Thursday, 30 December 2010

Bank, Kejahatan di Semua Tingkatan


Bayangkan Anda seorang nasabah bank yang tengah mengalami masalah keuangan. Anda tidak bisa membayar cicilan hutang dan bunganya yang tinggal beberapa kali cicilan lagi akan lunas. Anda telah membayar sebagian besar hutang Anda, dan hanya karena tidak bisa membayar sebagian kecil sisanya, bank akan menyita rumah Anda, dan Anda tidak sanggup berhadapan dengan para "debt collector" dan juru sita yang dibayar bank.

Apa yang Anda rasakan saat itu? Anda tentu merasa sakit hati karena merasa tidak mendapatkan keadilan.

Ini adalah praktik yang sudah umum terjadi di mana-mana. Akibat krisis keuangan tahun 2007-2009 lalu saja terdapat jutaan warga Amerika yang harus kehilangan rumahnya yang telah dicicil bertahun-tahun. Dan sebaliknya apa yang didapatkan bank? Semua uang yang telah Anda bayarkan untuk cicilan untuk selembar kertas perjanjian yang mereka buat.

Gila, masih ada ya praktik-praktik ketidak adilan yang menyolok mata seperti itu beroperasi?


Namun satu contoh berikut ini bisa memberi harapan bahwa suatu saat sistem ekonomi yang sangat tidak adil ini bisa berakhir.

Adalah Darrell O’Dea, warga Irlandia yang terlibat masalah keuangan dengan Bank of Ireland. Darrell yang akhirnya menyadari adanya praktik "penipuan" dalam skema kredit rumah yang ia terima, memutuskan untuk untuk menghentikan skema tersebut dan membayar lunas semua sisa kewajibannya. Untuk itu ia mengirimkan surat ke Bank of Ireland dengan permintaan kepada bank untuk memberikannya tiga dokumen:

1) Validasi hutang aktual yang ia tanggung.
2) Surat tagihan (invoice).
3) Kopi surat perjanjian.

Namun bukannya memenuhi permintaan Darrell, pihak bank justru mengirim debt collector hingga juru sita ke rumah Darrell. Darrel yang mengerti hukum bahwa pihak ketiga yang turut campur dalam perselisihan perdata dianggap telah melanggar hukum, bersikukuh, dan semua upaya intimidasi itu gagal. Namun tidak dengan surat-surat tagihan yang terus berdatangan dengan jumlah yang semakin membengkak karena biaya yang dikeluarkan bank untuk membayar debt collector dan juru sita serta pengacara. Tidak mau kalah, Darrel melakukan langkah hukum cemerlang, mendaftarkan namanya sebagai "merk dagang", dan membebankan tagihan 10 ribu euro untuk setiap namanya yang ditulis bank pada surat-surat yang dikirim.

Pada akhirnya jumlah tagihan yang dikirim bank ke Darrel mencapai 2 juta euro lebih, sedang tagihan Darrel kepada bank mencapai 700.000 euro. Dan akhirnya bank menghentikan upayanya menyita rumah Darrell.

Yang Darrell ketahui sehingga ia berani melakukan upaya hukum untuk melawan bank adalah bahwa sistem perbankan berdasar bunga pada dasarnya adalah sebuah kejahatan.

Black’s Law Dictionary
(9th Edition) menyebutkannya sebagai, "A knowing misrepresentation of truth or concealment of a material fact to induce another to act to his or her detriment.”

Saat seseorang menandatangani perjanjian kredit, katakanlah senilai $100,000, pada saat itu bank langsung memasukkannya dalam pembukuan sebagai asset yang selanjutnya digunakan sebagai dasar untuk menambahkan kredit. Sistem cadangan minimum bank memungkinkan setiap $1 asset yang dimiliki bank memungkinkan bank memberikan kredit hingga 10 kali lipat. Jadi dengan tambahan kredit yang $100.000 tersebut di atas, bank bisa menambahkan kredit lagi hingga $1 juta, dan seterusnya kredit $1 juta itu bisa menciptakan kredit baru senilai $10 juta, dan seterusnya dan seterusnya sampai tak terhingga. Semuanya cukup dengan ketikan di komputer dan tidak perlu dalam bentuk uang nyata. Inilah mengapa jumlah tagihan-tagihan yang beredar jauh lebih besar daripada nilai riel perekonomian, dengan istilah lain "bubble economy". Dan saat terjadi krisis ekonomi, tiba-tiba semua orang terjerat hutang atau minimal turut menanggung kerugian.

Jadi kalau bank sudah menganggap kredit tersebut sebagai asset yang digunakannya untuk menambah kredit, mengapa bank membebankan bunga atasnya. Lagipula bukankah bank tidak benar-benar mengeluarkan uang dan hanya mencatatnya di pembukuan?

No comments: