti misalnya yahudi vs NAZI Jerman, Israel vs Palestina, dan seperti dalam film terakhirnya ia memilih Federalis (Utara) yang anti-perbudakan vs Unionis (Selatan) yang pro-perbudakan.
Tentu saja Spielberg cukup cerdas untuk tidak terlalu menampakkan segalanya sebagai hitam dan putih yang tentunya akan membuat kurang menarik. Sesekali ia memasukkan kharakter-kharakter yang berbeda, namun tidak mengubah gambaran secara umum. Misal saja dalam film “Schindler’s List” ia menampilkan sesosok Jerman Kristen kulit putih yang bersimpati pada orang-orang yahudi, dan dalam film lainnya menampilkan seorang warga Palestina yang menjadi korban kekerasan aparat Israel.
Gilad menyebut Spielberg sebagai “an arch guardian of discourse” alias jagoan dalam membentuk bingkai dan alur cerita yang mampu membius penonton untuk mengikuti plot yang telah ditentukan hingga akhir, dan pada akhirnya penonton tercekoki dengan “kebenaran” yang telah ditentukan oleh Spielberg. Secara umum Spielberg menampilkan pesan-pesan moralnya secara santun.
Berbeda dengan Spielberg, Tarantino tidak peduli dengan faktualitas. Ia bahkan mungkin menolak “kebenaran” sejarah. Tarantino menganggap pesan moral dalam suatu film sangat melimpah bentuknya. Ia seorang esensialis yang tertarik pada sisi-sisi kemanusiaan termasuk yang paling gelap. Tidak heran jika film-filmnya dipenuhi dengan aksi-aksi kekerasan atau hasrat seksual: “Kill Bill”, “Pulp Fiction”, “Inglorious Bastards” dan “Django Unchained”.
LINCOLN VS DJANGO
Secara kebetulan, atau memang ada satu “kekuatan besar” yang mengatur, Spielberg dan Taratino mengeluarkan film yang memiliki tema yang sama, yaitu perbudakan di Amerika. Spielberg dengan filmnya “Lincoln” yang menceritakan tentang perjuangan Presiden Abraham Lincoln menentang perbudakan dan Taratino dengan “Django Unchained” yang menceritakan perjuangan seorang budak kulit hitam membela hak-haknya.
Sejarah tentang perbudakan Amerika memang mengandung banyak aspek yang sensitif dan karenanya perlu untuk tetap disembunyikan. Seperti misalnya peran dominan orang-orang yahudi dalam bisnis perdagangan budak (contoh yang diberikan sendiri oleh blogger, bukan oleh Gilad. Meski Gilad adalah seorang yang cukup jujur, namun sebagaimana orang-orang yahudi “pencari kebenaran” lainnya seperti Israel Shamir, seringkali tidak bersedia mengakui beberapa sisi gelap sejarah orang-orang yahudi ). Dan sekali lagi dalam hal ini Spielberg dan Taratino mengambil posisi yang berlawanan.
Dalam “Lincoln” Spielberg menampilkan Abraham Lincoln sebagai seorang neo-konservatif penjaga moral yang, bertentangan dengan keinginan publik, meng¬hapuskan perbudakan. Ini adalah sebuah upaya “zig zag” untuk menghindari banyak hal yang kontradiktif seperti motif ekonomi di balik kebijakan Lincoln tersebut. Dengan keahliannya, sekali lagi Spielberg mampu menampilkan sejarah sebagaimana keinginannya, bahwa perang saudara Amerika adalah perang antara kebaikan melawan kejahatan, bahwa orang-orang kulit putih adalah jahat dan orang-orang kulit hitam adalah korban penindasan yang harus dibela, sembari menyem¬bunyikan banyak sisi gelap seperti peran yahudi dalam perbudakan.
Tentu saja Spielberg mendapat banyak penghargaan kalangan yahudi internasional. Salah satu media yahudi “The Tablet Magazine” menyebut Abraham Lincoln sebagai Avraham Lincoln Avinu (Bapak Kita, dalam bahasa Hebrew), merujuk pada Abraham atau Ibrahim, bapak umat yahudi.
“As imagined by Spielberg and Kushner, Lincoln’s Lincoln is the ultimate mensch. He is a skilled natural psychologist, an interpreter of dreams, and a man blessed with an extraordinarily clever and subtle legal mind,” tulis Tablet Magazine.
Secara ringkas Lincoln dalam film Spielberg digambarkan sebagai perpaduan antara Nabi Musa, Sigmund Freud dan Alan Dershowitz, tokoh neocons provokator Perang Irak. Namun seorang sejarahwan yahudi, Lance J. Sussman tetap protes kepada Spielberg, “Dengan menyesal saya harus mengatakan bahwa saya kecewa dengan film Spielberg terakhir. Meski secara umum sangat baik, namun lebih baik jika Spielberg menampilkan sesosok orang yahudi dalam film itu.”
Quentin Tarantino di sisi lain berupaya menggali sisi paling gelap perbudakan, meski seperti sudah saya sebutkan, tidak semuanya, terutama peran yahudi dalam perdagangan budak. Ia melakukannya dengan determinasi biologis: supermasi dan kekejaman kulit putih, namun juga kepasifan, kepasrahan, dan pengkhianatan kulit hitam. Ia membangun kharakter mirip dewa dalam mitologi yunani bernama Django (Jamie Fox) yang diliputi dendam membara dan Schultz (Christoph Waltz) keturunan Jerman pemburu penjahat yang bijaksana. Tokoh lainnya adalah Calvin Candie (Leonardo DiCaprio) seorang rasis kulit putih dan Stephen (Samuel L. Jackson) seorang rasis kulit hitam.
Secara umum Gilad ingin menggambarkan betapa Tarantino merupakan sosok ideal yang bisa melawan “kemapanan” dominasi Jerussalem (yahudi). Namun ia tetap gagal menjelaskan mengapa Tarantino, dalam film-filmnya tidak pernah jujur mengungkap sisi gelap yahudi. Dalam hal ini Tarantino tidak berbeda dengan Spielberg, dan ini tidak terlihat oleh Gilad Atzmon.
REF:
“Spielberg vs Taratino”; Gilad Atzmon; gilad.co.uk; 16 Februari 2013
No comments:
Post a Comment