Sunday 4 January 2009

ISRAEL RAYA


Pemimpin Hizbullah Sheikh Hassan Nasrallah, ketika pasukannya sedang berusaha menahan gempuran Israel, menyerukan para pemimpin negara-negara Arab dan muslim yang menjadi sahabat Amerika itu untuk berani menentang Israel dan Amerika. “Tidak ada tempat lagi bagi Anda dalam Tatanan Dunia Baru yang akan dibentuk Amerika dan Israel. Jadilah laki-laki walau hanya sehari saja,” katanya.

Pernyataan Nasrallah sangat tepat. Gerakan zionis Israel dengan dukungan kalangan neo-konservatif Amerika, telah menargetkan untuk menguasai Timur Tengah sepenuhnya, dan Irak adalah langkah pertama untuk mencapai target itu. Teritorial “Israel Raya”, wilayah yang diperuntukkan bagi negara Israel sebagaimana ditargetkan itu meliputi Palestina, Suriah, dan Lebanon. Masih kurang, teritorial itu juga meliputi wilayah negara-negara yang telah tunduk menjadi sahabat Amerika: Arab Saudi, Mesir, dan Yordania.

(Tiga negara tersebut telah mengecam Hizbullah sebagai pemicu Perang Lebanon, sementara ulama-ulama “bayaran” Arab Saudi yang telah menghalalkan pasukan Amerika bercokol di tanah haram, justru mengeluarkan fatwa haram untuk membantu Hizbullah dalam perangnya melawan Israel. Para pemimpin Arab antek Amerika itu, termasuk Mesir, Arab Saudi dan negara-negara Teluk Parsi, plus para ulama Sunni Arab kini diam seribu bahasa tentang penyerbuan biadab Israel atas Gaza).

American Free Press (AFP), kantor berita independen yang bebas dari pengaruh Yahudi, pernah mengeluarkan sebuah ulasan tentang hubungan pemerintahan Presiden George W Bush dengan Israel dan dampak yang ditimbulkannya, jauh sebelum media massa lain mengulasnya. AFP mengatakan bahwa kalangan neo-konservatif dengan bekerjasama dengan para kapitalis minyak memiliki ambisi yang sama untuk menguasai kawasan Timur Tengah yang kaya minyak dengan menyingkirkan para penguasa negara-negara di kawasan itu. Di sisi lain kalangan Kristen dan Yahudi fanatik, demi melihat ambisi tersebut di atas, melihat peluang mewujudkan negara Israel Raya yang diimpikan sebagai syarat terjadinya Armagedon.

Negara Israel Raya yang diimpikan tersebut membentang dari Sungai Nil di Mesir hingga Sungai Eufrat di Irak. “Petualangan di Irak” hanyalah tahap awal dari program menguasai Timur Tengah dan mewujudkan Israel Raya. Lebanon adalah langkah selanjutnya. Dengan menguasai Lebanon, maka kekuatan oposisi terhadap persekutuan Israel-Amerika tinggal Syria dan Iran. Namun skenario itu terganjal sementara setelah kekalahan Israel atas gerilyawan Hezbollah.

Skenario menguasai Timur Tengah demi kepentingan Israel bahkan telah cukup lama diungkapkan secara terbuka oleh orang-orang neo-konservatif. Michael Leeden, mantan pejabat inteligen Amerika pro-Israel menulis sebuah artikel berjudul “The War Against the Terror Masters” dimana ia mengusulkan sebuah ide yang disebutnya sebagai “penghancuran yang kreatif”. Ia menulis:

Kita meninggalkan tatanan lama setiap hari, baik di bidang bisnis, sains, sastra, kesenian, arsitektur, film, politik dan hukum.
Musuh-musuh kita selalu membenci kemajuan energi dan kreatifitas ini yang telah mengungguli tradisi mereka dan mempermalukan mereka atas kegagalan mereka menyaingi kemajuan kita. Melihat Amerika tidak lagi setara dengan masyarakat tradisional, mereka takut pada kita karena tidak ingin ditinggalkan.

Mereka tidak lagi merasa aman selama kita berada di sana (Timur Tengah, pen.), karena keberadaan kita, bukan kebijakan politik kita, mengancam legitimasi mereka. Mereka harus menyerang kita agar tetap hidup, sama seperti kita harus menghancurkan mereka untuk melanjutkan missi sejarah kita. Presiden harus berani menyingkirkan para pejabat yang gagal memimpin institusinya secara efektif, bersama dengan mereka yang kurang mendukung kebijakan perang terhadap para teroris. Para pejabat inteligen perlu diganti, dan para komandan militer yang mengatakan kepada presiden bahwa perang tidak bisa di atau karena mereka sekedar tidak siap, juga perlu diganti, seperti halnya pejabat-pejabat di jajaran keamanan yang ngotot menyelesaikan konflik Arab-Israel dengan perundingan.

Sementara itu sekelompok neo-konservatif juga telah menyusun sebuah skenario yang diberi nama “Rogue States Rollback” atau penggulingan regim negara-negara yang berpotensi menentang kekuasaan Israel. Negara-negara tersebut adalah Iran, Irak, Libya, Syria, Sudan, dan Afganistan. Tidak hanya itu, bahkan pemimpin negara se-moderat Arab Saudi pun dianggap berpotenti menjadi musuh yang harus disingkirkan.

Politisi pengusung rencana “Rogue States Rollback” adalah sanator John McCain, kandidat presiden pemilu 2008 yang sebagaimana telah disebutkan sebelumnya adalah seorang senator yang berhutang jasa pada orang-orang Yahudi. Dalam kampanye kepresidenan tahun 2000 dimana ia menjadi salah seorang calon nominator, ia menyatakan dengan lantang akan melancarkan perang habis-habisan melawan negara-negara teror. Yang tidak diungkapkan McCain adalah rencana perang habis-habisan itu telah disusun jauh sebelumnya.

Pada bulan Mei 1993 Martin Indyk, seorang pejabat di Dewan Keamanan Nasional, sebuah lembaga penasihat presiden di bidang keamanan, mengungkapkan di depan para aktivis LSM pro-Israel Washington Institute on Near East Affair (WINEA), pemerintah tengah menargetkan untuk menyerang Irak dan Iran. (Indyk adalah Yahudi Israel kelahiran Inggris. Ia menjadi warga negara Amerika melalui proses istimewa, yaitu langsung ditetapkan oleh Presiden Bill Clinton hanya beberapa jam setelah ia dilantik sebagai presiden pada bulan Januari 1993. Dan seolah masih kurang dengan menduduki jabatan strategis, warga negara istimewa itu selanjutnya diangkat sebagai seorang duta besar).

Pada bulan awal tahun 1994 Associated Press dan The Washington Post mengulas sebuah artikel yang diterbitkan di jurnal berpengaruh Foreign Affairs tentang sebuah rencana yang disusun oleh Anthony Lake, Penasihat Keamanan Nasional Presiden Clinton. Rencana tersebut adalah perang terbatas terhadap Irak dan Iran, dua negara yang oleh Lake disebut sebagai “outlaw” dan “backlash”.

Pada bulan November 1998 Henry Kissinger, tokoh Yahudi yang menjadi arsitek kebijakan politik Amerika di era 70-an dalam artikelnya “Bring Saddam Down” yang dimuat Washington Post memprovokasi Presiden Clinton untuk menyerang Irak. Sementara itu kolumnis Washington Post Jim Hagland pada bulan Maret 2000 menjelang pemilu kepresidenan, menulis, bahwa kebijakan politik di Teluk Persia merupakan isu paling penting bagi para kandidat Presiden. Kandidat paling tepat, menurutnya adalah mereka yang mampu membuat kebijakan politik dan strategi militer yang tepat terhadap Irak dan Iran, juga negara-negara Arab Timur Tengah lainnya, sehingga “demokrasi Amerika” dapat diterima dengan baik.

Bill Clinton memang tidak sempat menyerang Irak. McCain pun gagal menjadi presiden. Namun sejawat McCain dari Partai Republik, George W Bush, berhasil melaksanakan missi itu tahun 2003, menyerang Irak dan menumbangkan Saddam Hussein, namun gagal membawa Irak sebagai negara “demokrasi ala Amerika”.

Dan kini missi tersebut disandang oleh Barack Obama, presiden kulit hitam yang tidak jelas asal-usulnya (sampai saat ini tidak pernah menunjukkan tanda bukti kelahirannya yang otentik meskipun konstitusi Amerika menyebutkan jelas bahwa Presiden Amerika adalah warga negara Amerika yang lahir di Amerika), dan membangun karier atas dukungan zionis tulen Rahm Emmanuel dkk.

No comments: