Indonesian Free Press -- 'Seseorang ingin menciptakan ketidakstabilan baru. Kami belum tahu pasti siapa, namun kami tahu bahwa para pengungsi Suriah di kamp-kamp di Turki dan Yordania telah direkrut untuk menjadi militan oposisi, bahkan dilatih oleh tentara Amerika, dimana mereka kembali ke Suriah sebagai 'jihadis'.
Berkaitan dengan pertanyaan “mengapa sekarang di Myanmar?”, ketika ISIS tengah dalam kekalahan akhir di Suriah, pemain utama ingin membuka konflik baru di Asia. Kekejaman terhadap minoritas (Islam) akan menjadi pemicu yang masuk akal. Hal-hal seperti itu biasanya dilakukan oleh inteligen-inteligen besar, atau beberapa pihak yang bekerjasama. Dan Israel adalah pemasok utama senjata kepada regim, dan 'jasa-jasa lainnya' seringkali dipaketkan bersama penjualan senjata Israel," demikian kata James Dean, redaktur senior Veterans Today, kepada Press TV, 8 September lalu.
Wall Street Journal dan media-media barat serta lembaga-lembaga kajian seperti ICG berharap masyarakat percaya bahwa yang terjadi di Myanmar adalah konflik antara kelompok ekstremis dukungan Saudi melawan pasukan pemerintah.
Kenyataannya adalah Saudi Arabia dan para pendukungnya di Amerika dan Eropa hanya bergerak jika hal itu menguntungkan kepentingan geopolitik Amerika-Eropa sebagaimana Saudi Arabia turun tangan di Suriah dan Yaman.
Menurut New Eastern Outlook, Amerika menjadi pihak yang paling diuntungan dalam konflik di Myanmar. Dengan adanya 'krisis kemanusiaan' di negara ini, Amerika dan sekutu-sekutunya memiliki alasan untuk campur tangan mengirim pasukan ke Myanmar, melatih aparat keamanan Myanmar melawan para 'teroris' dan membangun pangkalan di sana. Saat ini terjadi, pengaruh Cina di Myanmar pun akan tenggelam.
"Mempersenjatai para militan Myanmar untuk menciptakan 'pretext' (dasar alasan) bagi intervensi militer langsung Amerika, seperti dalam bentuk latihan bersama aparat keamanan Myanmar dan pangkalan militer Amerika di sebuah negara Asia Tenggara, tampak sebagai tugas yang tepat bagi Saudi Arabia.
Bagi LSM bentukan korporat multinasional International Crisis Group, sekali lagi memperkenalkan sebuah krisis untuk melayani pentingan para sponsornya dengan menyediakan sejumlah 'solusi' yang pada akhirnya hanya memberikan keuntungan bagi kepentingan Washington, London dan Brussels dengan biaya yang harus dipikul oleh seluruh rakyat Myanmar, tidak peduli pada siapa mereka berpihak dalam krisis yang tengah terjadi saat ini," tulis New Eastern Outlook (NEO).
Menurut analisis NEO langkah “pivot to Asia” yang dijalankan Amerika itu secara umum ditujukan untuk mengepung Cina dan memperteguh pengaruh Amerika di kawasan. Ini merupakan bagian dari rencana lama yang bisa ditelusuri hingga akhir Perang Dunia II. Seperti ditulis dalam dokumen Pentagon Papers yang 'bocor' ke publik di awal tahun 1970-an, Amerika terlibat dalam berbagai konflik yang dihadapi Cina, seperti konflik Tibet, Taiwan dan Perang Vietnam.
Memahami permainan Amerika dan sekutu-sekutunya itu akan mencegah kita terjerembab dalam pemahaman keliru tentang berbagai konflik yang terjadi di dunia. Seperti konflik Suriah yang telah membuat banyak publik Indonesia 'kecele'. Menyangka telah mendukung 'mujahidin', ternyata mereka hanya menjadi pemandu sorak bagi zionis dan teroris.
Namun yang terjadi di Myanmar tidak sesederhana itu. Pada akhir tahun 2015, seorang aktifis Myanmar bernama Chaw Sandi Tun, ditangkap dan dipenjara. Kesalahannya? Ia hanya berkomentar bahwa seragam militer baru Myanmar 'cocok' dengan warna baju tradisional yang biasa dipakai Aung San Suu Kyi.(ca)
Bersambung
No comments:
Post a Comment