Wednesday, 17 November 2010

Amerika, "How smart can you reach?"


Pelan namun pasti, opini publik Amerika atas tindakan-tindakan Israel di Timur Tengah, mulai berubah, dari awalnya mendukung penuh Israel menjadi menentang. Satu mementum perubahan yang signifikan mulai terjadi bulan April 2002 saat Israel melakukan penghancuran dan pembantaian di kota Jenin, Tepi Barat. Demikian hasil analisis beberapa pakar politik Amerika beberapa waktu terakhir.

American Public Opinion dan U.S. Foreign Policy Polling Unit yang bekerja untuk lembaga kajian prestisius Council on Foreign Relations (CFR) Chicago, menyimpulkan perubahan opini publik tersebut dipengaruhi oleh tindakan-tindakan Israel yang di luar batas toleransi, seperti pemboman besar-besaran atas wilayah sipil di selatan Lebanon selama perang tahun 2006, pembantaian atas penduduk sipil gaza dalam penyerbuan ke Gaza akhir tahun 2008/awal tahun 2009, serta penyerbuan atas kapal aktifis kemanusiaan Mavi Marmara yang menewaskan beberapa aktifis termasuk seorang warga negara Amerika Furkan Dogan pada bulan Mei 2010, serta pelanggaran yang terus menerus dilakukan Israel atas rakyat Palestina dan Lebanon.

Beberapa analis opini publik, seperti Zogby International Poll, pada tahun 2009 menemukan kecenderungan rakyat Amerika yang menginginkan pemerintahnya untuk bertindak lebih keras terhadap Israel bahkan jika perlu memutuskan hubungan keduanya.
Meski perubahan tersebut belum banyak berpengaruh terhadap sikap pemerintah maupun parlemen Amerika, beberapa politisi mulai berani secara terbuka mengecam dukungan buta Amerika terhadap Israel yang selama beberapa dasawarsa dilakukan pemerintah Amerika. Seorang politisi partai Demokrat yang baru terpilih sebagai anggota parlemen dari negara bagian Ohio menyatakan akan mengajukan undang-undang yang akan memaksa pasukan Amerika menarik diri dari Afghanistan. Ia bahkan mengejek rekannya, Wapres Joe Biden yang terkenal sangat pro-Israel: "Joe’s a nice fella but a God awful slow learner! Cracks and fissures are shooting around and inside Joe’s great American pro Israel public opinion vase etched in gold with the words: ‘US Support for Israel Must Continue Forever!’"

Jurnalis New York Times, Tom Friedman dalam sebuah pernyataannya baru-baru ini kepada koleganya di Israel mengatakan, "Dukungan Amerika terhadap Israel bisa hancur berantakan, dan hal ini bahkan bisa sangat jauh dari pikiran. Anda mulai kehilangan dukungan rakyat Amerika, yang percaya atau tidak, telah muak dengan kondisi di Timur Tengah keseluruhan. Namun mereka juga muak dengan Israel. Saat mereka melihat usaha keras presiden mereka yang berusaha menciptakan perdamaian di Timur Tengah, Anda sepelekan dengan mengatakan: tidak sebelum Amerika membebaskan Jonathan Pollard (mata-mata Israel yang bekerja di Amerika yang kini tengah menjalani hukuman penjara) dan memaksa Abu Mazen (pemimpin Palestina) menyanyikan lagu kebangsaan Israel dengan benar."

Perubahan opini publik Amerika tampak jelas di Lebanon saat ini, dimana setiap saat berbondong-bondong warga Amerika mengunjungi kamp-kamp pengungsi Palestina di Sabra, Shatila dan tempat-tempat lainnya. Mereka mendapat penjelasan secara detil kekejian Israel atas rakyat Palestina.

Satu persepsi masyarakat Amerika yang berkembang tentang Israel, meski Israel selalu mengklaim hanya melakukan pembelaan diri atau kesalahan yang tidak sengaja saat melakukan pembunuhan terhadap masyarakat sipil, adalah bahwa Israel tidak pernah memiliki rasa hormat terhadap orang-orang non-yahudi. Rakyat Amerika melihat bagaimana seringnya terjadi penghinaan verbal terhadap warga Arab oleh orang-orang yahudi, coretan-coretan graffiti yang menunjukkan penghinaan rasial oleh orang-orang yahudi, penghinaan melalui internet oleh unsur-unsur lobi yahudi di Amerika, dan pernyataan-pernyataan para pejabat dan pemimpin agama yahudi menentang penghentian pembangunan pemukiman ilegal yahudi di wilayah pendudukan di Palestina.

Beberapa hal yang membuka mata publik Amerika tentang Israel di antaranya adalah para pengikut Rabbi Mordechai Eliyahu yang selalu berteriak lantang: "Semua orang Palestina harus dibunuh, termasuk wanita, anak-anak dan binatang peliharaannya." Selanjutnya adalah Rabbi Yizhak Shapiro, yang baru-baru ini menerbitkan bukunya berjudul "The King's Torah" yang diantaranya memberikan dalih hukum atas pembunuhan terhadap anak-anak Palestina.


Publik Amerika muak dengan sikap Israel yang selalu mengabaikan proses perdamaian yang selalu diupayakan Amerika, bahkan mengolok-oloknya. Saat presiden Obama mengutuk pembangunan pemukiman ilegal yahudi dan menyerukan Israel untuk menghentikannya, dalam hitungan hari Israel justru mengumumkan pembangunan ribuan perumahan baru di wilayah pendudukan. Bahkan saat Wapres Joe Biden datang ke Israel untuk mendesak Israel menghentikan pembangunan pemukiman ilegal sebagaimana disyaratkan dalam proses perdamaian Timur Tengah, menteri pembangunan infrastuktur Israel justru mengumumkan rencana pembangunan ribuan pemukiman baru di wilayah pendudukan.

Publik Amerika semakin menyadari bahwa Israel hanya memanfaatkan Amerika untuk keuntungan sendiri. Dalam minggu ini baru saja Presiden Obama mengkritik Israel atas rencana pembangunan 1.300 rumah di Jerussalem. Ia mengingatkan Israel, "Aktifitas seperti itu tidak memberikan manfaat bagi perundingan perdamaian. Saya melihat tidak ada upaya serius dari pihak-pihak yang bertikai untuk melakukan terobosan perundingan perdamaian."

Reaksi Israel sungguh di luar perkiraan. Para politisi Israel hingga tokoh-tokoh yahudi di Amerika langsung menyerang Obama dan menganggapnya tidak memahami keinginan Israel. Anggota parlemen Avi Dichter, kepada Jerusalem Post mengatakan bahwa rakyat Amerika cukup cerdas untuk memahami bahwa Jerussalem tida mungkin bisa dikembalikan ke garis batas tahun 1967, namun mereka tidak cukup cerdas atau bahkan tidak mengetahui bahwa satu hal paling sensitif dalam proses perdamaian adalah Jerusalem. "Saat presiden mereka mendesakkan isu Jerussalem di awal proses negosiasi, maka itu berarti kegagalan.”

Sementara profesor Bar Ilan University, Ehud Gilboa menambahkan bahwa Obama tidak akan meninggalkan Israel di waktu mendatang. Katanya, "Saya rasa Obama memiliki obsesi terhadap Israel. Ia menginginkan perundingan damai Israel-Palestina hanya agar namanya dicatat dalam sejarah sebagai pencipta perdamaian. Kita berharap ia hanya berkuasa satu periode saja dan saya rasa pernyataan kerasnya tidak perlu ditanggapi serius."

Analis politik Rasmussen Polls Delaware percaya salah satu faktor penyebab perubahan opini publik Amerika adalah runtuhnya ekonomi Amerika. Saat ini ada 63 persen rakyat Amerika tidak percaya bisa mempertahankan standar kesejahteraan mereka. Mereka tahu, perusahaan-perusahaan raksasa Amerika memindahkan pabrik-pabriknya ke Asia dan Amerika Latin yang tenaga kerja dan bahan-bahan produksinya lebih murah sementara pasarnya terus berkembang. Sementara hutang pemerintah Amerika mencapai lebih dari 90% produksi domestiknya. Mereka percaya istilah American Dream sudah tidak realistik lagi dan negara mengalami kegagalan sementara pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat dipenuhi oknum korup.

Rakyat Amerika juga telah melihat paradoks ekonomi bagaimana pemerintahnya memberikan bantuan senilai $5 miliar dolar setiap tahunnya dari pajak yang dibayarkan rakyat, 60% dari jumlah itu kemudian diinvestasikan kembali oleh Israel di Amerika dalam bentuk obligasi pemerintah yang bunganya dibayarkan kepada Israel dan dibebankan lagi kepada rakyat Amerika.

Amerika kini menanggung beban dua perang ilegal di Irak dan Afghanistan, dengan biaya mencapai lebih dari $3 triliun. Hutang pemerintah merangkak naik dari 57% GDP pada tahun 2000 menjadi 83% GDP senilai $13.8 trillion saat Obama terpilih menjadi presiden. Dan jumlah itu terus bertambah setiap detik.

Para politisi Amerika pendukung Israel kini dilanda kecemasan bahwa gerakan Tea Party (gerakan akar rumput yang tengah naik daun di Amerika) akan memaksakan undang-undang yang melarang pemberian bantuan ke luar negeri jika tingkat pengangguran melebihi 4% (saat ini angka itu telah jauh terlampaui). Untuk itu mereka berupaya memasukkan bantuan ke Israel dalam kategori "Homeland Security Expenditures“ yang terbebas dari ketentuan itu.

Namun jauh dari opini publik, pemerintah dan legilatif Amerika justru semakin meningkatkan dukungannya pada Israel. Baru-baru ini Congress meloloskan undang-undang yang mengijinkan bantuan persenjataan Amerika untuk Israel yang mencapai $1.2 miliar, angka tertinggi selama ini.

Satu kelompok pro-Israel yang cemas dengan perubahan opini publik Amerika adalah, Anti-Defamation League (ADL). ADL didirikan tahun 1913, tahun yang sama dengan pendirian bank sentral Federal Reserve serta pengesahan undang-undang pajak pendapatan. Federal Reserve mewajibkan pemerintah berhutang pada bank sentral untuk setiap lembar uang yang digunakan untuk membiayai belanjanya dengan dibebani bunga, sedang pajak pendapatan ditetapkan agar memungkinkan pemerintah membayar beban bunga tersebut. Sebuah sistem yang memperbudak seluruh rakyat Amerika. ADL didirikan untuk menghancurkan setiap sikap kritis masyarakat terhadap yahudi dan Israel mengingat Federal Reserve pada dasarnya adalah sebuah konsorsium bankir yahudi internasional.

Baru-baru ini ADL dan pemerintah Kanada (totally zionist occupied goverment/TZOG) menyelenggarakan event Inter-Parliamentary Coalition for Combating Anti-Semitism (ICCA) di Ottawa untuk “to inspire parliamentary action against anti-Semitism around the world.” Tidak diketahui apakah parlemen Indonesia mengirimkan delegasinya di antara 50 delegasi parlemen dari 50 negara. Konperensi itu menghasilkan "Ottawa Protocol on Combating Anti-Semitism", menyusul sebelumnya "London Declaration on Combating Anti-Semitism of 2009", dan lebih dari 50 deklarasi semacam itu yang telah dibuat sejak tahun 1913.

Fokus utama ADL saat ini, menurut Christopher Wolf yang mengetuai "ADL Internet Task Force on “cyber hate”", adalah untuk ”membimbing masyarakat Amerika untuk tetap menjadi sahabat Israel pada masa dimana terorisme Islam menjadi ancaman publik Amerika dan sahabatnya, Israel”.

No comments: