Sunday 25 September 2016

Antara Trivia dan Ironi dalam Pemilihan Cagub-Cawagub DKI

Indonesian Free Press -- Hari Sabtu kemarin (24 September) saya dikejutkan oleh judul 'headline' di harian Tribun Medan tentang ketidak relaan Bu Any Yudhoyono atas naiknya putranya, Agus Yudhoyono, menjadi salah satu cagub DKI.

Pikiran saya pun langsung beralih ke status-status yang viral di media sosial sehari sebelumnya, yang isinya mencela keputusan mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengorbankan karier militer putranya demi memenuhi ambisi politiknya. Bagi publik, apa yang dialamai Agus merupakan sebuah ironi karena mereka mengetahui bahwa untuk mewujudkan ambisi politik keluarganya, Agus harus mengakhiri karier militernya untuk selamanya.

Hal ini sangat beralasan karena Agus memiki prospek karier militer yang cemerlang. Berasal dari keluarga militer yang dihormati (selain ayahnya yang jendral berbintang tiga, kakeknya adalah mantan komandan pasukan khusus RPKAD yang berhasil menghancurkan gerakan pemberontakan PKI tahun 1965), sebagai putra mantan Presiden tentu memberinya nilai tambah yang sangat besar untuk mendorong karier militernya. Namun tiba-tiba saja, hanya untuk meraih 'peluang' menjadi gubernur, karier cemerlang itu dicampakkan begitu saja.
Keluarga Yudhoyono tentu sangat berkepentingan untuk menepis suara-suara miring tersebut. Maka, wartawan pun diundang untuk menuliskan 'pandangan' Any Yodhoyono tersebut.

'Suara hati' Any Yudhoyono itu tentu saja hanya sebuah trivia, atau hal yang tidak penting di tengah hiruk-pikuk pilkada DKI. Hal itu tidak berpengaruh terhadap apapun, tapi dengan pengaruhnya keluarga Yudhoyono bisa menjadikannya sebagai berita utama di media-media massa nasional. Lebih penting lagi, misalnya, memberitakan alasan kandidat kuat Yuslil Ihza Mahendra gagal melaju, atau apakah Anies Baswedan meminta ma'af kepada Prabowo agar bisa disetujui menjadi calon gubernur? Atau mengapa partai-partai 'Islam' PKB, Pan dan PPP seperti kerbau yang dicocok hidungnya mengikuti kemauan keluarga Yudhoyono?

Namun tidak ada ironi yang dialami oleh Prabowo dalam relasinya dengan Anies Baswedan. Menjadi musuh Prabowo dalam pilpres 2014 lalu, nama Anies tiba-tiba muncul di hadapan Prabowo untuk kemudian 'memaksakan diri' menjadi cagub DKI dengan menyingkirkan kandidat-kandidat lain yang sebelumnya telah menjadi wacana publik sebagai balon cagub DKI dari Gerindra-PKS, seperti Yusril Ihza Mahendra. Anies bahkan berhasil memaksa kandidat terkuat Gerindra-PKS hanya menjadi cawagub.

Sebagian besar pendukung Prabowo tentu saja marah dengan hal ini, meski Prabowo sudah memberikan alasan-alasannya kepada para pendukungnya, seperti adanya surat permintaan ma'af dari Anies Baswedan kepadanya, atau alasan lain bahwa Anies tidak membebani partai dengan biaya kampanye karena dibiayai oleh para pengusaha pribumi. Atau alasan lain bahwa menjadi korban 'tipuan politik' adalah sebuah risiko yang harus dihadapi semua politisi, seperti pengalamannya ditipu oleh Megawati, Jokowi dan Ahok.

Meski sebagian pendukungnya bisa menerima penjelasan Prabowo, bagi sebagian pendukung lainnya Prabowo dianggap terlalu baik, terlalu lemah, bahkan terlalu na'if.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

dr sudut pandang lain, Agus bs jdi kartu As bagi SBY guna menahan laju atau bahkan memukul balik kubu hidung putih penguasa yg mulai menggerogoti kekuatan SBY di ranah politik..

Time Will Tell.. Smg Rakyat DKI mampu memilih pemimpin yang tepat.