Saturday 7 February 2009
ADA APA DENGAN HANUNG BRAMANTYO
Ketika film “Ayat-Ayat Cinta” tengah meledak di pasaran, saya menyaksikan sebuah fenomena yang sangat tidak lazim. Mesin-mesin propaganda yang selama ini lebih banyak menyerukan agenda liberalisme Yahudi (produser film keluarga Punjabi, jaringan bioskop Studio 21, sebagian besar media massa cetak dan elektronik, jaringan penerbit dan distributor buku terkemuka, artis dan aktor non-muslim, para sineas liberal, dan sudah barang tentu para pengamat sosial politik, sastrawan dan agamawan) bekerja bahu-membahu mempromosikan film ini ke tengah-tengah masyarakat. “Pasti ada misi tertentu di film ini,” pikir saya waktu itu.
Akhirnya kecurigaan saya terbukti setelah saya menyaksikan film ini di rumah. Film ini mengusung agenda liberalisme (faham ini diciptakan oleh Yahudi untuk melemahkan semua entitas, terutama agama, yang berpotensi menjadi penghalang dominasi Yahudi). Saya berikan satu adegan yang sangat jelas menjelaskan agenda tersebut. Adegan itu adalah perdebatan antara tokoh utama film tersebut dengan seorang ustadz di dalam bis kota mengenai definisi seorang kafir dzimi yang harus dilindungi orang Islam. Perdebatan ini berkaitan dengan keberadaan para turis Amerika di Mesir.
Si tokoh film menganggap para turis asing, meski dengan penampilan yang tidak Islami seperti membuka aurat, harus dilindungi keberadaannya. Sedangkan sang ustadz menganggap para turis itu tidak perlu dihormati karena telah merusak nilai-nilai Islami. Dan tentu saja, argumen si tokoh film yang dimenangkan demi mengkampanyekan faham liberalisme.
Saya ingin mengingatkan secara singkat saja bahwa para kafir dzimmi yang dilindungi umat Islam di jaman Rosulullah adalah orang-orang kafir yang memenuhi syarat:
1. Mengakui kekuasaan Islam dengan membayar pajak atau upeti dan tidak melakukan tindakan permusuhan kepada Islam.
2. Mengikuti hukum-hukum Islam, kecuali dalam urusan ibadah. Misalnya saja menutup aurat di depan umum.
Dari kedua syarat itu tidak satupun yang dipenuhi oleh turis Amerika di Mesir. Mereka tidak mengakui pemerintahan Mesir melainkan pemerintah Amerika. Mereka juga tidak mengakui hukum Islam dengan membuka aurat di muka umum. Jadi mengapa Habiburrachman, penulis novel yang lulusan Al Azhar itu seolah lupa dengan ketentuan-ketentuan tersebut di atas? Jawabannya tidak lain adalah memenuhi pesanan kaum liberalis Yahudi untuk melemahkan umat Islam demi imbalan uang dan popularitas.
Kini fenomena liberalisme Islam ini muncul kembali dengan beredarnya film “Perempuan Berkalung Sorban”. Film ini, selain mendestruksi nilai-nilai Islami seperti cinta ilmu (adegan pembakaran buku dan kehidupan pondok pesantren yang sangat mengekang), penghormatan wanita (larangan wanita berkuda), dan mencintai kelambutan akhlak (peringai kasar kiai), juga sangat kental mengkampanyekan nilai-nilai liberalisme seperti ajakan membuka kerudung.
Karena itulah film ini menuai kritikan tajam dari kalangan umat Islam.
Sebagaimana film “Ayat-Ayat Cinta”, film “Perempuan Berkalung Sorban” disutradarai oleh orang yang sama, yaitu Hanung Bramantyo.
Saya ingat bagaimana Hanung Bramantyo menanggapi kritikan-kritikan terhadap filmnya yang dilancarkan oleh umat Islam. Hanung sama sekali tidak menunjukkan empati kepada para pengkritiknya. Dengan gigih bersilat lidah, ia ngotot mempertahankan semua isi dalam filmnya. Ia justru menyalahkan orang-orang yang memiliki persepsi berbeda dengannya. “Salahnya sendiri mengapa berpersepsi miring?” begitu kira-kira dalih yang dikeluarkannya.
Orang yang mempunyai empati tidak akan berkomentar begitu. Ia akan berkata, “Mohon ma’af kalau film saya menimbulkan persepsi negatif.” Dan kemudian melakukan perbaikan atas filmnya agar persepsi negatif yang muncul tidak akan terjadi.
Saya belum tertarik untuk mengetahui siapa Hanung Bramantyo sebenarnya. Yang saya tahu adalah: ia menjalin “hubungan gelap” dengan artis Zaskia “Rokok” Mecca. Setelah affair tersebut terkuak ke publik, ia pun bercerai dengan istrinya. Hal lainnya adalah tidak ada karya sinemanya yang berkualitas berdasar standar film bagus yang saya miliki. Fim-film karya Usmar Ismail seperti “Lewat Jam Malam” dan “Perawan di Sarang Penyamun” masih jauh lebih bermutu dari film-film Hanung. Apalagi jika dibanding film-film sineas barat.
Saat ini umat Islam dengan keyakinannya yang masih ada, adalah satu-satunya umat yang masih bertahan dari dominasi Yahudi. Meski kalah, umat Islam masih bertahan dan melawan. Mereka bertahan di Gaza, Lebanon, Aljazair, Moro, Thailand Selatan, Poso, Ambon, dan medan-medan perang lainnya. Di medan perang yang lain: Somalia, Irak dan Afghanistan, mereka pelan namun pasti tengah menuju kemenangan.
Mengapa Yahudi berani menghancurkan Gereja Suci Nativity di Jerussalem (tempat kelahiran Yesus Kristus)? Karena mereka tahu umat Kristen telah lumpuh karena paham liberalisme.
Dan mengapa Yahudi tidak berani menduduki masjid Al Aqsa? Karena mereka tahu, jika itu yang mereka lakukan maka jutaan umat Islam akan berdondong-bondong datang ke Jerussalem untuk membebaskannya, tidak peduli meski dihalang-halangi rejim-rejim korup oportunis seperti Hoesni Mubarrak, Mahmood Abbas, Raja Yordania, Raja Arab Saudi dan rejim-rejim lainnya.
Itulah sebabnya mereka berupaya setengah mati untuk melemahkan semangat Islam dengan liberalisme meski berkedok Islam.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment