Sunday 1 February 2009
ERDOGAN DAN WASHINGTON POST
Ada peristiwa sangat menarik dari acara World Economic Forum yang berlangsung di Davos, Swiss, Kamis (29/1/09), meski tidak sedikit pun disinggung-singgung oleh koran terbesar Indonesia, Kompas. Peristiwa itu adalah perdebatan sengit antara Perdana Menteri Turki Recep Erdogan di satu pihak dengan Presiden Israel Shimon Peres dan David Ignatius, editor senior Washington Post, di pihak lainnya.
Dalam sebuah acara diskusi mengenai keamanan Timur Tengah yang menampilkan Erdogan, Peres, Sekjen PBB Ban Ki Moon serta Sekjend Liga Arab Amir Moussa sebagai panelis, Erdogan marah besar kepada Simon Peres yang sama sekali tidak menunjukkan penyesalan telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Gaza dan justru menyalahkan rakyat Palestina. Untuk memperkuat pembelaan dirinya Peres bahkan bersuara lantang sambil menuding-nuding muka Erdogan.
Erdogan berusaha mematahkan argumen Peres, namun dicegah oleh David Ignatius dengan agak kasar sambil menepuk bahu Erdogan. Dua kali David berusaha menghentikan pembicaraan Erdogan, namun tidak bisa menghentikan Erdogan untuk menyerang Peres dengan pernyataan pedas: "Anda adalah pembunuh." Kepada David Erdogan juga menuduhnya tidak fair dengan memberinya jatah waktu bicara yang lebih singkat (12 menit) dibandingkan Peres (25 menit). Erdogan juga memprotes audiens yang memberikan dukungan kepada Peres dengan memberikan tepuk tangan kepadanya. "Saya sangat sedih orang-orang memberikan tepukan kepada Anda (Peres). Ada orang-orang yang terbunuh. Menurut saya sangatlah keliru (memberikan tepukan kepada Peres) dan menurut saya forum ini (Forum Davos) bukanlah forum kemanusiaan."
Sebagai bentuk protes atas situasi yang tidak adil itu Erdogan pun walkout dari forum. Audiens pun tidak bisa berpura-pura untuk tidak memberikan penghargaan atas sikap patriotismenya itu. Mereka pun memberikan tepuk tangan kepada Erdogan. Di sisi lain Ban Ki Moon dan Amir Moussa (another jew butt kisser) hanya bisa diam terpaku. Moussa sebagaimana bosnya Presiden Mesir Husni Mobarak, sebagai orang Arab, semestinya lebih marah kepada Peres dibandingkan Erdogan yang bukan Arab atas tindakan biadabnya kepada rakyat Palestina yang merupakan bangsa Arab. Namun tidak ada kritikan pedas diberikan olehnya terhadap Peres sama seperti tidak ada upaya yang dilakukannya selaku Sekjend Liga Arab untuk menghentikan tindakan Israel kepada rakyat Palestina di Gaza.
Tindakan Erdogan, langsung mendapat dukungan meriah di kalangan masyarakat Turki, Arab bahkan Iran. Mereka mengadakan berbagai aksi demo mendukung sikap Erdogan. Ribuan orang pun menyambut kedatangannya ke Turki bak seorang pahlawan yang baru pulang dari medan perang.
Memang yang dilakukan Erdogan, seorang pimpinan partai Keadilan yang membawa misi Islamisasi Turki, tidak se-ekstrim Presiden Bolivia Evo Morales dan Presiden Venezuela, atau pemerintah Mauritinia dan Qatar yang memutuskan hubungan diplomatik dengan Israel sebagai protes atas aksi biadab Israel di Gaza. Namun bagaimana pun sikapnya itu jauh lebih baik dibandingkan kepala negara-negara Arab dan Islam lainnya.
WASHINGTON POST
sekarang kita coba memahami mengapa David Ignatius bersikap tidak adil kepada Erdogan dan dengan vulgar menunjukkan keterpihakannya kepad Peres. Hal ini tentu tidak bisa dilepaskan dari lembaga dimana David bekerja, Washington Post. Tulisan berikut ini adalah berdasarkan buku The New Jerussalem karangan Michael Collins Piper.
Washington Post merupakan salah satu koran terbesar dan berpengaruh di dunia, khususnya di Amerika Serikat. Di balik kesuksesannya, sejarah Washington Post diwarnai intrik-intrik keji dan licik. Dua orang pembangun Washington Post, suami-istri Philip Graham dan Katharine Meyer Graham, bahkan harus mengakhiri hidupnya dengan tragis. Philip meninggal karena bunuh diri di rumah sakit jiwa. Adapun Katharine meninggal setelah jatuh dari balkon di tengah-tengah acara rapat Dewan Direktur Washington Post.
The Washington Post (TWP) didirikan tahun 1933oleh Eugene Meyer, Yahudi Gubernur Bank Sentral Amerika pertama (Bank sentral Amerika selalu dipimpin oleh Yahudi karena memang milik sekelompok bankir Yahudi internasional). Tahun 1940, Katherine Meyer, putri tunggal Eugene Meyer menikah dengan pengacara Philip Graham. Pada tahun 1948, setelah ditunjuk Presiden Truman sebagai Direktur Bank Dunia (jangan lagi pernah menyangka Bank Dunia, atau IMF adalah organisasi multilateral atau organisasi antar-negara, melainkan sekumpulan bankir-bankir swasta yang berlindung di balik jubah pejabat), Eugene Meyer menyerahkan kepemimpinan TWP kepada menantunya. Tidak hanya itu, Philip Graham juga mendapatkan saham sebesar 70%, istrinya yang juga putri tunggal sang pendiri hanya mendapat 30%. Di bawah kepemimpinan Graham, TWP tumbun pesat menjadi media raksasa Amerika terutama setelah membeli saham Newsweek dan media massa lainnya.
Tahun 1947 dinas inteligen luar negeri Amerika, CIA, didirikan. Graham segera menjalin hubungan dengan dengannya. Graham adalah salah seorang perintis kerjasama rahasia antara media massa dengan CIA. Dapat dikatakan kebesaran TWP disebabkan karena kerjasamanya dengan CIA yang memungkinkan TWP mendapatkan akses berita yang tidak dimiliki media massa lain. Sebaliknya CIA pun mendapat keuntungan sepadan berupa dukungan publikasi atas aksi-aksinya.
Namun seiring kemajuan TWP, Philip Graham yang bukan Yahudi mulai bersikap aneh, terutama setelah kematian mertuanya tahun 1959. Ia memelihara istri simpanan dan mengancam cerai Katharine, menjelek-jelekkan Yahudi di depan umum, dan mengumbar cerita tentang kebohongan-kebohongan CIA. Pada masa yang bersamaan, Presiden Kennedy yang juga teman dekat Philip Graham, tengah “bertengkar” dengan Israel yang hendak membangun program nuklir, dengan Bank Sentral karena bermaksud mencetak uang sendiri sehingga melepaskan diri dari jeratan hutang kepada lembaga swasta berkedok negara itu, juga dengan CIA yang dianggapnya membahayakan negara karena kewenangan yang dimiliki terlalu besar.
Pada tahun 1963 melalui pergulatan fisik antara pengawal Katherina dan Philip, Katherina dengan alasan kesehatan mental Philip yang terganggu, membawa paksa suaminya ke pusat perawatan mental di Rockville, Maryland. Peristiwa ini terjadi setelah Philip membuat konperensi pers membuka rahasia keterlibatan CIA dalam kasus terbongkarnya perselingkuhan Presiden Kennedy. Pada tahun itu juga Philip Graham meninggal dunia secara misterius, juga Presiden Kennedy tewas terbunuh secara tragis dan tidak kalah misteriusnya.
Beberapa penyidik dan jurnalis independen menemukan adanya hubungan yang kuat antara Katherina, CIA dan Mossad dalam konspirasi yang menewaskan Philip Graham maupun Kennedy.
Namun kejahatan menemukan jalannya sendiri untuk membalas dendam. Katharina harus kehilangan nyawa di tangan kawan-kawannya sendiri. Ia terjatuh dari bangunan tinggi saat memimpin rapat pimpinan TWH tanggal 17 Juli 2001 di Sun Valley, Idaho. Sama seperti Bugsy Siegel, gembong mafia berdarah Yahudi inventor kota judi Las Vegas, yang harus mengakhiri hidupnya di tangah sahabatnya sendiri, Meyer Lanski, sang bos dari segala bos mafia berdarah Yahudi yang meninggal di Israel.
Keterangan gambar: Perdana Menteri Recep Erdogan (kanan) beradu lengan dengan David Ignatius moderator dari Washington Post yang berusaha menghentikan Erdogan mengungkap kekejian Israel atas Palestina.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment