Thursday, 4 November 2010
Sang Terpilih (9)
Keterangan gambar: orang-orang terpilih
Sebenarnya Subagyo pernah terpikir untuk melakukan pembangkangan. Itu saat rasa kemanusiaannya muncul menyadari bahwa kerusakan yang dilakukan organisasi dan antek-anteknya terhadap rakyat Indungsia, juga rakyat negara-negara lainnya, begitu besar. Tapi buru-buru dibuang pikiran itu jauh-jauh. Ia manyadari, sebagai presiden negara besar pun dirinya tidak memiliki daya apapun di hadapan "organisasi".
Subagyo menyadari betul apa yang dialami dua pendahulunya karena membangkang "organisasi". Presiden pertama dikudeta oleh militer binaan "organisasi". Presiden kedua pun dikudeta oleh gerakan "reformasi" setelah mencoba main mata dengan umat Islam dan menyingkirkan kader-kader "organisasi" lainnya. Subagyo juga sadar dengan yang dialami oleh Saddam Hussein dan Zia Ul Haq. Yang pertama, negaranya diserbu besar-besaran oleh pasukan koalisi pimpinan Amerika setelah pembunuh-pembunuh "organisasi" gagal mengeksekusinya karena ia menggunakan pengawal pribadi yang semuanya berdandan dan berwajah mirip dirinya. Yang kedua, helikopternya diledakkan meski telah berusaha menjadikan duta besar Amerika sebagai perisainya.
Dan masih banyak lagi pemimpin-pemimpin dunia selain mereka. Idi Amin misalnya. Setelah dikudeta dan dihukum mati, iapun mengalami pembunuhan kharakter yang luar biasa, di antaranya digambarkan sebagai seorang kanibal. Padahal ia adalah seorang muslim yang ta'at.
Sekali saja ia membangkang, maka segala pangkat dan kedudukannya menjadi tidak berarti. Ingat dengan matinya listrik bandara setelah ia menunda privatisasi pengelolaan bandara internasional di ibukota? Bahkan setelah ia meminta dilakukan tindakan terhadap "sabotase" itu, listrik di bandara justru kembali mati. Sebagai presiden ia bahkan tidak bisa mengontrol birokrasinya sendiri. Apalagi parlemen, kehakiman, dan pers.
Inilah hikmah dari "demokrasi", kekuasaan yang dibagi-bagi antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Tidak akan pernah ada seorang pemimpin suatu negara yang kuat karena demokrasi ini. Dengan kata lain, tidak akan pernah muncul seorang pemimpin yang bisa melawan "organisasi". Padahal hampir sepanjang peradaban manusia, demokrasi baru muncul di penghujungnya, dan dalam waktu singkat menghancurkan semua tatanan sosial yang ada, yaitu pemerintahan yang dipimpin oleh semangat ketuhanan. Bahkan peradaban yang pernah mencoba menjadikan konsep mirip demokrasi, yaitu Romawi, membuang jauh-jauh konsep ini karena hanya menimbulkan kekacauan. Jauh dari demokrasi seperti sekarang, yang dilakukan orang-orang Romawi adalah mengangkat dua orang konsul sebagai pemimpin tertinggi. Satu orang dari golongan bangsawan, satunya lagi dari golongan pedagang. Tentu saja rakyat kebanyakan tidak mendapatkan bagian kekuasaan. Semua keputusan harus disetujui kedua konsul karena jika salah satunya tidak setuju, ia bisa menggunakan hak veto untuk membatalkan. Bahkan ketika para pendiri negara Amerika Serikat hendak memerdekakan negaranya, pikiran pertama mereka adalah mengangkat seorang raja. Mereka bahkan sempat menghubungi Charles II, mantan raja Inggris yang menjadi pelarian di Italia, untuk menjadi raja Amerika.
Sistem konsul di Romawi, penyingkiran Raja Charles II dari singasananya, dan juga konsep "demokrasi" yang kini menjadi sebuah keharusan di negara-negara seluruh dunia, semuanya adalah rekayasa "organisasi" dan para pendahulunya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment