Tuesday 26 February 2013

KPK DAN SEMANGAT PEMBERANTASAN KORUPSI INDONESIA

Seluruh rakyat Indonesia sepakat bahwa korupsi merupakan masalah mendasar pada negeri ini. Untuk itulah maka pemerintah dan DPR sepakat untuk membentuk satu "lembaga super" pemberantasan korupsi dengan segala keistimewaannya: anggaran besar dan  kewenangan besar.

Karena keistimewaan itu maka KPK diharapkan bisa mengusung misi besar pemberantasan korupsi di Indonesia. Untuk mengefektifkan misi besar itu KPK diarahkan untuk hanya menangani kasus-kasus korupsi besar, baik dilihat dari nilai korupsinya maupun dampak yang ditimbulkannya. Selain pemberantasan korupsi, KPK juga mengemban misi untuk menciptakan metode yang efektif dan efisien bagi pencegahan tindakan-tindakan korupsi yang marak di negeri ini. Selain itu demi efektif dan efisiensi, KPK juga menerapkan sistem perekrutan yang transparan yang pada akhirnya diharapkan KPK bisa menjalankan tugasnya secara profesional tanpa intervensi pihak luar.

Namun akhir-akhir ini kita disuguhi dengan "pertunjukan publik" yang amat norak oleh oknum-oknum pejabat KPK yang justru bertolak belakang dengan semangat pemberantasan korupsi yang profesional, yaitu kasus kebocoran dokumen surat perintah penahanan (sprindik) yang terkait dengan penetapan Anas Urbaningrum sebagai tersangka kasus Hambalang.

Saya belum menyebut tentang kegagalan KPK menuntaskan kasus-kasus besar Bank Century, korupsi pajak Gayus Tambunan atau suap pemiluhan Deputi Senior Gubernur BI Miranda Goeltom. Sekedar melihat ke belakang, dalam kasus Bank Century yang sudah berjalan bertahun-tahun KPK baru menetapkan 2 orang tersangka dari jajaran pejabat Bank Indonesia yang bahkan penyidikannya pun belum pernah dilakukan (sprindiknya belum dikeluarkan). Bahkan dalam penetapan tersangka ini pun KPK sudah menerapkan cara tebang pilih yang bertentangan dengan prinsip keadilan (equality bofore the law). Jadi tebang pilih tidak saja diterapkan dalam menetapkan satu kasus untuk disidik atau tidak, melainkan dalam penetapan seorang tersangka dalam satu kasus. Luar biasa biasnya.

Oke, untuk hal tebang pilih yang pertama KPK bisa berdalih "keterbatasan", sehingga memilih kasus sesuai skala prioritas. Namun untuk tebang pilih yang kedua, jelas-jelas sebuah pengkhiantan atas prinsip keadilan. KPK sudah tidak berbeda dengan polisi yang menahan tersangka kasus tabrak lari, namun membebaskan putra menko ekonomi Hatta Radjasa dalam kasus yang sama.

Dua tersangka dalam kasus Bank Century adalah mantan anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia. Bila prinsip keadilan diterapkan, tentu semua anggota Dewan Gubernur, termasuk Gubernur BI kala kasus terjadi yaitu Boediono, ditetapkan sebagai tersangka, karena tanggungjawab mereka adalah kolektif kolegial sifatnya. Boediono tentu paling layak disidik karena ia adalah penanggungjawab utama dan karenanya paling banyak memiliki motif. Sampai kapan KPK "menggantung" kasus Bank Century, sementara untuk tiap penyelidikan dan penyidikan satu kasus "memakan" dana masyarakat yang tidak sedikit setiap tahunnya?

Selanjutnya dalam kasus Miranda Goeltom. Sampai saat ini KPK masih belum mengungkap siapa penyandang dana kasus ini serta motif di baliknya. Jadi bisa dikatakan kasus ini pun dalam kasus "menggantung". Hal yang sama juga terjadi pada kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan. KPK belum mengungkap modus utama serta jaringan yang terlibat. Padahal Gayus sudah berulangkali mengungkapkan bahwa ia hanya "ikan teri" dan masih ada "ikan kakap" hingga "ikan paus". Dengan berhentinya kasus Gayus maka modus utama penggelapan pajak itu, termasuk sebagian besar jaringan pelakunya, masih utuh dan terus menggerogoti ratusan triliun pajak yang dibayarkan oleh rakyat negeri ini setiap tahun.

Dan terakhir kita menyaksikan drama yang sangat mengenaskan yang dilakukan oknum-oknum petinggi KPK. Selain dugaan intervensi Presiden SBY dalam kasus penetapan status tersangka Anas Urbaningrum, bocornya sprindik KPK ke publik sungguh menyesakkan dada. Awalnya ketua KPK Abraham Samad membuat pernyataan bahwa seluruh pimpinan KPK telah sepakat untuk menjadikan Anas sebagai tersangka kasus Hambalang. Beberapa hari kemudian sprindik atas Anas Urbaningrum bocor ke publik yang menunjukkan hanya 3 orang komisioner KPK yang menandatangani, 2 lainnya tidak. Disusul kemudian pernyataan seorang komisioner KPK yang mencabut tandatangannya. Disusul kemudian dengan penerbitan sprindik yang baru untuk Anas yang tidak ditandatangani Abraham Samad.

Ada hal sangat menarik dalam kasus bocornya sprindik tersebut di atas. Setelah kasus ini mencuat, kita semua mengetui bahwa Abraham Samad tidak pernah lagi muncul di publik. Ia bahkan tidak turut mengikuti gelar perkara terakhir dan tidak menandatangani sprindik terbaru (kedua) untuk Anas. Ada apa?

Saya menduga kuat, sebagaimana dugaan banyak orang yang dibenarkan juga oleh KPK dengan pembentukan komisi etik penyelidikan kasus ini, kebocoran sprindik KPK dilakukan oleh salah seorang komisioner KPK yang tidak menandatangani sprindik yang bocor namun kemudian menjadi aktor utama penerbitan prindik kedua, yaitu BW. Hal ini membuat Abraham Samad tersinggung berat sehingga menarik diri dari publik. Ia juga merasa telah dikhianati rekan-rekannya, termasuk komisioner yang kemudian menarik tanda tangannya pada sprindik yang bocor. Dugaan saya diperkuat dengan pernyataan 2 anggota DPR dari F-PPP Ahmad Yani dan mantan anggota DPR Akbar Faisal yang menyebut-nyebut ada upaya sistematis di kalangan internal KPK untuk menyingkirkan Abraham Samad karena dianggap terlalu bersemangat mengungkap kasus-kasus korupsi besar.

Kita akan melihat nanti kebenaran kasus ini. Namun untuk masukan saya mengusulkan beberapa hal berikut:

1. KPK menetapkan secara terbuka kriteria-kriteria kasus yang ditanganinya sesuai kapasitas yang dimiliki. Kriteria pertama adalah kasus korupsi dengan kerugian negara minimal Rp 100 miliar, bukan Rp 1 miliar yang selama ini ditetapkan yang  membuat perhatian KPK terlalu banyak sementara kasus-kasus besar terabaikan. Kriteria kedua adalah korupsi sistematis yang melibatkan jaringan luas seperti kasus penggelapan pajak, atau kontrak-kontrak karya yang bernilai sangat besar.

2. Pembatasan waktu penyelidikan dan penyidikan suatu kasus untuk menghindari pemborosan keuangan negara dan demi kepastian hukum sehingga negara tidak tersandera oleh kasus seperti Bank Century. Misalkan saja batas waktu penyidikan adalah 1 tahun dan dalam waktu itu sudah harus ada status yang jelas, apakah kasusnya diteruskan ke pengadilan atau dihentikan (SP3).

3. Pembaharuan UU Tipikor dalam hal batas minimal hukuman pelaku korupsi. Selama ini publik melihat betapa para pelaku korupsi hanya mendapatkan hukuman yang ringan sehingga sama sekali tidak menimbulkan efek jera. Angelina Sondakh misalnya, hanya dihukum 2,5 tahun tanpa disita aset-asetnya meski terbukti melakukan korupsi.

Anehnya, KPK cukup merasa puas dengan status "penjerat koruptor yang tidak pernah lepas". Tidak peduli bahwa hukuman ringan yang diterima pelaku korupsi membuat semua yang dilakukan KPK menjadi tidak berarti. Hal ini bisa dilihat dari besarnya anggaran KPK yang tidak sebanding dengan uang negara yang diselamatkan. (Ma'af saya belum mendapatkan data pastinya, yang pasti anggaran KPK masih lebih besar). Dalam konteks pembangunan suatu negara, hal ini melanggar prinsip efisiensi yang tentunya tidak bisa dibiarkan terjadi.

Apa yang terjadi dalam proses pemberantasan korupsi di negeri ini dengan adanya KPK dan UU Tipikor menurut pandangan saya adalah sebuah konspirasi besar untuk tetap menjerumuskan bangsa ini ke dalam satu persoalan dasar yang membuat tidak memiliki kesempatan untuk melakukan hal-hal lain yang lebih penting: kedaulatan rakyat atas sumber-sumber alam dan distribusi kekayaan yang adil antar penduduk yang semua itu akan mengantar seluruh rakyat Indonesia memperoleh kemakmuran.


2 comments:

Pengakuan Gay Indonesia said...

GAY HOMOSEKSUAL BISEKS

salam kenal semua pria" yg sempat membaca tulisan ini.
Mungkin akan terkesan negatif, bagi anda yg fanatik.
Tapi faktanya di indonesia cukup banyak.
Mungkin salah satu nya adalah saya.
Mungkin banyak juga yg memandang hina.
Tapi kami ada sebagai warna keanekaragaman manusia.
Mungkin banyak yg menilai kami cuma virus? Tapi kami juga manusia. Juga punya hati. Yg punya cinta sayang & sangat setia.
Banyak kasus yg anda liat di media, tragedi dg image buruk ttg GAY? Tapi tidak semua sama.
Itu semua tergantung bagaimana watak dasar & didikan lingkungan pd seseorang.
Mungkin perlu anda tau, pada saat kami sudah menyatakan Rasa suka,
barulah anda tau, bahwa anda bisa merasakan bagaimana anda dihargai sbg pasangan.
Yg mungkin sebelumnya anda tidak pernah dapatkan!
Jika anda pria krisis hati,
salam kenal dari saya ; O85664600785
sudah tidak jaman lagi tuk munafik.
Asal tidak merugikan org lain,
semua sah" saja!
Hati lbh penting drpd fisik...

cahyono adi said...

Saran saya, kembalilah ke tempat asal Anda di dasar laut mati (Sodom). Klaim bahwa seseorang menjadi gay karena faktor genetis adalah bohong besar. Itu adalah penyakit mental yang harus disembuhkan.