Wednesday, 8 November 2017

Temuan yang Menohok Amerika: Pengiriman Senjata ke Teroris Terus Berlangsung

Indonesian Free Press -- Sebuah temuan baru semakin mempermalukan Amerika, bahwa mereka telah mengirimkan senjata kepada para teroris di Suriah melalui Kroasia. Hal ini dilakukan setelah pemerintah Jerman melarang digunakannya pangkalan NATO di negaranya sebagai basis pengiriman senjata ke Suriah.

Seperti dilaporkan New Eastern Outlook (NEO), Jumat (3 November), serangkaian penyelidikan telah dilakukan oleh Bulgarian Investigating Reporting Network (BIRN), menemukan fakta tentang jaringan pengiriman senjata kepada para teroris Suriah oleh Amerika dan sekutu-sekutunya. Pulau Kerk di Kroasia, di antaranya, menjadi basis pengiriman senjata Amerika ke Suriah pada bulan September lalu. Ini sekaligus mengkonfirmasi bahwa dinas inteligen Amerika, CIA telah melanggar perintah Presiden Donald Trump bagi penghentian bantuan kepada para pemberontak Suriah.


NEO menyebut, pengiriman senjata melalui 'jalur alternatif' seperti di Kroasia maupun melalui Azerbaijan dilakukan setelah pemerintah Jerman melarang wilayahnya, yang menjadi basis beberapa pangkalan militer Amerika dan NATO, menjadi bagian dari jaringan pengiriman senjata ilegal, apalagi untuk para teroris.

Perhatian pemerintah Jerman berdasar pada dua prinsip. Pertama, sikap bersama Uni Eropa yang disepakati tahun 2008 dimana seluruh negara anggota Uni Eropa diwajibkan untuk memperhatikan delapan kriteria bagi pengiriman senjata melalui wilayahnya ke pihak ketiga. Kriteria-kriteria yang harus diperhatikan itu termasuk aspek HAM, perdamaian, keamanan dan stabilitas. Dari semua kriteria itu, pengiriman senjata ke Suriah tentu saja tidak memenuhi syarat.

Meski demikian, Uni Eropa juga bersikap 'munafik' ketika tahun 2013 mencabut embargo senjata ke Suriah akibat desakan Inggris dan Perancis. Saat itu kedua negara sekutu Amerika itu ingin agar para pemberontak bisa mendapatkan senjata yang dibutuhkan untuk menggulingkan pemerintahan Bashar al Assad.

Faktor kedua adalah Perjanjian Perdagangan Senjata PBB yang ditandatangani tahun 2014. Pada pasal 6 perjanjian itu disebutkan larangan bagi pengiriman senjata jika dicurigai senjata itu akan digunakan untuk menyerang warga sipil atau tindakan kejahatan perang lainnya.

Di antara negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian ini adalah Australia, Bulgaria, Kroasia, Republik Cheko, Perancis dan Inggris. Semua negara itu diketahui telah melakukan pengiriman senjata ke Saudi dan Israel, negara-negara yang tidak memenuhi kriteria. Kelompok teroris dukungan Saudi, Jaysh Al-Islam, misalnya, melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap warga sipil, menggunakan senjata kimia terhadap sasaran sipil dan menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup.

Namun meski berbagai larangan telah ada, pengiriman senjata kepada kelompok-kelompok teroris oleh Amerika dan Saudi tidak bisa dihentikan. Bahkan meski Presiden Donald Trump pada Juli lalu memerintahkan penghentian bantuan kepada para pemberontak Suriah. Pengiriman-pengiriman itu menimbulkan pertanyaan tentang efektifitas Donald Trump melakukan kontrol terhadap aparatnya, khususnya militer dan CIA.

NEO menyebutkan bahwa CIA dan Special Operations Command (militer) secara diam-diam terus melakukan pengiriman senjata dan dukungan lain kepada para teroris Suriah dan Irak. Selain BIRN, sejumlah pihak juga melaporkan adanya pengiriman senjata diam-diam  ke Suriah. Sebuah laporan mengungkapkan keterlibatan maskapai penerbangan Silk Airways, perusahaan penerbangan yang berbasis di Azerbaijan. Padahal sudah menjadi konvensi internasional untuk melarang penerbangan sipil digunakan sebagai penerbangan militer.

Di sisi lain, bocoran informasi yang dirilis Edward Snowden baru-baru ini juga menimbulkan pertanyaan tentang peran Saudi Arabia dan beberapa negara lainnya dalam pengiriman senjata kepada para teroris Suriah. Menurut Snowden, Saudi aktif mempersenjatai para teroris Suriah sejak Maret 2013. Pemerintah Amerika (maksudnya bukan militer maupun inteligen) telah mengetahui hal itu, namun tidak melakukan pencegahan karena baik Amerika maupun Saudi memiliki aspirasi yang sama dengan Israel, yaitu penggulingan regim Bashar al Assad.

Menurut NEO, media-media utama internasional turut bertanggungjawab atas pengiriman-pengiriman senjata kepada para teroris di Suriah dengan sikap diamnya, juga dengan laporan yang tidak berimbang. NEO membandingkan perbedaan sifat laporan-laporan media tentang operasi pembebasan Aleppo yang dilakukan Suriah, Iran dan Rusia, dengan pembebasan Raqqa yang dilakukan Amerika dan sekutu-sekutunya.

Dalam kasus pertama, Suriah dan kawan-kawan berusaha sekuat tenaga untuk menghindari korban sipil, termasuk dengan membiarkan pemberontak dipindahkan ke wilayah lain tanpa pertumpahan darah. Namun, media-media justru menuduh Suriah dan Rusia melakukan pembantaian terhadap warga sipil. Sebaliknya, ketika Amerika membombardir habis-habisan kota Raqqa dengan korban sipil diperkirakan mencapai ribuan orang, media massa justru diam membisu.(ca)

No comments: