Thursday, 30 December 2010

KEADILAN ALI DAN PEMBANGKANGAN TERHADAPNYA


Para nawashib berkhotbah bahwa Ali dikhianati oleh pengikutnya sendiri. Mereka tak lain dan tak bukan adalah orang-orang syiah. Sejarah syiah dipenuhi dengan tindakan pengkhianatan demi pengkhianatan, bahkan dari ibu bernama syiah dengan rahim hitam kelam dan berayah Kufah terlahir jabang bocah bernama khawarij… Benarkah itu ?


Pengantar blogger:

Pada waktu proses suksesi kekhalifahan Islam untuk menggantikan Umar bin Khattab, kandidat terpilih khalifah mengerucut pada dua orang: Ali bin Abu Thalib ---saudara sepupu, anak menantu serta pendukung paling setia Rosulullah--- dan Usman bin Affan, menantu Rosulullah. Abdurrachman bin Auf, seorang sahabat Rosul yang menjadi caretaker pemilihan khalifah berkata kepada Ali bin Abu Thalib: "Maukah Anda nanti setelah diangkat menjadi khalifah bertindak berdasar Al Qur'an, sunnah Rosul dan sunnah para khalifah terdahulu (Abu Bakar dan Umar bin Khattab)?". Ali menjawab tegas, bahwa ia hanya akan bertindak berdasarkan Al Qur'an dan sunnah Rosul dan hanya mengikuti sunnah khalifah terdahulu sepanjang tidak bertentangan dengan Al Qur'an dan sunnah Rosul. Kemudia Abdurrachman mengajukan pertanyaan yang sama kepada Usman bin Affan, yang dijawab dengan tegas pula bahwa ia bersedia mengikuti semua ketentuan Al Qur'an, sunnah Rosul dan sunnah para khalifah terdahulu. Maka Abdurrahman bin Auf menjatuhkan pilihan kepada Usman bin Affan.

Pilihan tersebut kemudian menjadi sesuatu yang paling disesali Abdurrahman bin Auf, karena tidak lama kemudian ia menjadi "musuh besar" Usman bin Affan yang tidak pernah lagi bertegur sapa dengannya hingga ia meninggal. Pilihan tersebut juga menjadi bencana bagi umat Islam, karena kemudian ternyata Usman bin Affan mengingkari sumpahnya saat hendak diangkat menjadi khalifah. Salah satu tindakan pertama Usman adalah memecat para pejabat yang diangkat Abu Bakar dan Umar dan menggantinya dengan pejabat baru yang berasal dari kerabatnya sendiri, bani Ummayah. Hal mana nantinya menjadi sumber fitnah besar di kalangan umat Islam yang berakhir pada kematian Usman bin Affan karena pemberontakan rakyatnya sendiri.

Sebagian besar orang Islam yang terbuai dengan ilusi bahwa umat Islam terdahulu adalah orang-orang yang adil dan ikhlas (Rosulullah bersabda kepada sebagian sahabat bahwa kelak akan muncul orang-orang yang lebih baik daripada mereka, yaitu orang-orang yang tidak pernah bertemu Rosul namun mencintai dan taat pada ajaran-ajarannya) tentu membantah peristiwa kematian Usman akibat pemberontakan rakyatnya. Untuk itu marilah kita berfikir secara logis tanpa mengesampingkan tulisan para sejarahwan. Bagaimana mungkin segerombolan pengacau dari Mesir dan Irak yang berjumlah hanya puluhan atau maksimal ratusan orang bisa mengalahkan seluruh penduduk Madinah yang jumlahnya belasan ribu orang yang terdiri dari orang-orang Anshar dan Muhajirin, dan terlebih lagi seluruh kerabat Usman dari bani Umayah yang berada di belakang Usman. Kemudian para pengacau itu mengepung rumah Usman selama berhari-hari dan selanjutnya membunuhnya di rumahnya sendiri. Semua itu bisa terjadi hanya jika, setidaknya sebagian dari penduduk Madinah, ikut memberontak kepada Usman.

Berikut ini adalah artikel yang sangat menarik yang saya copas dan saya edit dari artikel dalam blog syiahali.wordpress.com tgl 21 November 2010:


------------------------

Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma sholi ala muhammad wa ali muhammad


Para pengikut sekte Nawashib (pendengki terhadap kemuliaan ahlul bait keluarga Rosul) sudah sejak lama membuat tuduhan yang menyebut Syiah telah melakukan pengkhianatan kepada Imam mereka sendiri. Kepada Ali bin Abi Thalib, orang-orang Syiah yang semula mendukung Ali, kemudian balik memusuhi dan mengkhianati dengan membentuk aras baru bernama khawarij. Nawashib menuduh, khawarij lahir dari rahim syiah dan mereka semula adalah orang-orang syiah. Kepada Hasan, syiah kembali berkhianat dengan melakukan penyerangan kepada Imam mereka sendiri, dan puncak pengkhianatan syiah adalah dengan dikirimnya 18.000 surat yang ditulis oleh warga kufah kepada Imam Husain

Tuduhan tersebut adalah sebagai bentuk kedustaan belaka, karena faktanya kalangan sejarahwan ahlu sunnah sendiri tidak pernah menyebutkan bahwa telah terjadi pengkhianatan Syiah kepada Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as. Para sejarahwan ahlu sunnah menuliskan bahwa para pengkhianat itu dilakukan oleh para "badut politik" yang hendak melakukan tawar menawar politik demi meraih peruntungan pribadi.

Sejarahwan ahlu sunnah menyebut para pengkhianat ini dengan sebutan "asyraf al qaba’il". Menariknya kelompok ini terbentuk dari hasil kebijakan Abu Bakar yang diperteguh oleh Umar bin Khatab dan mencapai kesempurnaan di tangan Usman bin Affan. Melalui artikel ini Ibnu Jawi al Jogjakartani mencoba melacak jejak siapakah kelompok "asyraf al qaba’il" ini dan bagaimana motif-motif pengkhianatannya.



DEMOGRAFI MASYARAKAT KUFAH

Untuk mengetahui siapakah masyarakat Kufah dan kecenderungan alirannya maka yang perlu dilihat dalah struktur kemasyarakat (demografi) dari penghuni kota Kufah tersebut. Ibnu Jawi al Jogjakartani sebelumnya telah menulis komposisi masyarakat Kufah dalam tulisan ”Syiah terlibat dalam pembunuhan Imam husain as?”, untuk lebih jelasnya silahkan merujuk ke blog kami syiahnews.wordpress.com. Namun secara sepintas kami akan mengulang sebagian pada artikel ini.

Menurut Baladzuri (Futuh al Buldan) kota Kufah didirikan pada tahun 17 H/638 M, sekitar tiga tahun setelah Umar bin Khatab menjabat khalifah di Madinah. Kota ini didirikan atas perintah Umar kepada Sa’ad bin Abi Waqqas usai pasukan muslimin memperoleh kemenangan dalam Perang al Qadisiyah merebut Persia (15 H/636 M). Lamanya jarak pendirian kota tersebut yang memakan waktu dua tahun, disebabkan pada faktor pemilihan lokasi, yaitu tempat tersebut harus sesuai dengan lingkungan orang Arab serta dapat memenuhi kebutuhan mereka. Sa’ad meminta bantuan Salman al Farisi dan Hudzaifah al Yamani, dan pilihan jatuh di tepi barat Sungai Eufrat dekat kota lama Persia, Hira.

Kota Kufah semula ditujukan sebagai garnisun prajurit Islam, menilik dari instruksi Umar bin Khatab yang menyebutkan agar memilih tempat untuk tentara Islam sebagai "dar hijrah" (tempat beremigrasi, dalam istilah TNI disebut sebagai garninsun) dan markas untuk melancarkan perang (dalam surat Umar disebut "Manzil Jihad"). Baladzuri menambahkan bahwa tempat tersebut di kemudian hari dapat difungsikan sebagai tempat berkumpulnya kesatuan-kesatuan militer (dalam surat umar menyebut "qayrawan", kalau di Indonesia sejenis dengan Resimen Induk Daerah Militer atau RINDAM). Dan kota tersebut sesuai perencanaanya kemudian menjadi qayrawan Kufah (kalau dibahasa indonesiakan menjadi RINDAM KUFAH). Kesatuan-kesatuan yang berkumpul di sini, menurut Baladzuri umumnya berasal dari para veteran Perang Al Qadisiyah atau yang dikenal sebagai "Ahl Al Ayyam Wa al Qadisiyah".

Menurut sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri dalam bukunya "Origin and Early Development of Shi’a Islam" hal 149, orang-orang Arab (termasuk para sahabat) tidak memiliki banyak pengalaman dalam mendirikan kota. Konsepsi kota sebagai unit politik dan sosial yang komplek masih terasa asing bagi mereka. Kota-kota di tempat asal mereka seperti Thaif, Makkah dan Madinah, unit sosio politiknya bukanlah kota, melainkan kabilah atau suku. Sementara itu kesatuan-kesatuan militer Islam tersebut sangat heterogen sehingga diperlukan cara tersendiri dalam penyusunan administratif dan penempatan mereka.

Oleh karenanya kemudian Sa’ad bin abi waqash sebagimana diceritakan oleh Baladzuri dan Yaqut (Mu’jam al Buldan IV/323) menyusun masyarakat Kufah ke dalam kategori kesukuan yang luas, yaitu kelompok Nizari (orang-orang Arab Utara) yang diberikan tempat di wilayah barat dan kelompok Yamani (orang-orang Arab Selatan) tinggal di wilayah Timur. Wilayah tinggal tersebut dibatasi di tengah-tengahnya oleh masjid, baitul mal dan kediaman resmi Gubernur Kufah.

Tetapi penempatan dengan cara membagi wilayah kufah menjadi dua tempat tersebut kemudian terbukti gagal dan menimbulkan persoalan. Menurut Thabari (Tarikh I/2495) permasalahan yang dihadapi masyarakt Kufah yang disusun atas para wajib militer ini adalah adanya kesulitan dalam pendistribusian gaji (diwan) yang merupakan sumber pendapatan utama penduduk Kufah.

Sebagai solusinya, sebagaimana dituliskan oleh Thabari, Umar bin Khatab memerintahkan kepada Saad bin Abi Waqash agar mereorganisir populasi penduduk Kufah dengan cara menyusun masyarakat seperti sebelum Islam datang (pra Islam). Para penduduk Kufah dikelompokkan berdasarkan organisasi kesukuan tradisional Arab di mana klan atau suku-suku dijadikan persekutuan politik dalam bentuk konfederasi longgar. Dalam merealisasikan hal itu maka ’addala, ta’dil dibuat berdasarkan silsilah dan persekutuan. Umar memerintahkan Sa’ad agar meminta bantuan dua ahli masalah keturunan Arab (Nussab).

Akhirnya, masyarakat Kufah dikelompokkan menjadi tujuh kelompok. Para ulama ahlu sunnah seperti Thabari dalam "Tarikh", Umar Rida Kahhalah dalam kitab "Mu’jam Qaba’il al Arab", Ibn Abd Rabbih dalam kitab "al ‘Iqd al Farid", menyebutkan struktur demografi masyarakat Kufah yang terbagi menjadi tujuh klan:

1. Kinana dan Ahabisy, Qays’ Ailan
2. Quda’ah, Ghassan, Bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd
3. Madzhik, Humyar, Hamdan
4. Kelompok Mudhar yang diisi dari Tamim, Rihab, Hawzin
5. Asad Ghatfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib
6. Iyad, ’Akk, ’Abd al Qays, Ahl al Hajar dan Hamra
7. Sub’

Thabari dan Umar Ridha Kahhalah menambahkan, ketujuh kelompok penduduk Kufah tersebut kemudian dinamakan dengan Tujuh Kesatuan Suku (Muqatilah). Mereka menempati tujuh distrik militer di kota Kufah, dan di setiap distrik masing-masing disediakan fasilitas untuk :

1. Tempat pertemuan mobilisasi persiapan perang
2. Tempat untuk distribusi gaji (diwan)
3. Tempat untuk pembagian harta rampasan perang
4. Tempat untuk menggembalakan ternak dan alat transportasi kavaleri yang dinamakan Jabbanah
5. Tempat pekuburan

Menurut Thabari (Tarikh I/2414 dst), untuk melaksanakan tugas-tugas administratif, Umar bin Khatab mengorganisir para petugas yang mengatur diwan (gaji), pembagian rampasan perang dan lain-lain sebagai berikut: ”bahwa untuk mendistribusikan tiap kelompok dipecah kedalam group-group (unit-unit kecil) dengan penanggungjawab group ditunjuk satu orang pengawas dari tiap group. Para pengawas group atau unit kecil tersebut dinamakan dengan ’Urafa (si pemikul tanggung jawab) atau Arif (jamak ’urafa). Dan sejumlah besar para ’Urafa tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Thabari dalam "Tarikh"-nya, kemudian dinamakan dengan ASYRAF AL QABA’IL. Namun kemudian mereka yang mendapat sebutan ini bukan hanya para ’Urafa saja, tetapi juga para pemimpin klan/kabilah, karena sebagian besar pemimpin kabilan adalah ’Urafa.

Menurut Thabari, Umar bin Khatab pada tahun 20 H/641 M menetapkan kriteria pembagian diwan (gaji) penduduk Kufah sebagai berikut:

1. Penerima gaji tertinggi adalah group Muhajirin dan Anshar.
2. Kedua adalah mereka yang ikut dalam operasi melawan kemurtadan dan pemberontakan.
3. Ketiga adalah mereka yang disebut sebagai "Ahl al ayyam wa’l Qadisiyah", yakni mereka yang ikut ke Yarmuk dan Qadisiyah dan kemudian ambil bagian dalam pertempuran.
4. Urutan keempat adalah mereka yang disebut sebagai "rawadif", yakni mereka yang datang ke Kufah setelah Yarmuk dan Qadisiyah.
5. Berikutnya adalah para imigran yang dijenjangkan menurut waktu mereka pertama kali ikut penaklukan-penaklukan Islam.

Perlu ditambahkan dari keterangan yang tidak ditulis Thabari, menurut Ad Duri (Muqaddamah fi Tarikh Shadr al Islam hal 50-58), bahwa Umar bin Khatab membedakan diwan (gaji) antara orang Quraisy dan non-Quraisy, di mana orang-orang Qurasy diberikan tunjangan lebih tinggi. Umar bin Khatab juga menetapkan perbedaan pendapatan di mana orang Arab memperoleh tunjangan lebih banyak daripada non-Arab.

Bahkan ulama ahlu sunnah Ad Dinawari (’Uyun al Akhbar I/230) dan al Baihaqi (al Mahasin wa al masawi 2/150) menyebutkan dalam kitab mereka bahwa Umar bin Khatab berpendapat, jika seorang Arab membutuhkan uang, dan tetangga orang itu seorang non-Arab (dalam bukunya disebut Nibthi), maka orang Arab tersebut boleh menjual orang Nibthi tersebut agar mendapatkan uang.

Sistim "muqatilah" tersebut berlaku selama hampir 20 tahun, hingga mengalami perubahan lagi di masa khalifah Imam Ali bin Abi Thalib.


KUFFAH DIMASA PEMERINTAHAN USMAN BIN AFFAN

Di masa pemerintahan Usman bin Affan, kedudukan asyraf al qabail semakin disempurnakan. Menurut Rasul Ja’farian (History of the Caliphs: From the Death of the Messenger to the Decline of the Umayyad Dynasty) Usman bin Afan meneruskan kebijakan Umar bin Khatab dengan meneruskan dan menyempurnakan sistem tersebut guna melindungi identitas Arab di satu sisi dan Qurasy di sisi lain. Dan kebijakan itupun akhirnya berdampak pula pada rekonstruksi pejabat asyraf al qabail .

Setelah Usman mengangkat Al Walid bin Uqbah sebagai gubernur Kufah, kebijakan yang dirintis Umar bin khatab diteruskan dan disempurnakan. Para asyraf al qabail pun diformat ulang. Ada yang semakin kukuh posisinya, ada pula yang disingkirkan. Mereka yang bukan berasal dari keluarga elit disingkirkan meskipun memiliki ilmu ke-Islaman yang tinggi. Muhammad Jafri (Origin and Early Development of Shi’a Islam) menyebutkan, ”di bawah kekuasaan Al Walid bin Uqbah, pemimpin klan (dan asyraf al qabail) Kufah banyak yang digantikan. Penggantian tidak didasarkan pada prestise ke-Islaman tetapi lebih mempertimbangkan keunggulan suku dan keluarga. Sebagai contoh Al Asy’ats bin Qays al Kindi (dia kelak yang menggalang asyraf al qabail melakukan pengkhianatan terhadap Ali) menggeser Hujr bin Adi al Kindi.” Jafri menyebutkan, ”Hujr b Adi al Kindi memiliki prestis ke-Islaman, tetapi digeser oleh seorang aristokrat yang pernah memimpin kaum murtad.” Jafri juga memberikan contoh yang lain, yaitu Sa’d bin Qays al Hamdani, seorang aristokrat yang tidak memiliki keunggulan Islam, yang menggantikan Yazid bin Qays al Arhabi yang dikenal sebagai seorang tokoh Islam yang shaleh.

Baladzuri (Ansab V/46) menyebutkan dalam daftar panjang para ’Urafah yang tergabung dalam asyraf al qabail yang digantikan, untuk disebutkan sebagian kecil saja adalah sebagai berikut: Musayyab bin Najabah al Fazari, Yazid bin Qays al Arhabi, Adi Bin Hatim al Thai (bersama Hujr bin Adi, sahabat Rosul ini dikenal sebagai Shiah pendukung setia Ali bin Abi Thalib), Sha’sha’ah bin Shuhan al Abdi dll. Dengan demikian komposisi masyarakat Kufah, baik ditinjau dari pemimpin suku maupun pemimpin group/unit terkecil (’Urafah) diisi oleh orang-orang dari kalangan ningrat Arab terutama suku Quraisy dan terlebih lagi bani Umayyah.

Ibn Sa’d (Ath Thabaqat al Kabir, VI/11) menyebutkan bahwa, "seluruh kaum ningrat Arab terwakili dan duduk dalam struktur penting asyraf al qabail”. Ini menjadikan bukti program Umar bin Khatab dalam membentuk "landscap" masyarakat Kufah di mana Quraisy menjadi unsur utama yang harus diprioritaskan di atas suku Arab lain, dan Arab atas non-Arab mendekati kesempurnaan di tangan Usman bin Affan. Al Tanzimat (al Ijtima’yah wa’l Iqtishadiyah fi’l Bashrah) mencatat bahwa di masa Umar dan Utsman, orang-orang non-Arab yang tinggal di Kufah diperlakukan agak berbeda dari orang-orang Arab menyangkut jiziah dan kharaj, dan warga non-arab adalah warga "kelas dua”.

Meskipun masih menggunakan pola tujuh, menurut Jafri (Origin and Early Development of Shi’a Islam hal 172) hakekatnya kota Kufah terbagi menjadi hanya dua kelompok besar, yaitu:

Pertama, kelompok asyraf al qabail yang sebagian besar diisi oleh kalangan ningrat Arab yang masing-masing memiliki sejumlah pengikut yang besar. Al Tanzimat (al Ijtima’yah wa’l Iqtishadiyah fi’l Bashrah) mencatat sejumlah mawali menjadi pendukung asyraf al qabail, di antaranya dari group Hamra atau Daylamiah di bawah yuridikasi Umayyah yang ditugaskan sebagai penjaga keamanan (polisi), para mawali petani yang di bawah yuridikasi Umayyah pula, kelompok mawali saudagar dan mawali buruh diyurisdikasikan sesuai keinginan klan yang ingin dimintai afiliasi perlindungan, mawali budak yang diikat pada yuridikasi keluarga yang sebelumnya memperbudaknya dan mawali ningrat mereka yang diberi sedikit kelonggaran dalam masalah jizah dan kharaj tetapi kedudukan mereka adalah "kelas dua" di hadapan orang Arab.

Kedua adalah kelompok yang dipimpin orang-orang yang kurang memiliki keningratan dalam kesukuan namun memiliki keunggulan dalam prestis ke-Islaman, sejumlah besar "qurra" yang juga rata-rata adalah cendikiawan keagamaan, dan sejumlah group-group dari klan-klan serpihan yang tidak memiliki kekuatan di hadapan klan besar.

Meskipun eksistensi asyraf al qabail Kufah mendapatkan kedudukan yang tinggi, di masa Usman hak-hak mereka masih jauh di bawah klan-klan bani Umayyah, dan kebijakan Usman inilah yang menggelisahkan masyarakat Kufah dan sebagian asyraf al qabail, yakni dengan diberikanya kekuasaan yang terlampau besar kepada klan Umayyah. Ini yang membedakan dengan gaya kepemimpinan Umar bin Khatab yang memberikan dominasinya kepada suku Quraisy lebih luas. Bahkan salah seorang sahabat bernama Abdurahman bin Auf menyatakan kekhalifahan Utsman dianggap sebagai awal dari kerajaan bani Ummayah (Baladzuri dalam "al Futuh al Buldan 2/99). Adapun penulis sejarah Ibnu A’tsam, memberikan sebutan Utsman bin Afan sebagai ”pemimpin Bani Umayyah”.

Pada gilirannya kebijakan yang dirintis oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Usman bin Affan yang memberikan keistimewaan kepada klan Ummayah di atas Qurasy, Arab dan non-Arab, menuai protes keras dari kalangan Muslim dan menyebabkan terjadinya drama pengepungan rumah Utsman bin Affan yang berakhir dengan terbunuhnya Utsman. Para asyraf al qabail Kufah terlibat aktif dalam gerakan oposisi tersebut. Sebagimana disebutkan Jafri (Origin and Early Development of shi’a Islam hal 161) bahwa,’Urafah asyraf al qabail ini mengambil peran memimpin kelompok pemberontak di hari-hari keruh khalifah Utsman bin Affan” tujuannya adalah agar khalifah Utsman bin Affan mengembalikan hak-hak finansial mereka yang tersita oleh klan Umayyah dan mengembalikan kekuasaan kepada mereka sebagaimana di masa Umar bin Khattab.

Dan hak-hak finansial, yang dahulu ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan disempurnakan oleh Utsman bin affan inilah, yang kemudian menjadi nilai tukar bagi pengkhianatan asyraf al Qabail terhadap Ali bin Abi Thalib, Hassan dan Hussain. Namun patut dicatat bahwa kebijakan yang ditetapkan oleh Umar bin Khatab dan diteruskan oleh Usman bin Affan, pondasi rintisan awalnya telah diletakan oleh Abu Bakar yang menetapkan prinsip bahwa pembagian diwan (gaji) ditetapkan berdasarkan keterdahuluan masuk Islam, dengan kata lain, orang yang masuk islam lebih awal akan mendapatkan gaji dan tunjangan lebih besar. Umar kemudian menambahkannya dengan faktor identitas kesukuan dan etnis. Selanjutnya Usman lebih mentahkik lagi dengan mengkerucutkannya pada klan Ummayah yang mendapat prioritas lebih tinggi.

Ketika Ali bin Abi Thalib diikut-sertakan dalam Dewan Syuro bentukan Umar dengan tugas memilih khalifah, Abdurahman bin Auf sebagai eksekutor mengajukan syarat kepada calon khalifah ”bahwa mereka harus bersedia mengikuti kebijakan (sunnah) dua khalifah sebelumya” dan Imam Ali menolak syarat tersebut sementara Usman menerimanya. Di bawah akan disajikan bagaimana imam Ali bin Abi Thalib tatkala terpilih sebagai khalifah melakukan banyak dialog dengan berbagai kelompok, baik itu sahabat yang belakangan disebut "qaidin" maupun kalangan asyraf al qabail tentang reformasi diwan yang merubah seluruh tata aturan yang telah ditetapkan oleh ketiga khalifah sebelumnya, dan inilah yang melatar belakangi pengkhianatan asyraf al qabail terhadap Ali.


ALI MEREFORMASI STRUKTUR MASYARAKAT KUFAH

Pasca meninggalnya Utsman, Ali bin Abi Thalib terpilih sebagai khalifah. Ia memimpin dengan gaya kepemimpinan yang berbeda dengan para pendahulunya. Mulanya para asyraf al qabail mengharapkan hak-hak mereka yang saat di masa Usman dinikmati oleh kelompok Umayyah, akan dikembalikan sebagaimana seperti semula yang ditetapkan Umar. Tetapi Ali bin Abi Thalib memilih mengambil kebijakan sebagimana yang dituntunkan oleh Allah dan Rasulullah SAW.

Sejarahwan ahlu sunnah at Thabari (Tarikh I/3174) dan Khalif Yusuf (Hayat asy Syi’r Fi’l Kufah hal 29) menyebutkan bahwa ketika Ali datang ke Kufah, selama dua puluh tahun struktur kekuatan dalam masing-masing tujuh kelompok masyarakat tersebut telah berubah drastis. Sejumlah klan-klan tertentu dalam berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain. Klan-klan yang kuat melakukan pengutipan terhadap klan-klan lainnya. Kedatangan anggota-anggota suku ke Kufah juga menjadi penyebab perubahan perimbangan kekuatan antar klan dan dalam kelompok. Karena itu Ali untuk sementara tetap memelihara jumlah kelompok untuk tetap dalam bentuk Muqatilah. Kemudian ia melakukan perubahan susunan kelompok masyarakat Kufah.

Terhadap struktur masyarakat kufah Imam Ali mengeluarkan kebijakan menghilangkan sekat dominasi si kuat terhadap si lemah yang telah dibentuk oleh para khalifah pendahulunya. Imam Ali merubah struktur masyarakat Kufah dengan pola perimbangan komposisi yang seimbang. Ath Thabari dan Khalif Yusuf menyebutkan, masyarkat Kufah oleh Imam Ali direformasi susunannya sehingga tersusun sebagai berikut:

1. Hamdan dan Himyar (orang Yaman)
2. Madzhij, Asy’ar dan Thayy (orang Yaman)
3. Kinda, Hadramaut, Qudha’ah dan Mahar (orang Yaman)
4. Azd, Bajilah, Khats’am dan Anshar (orang Yaman)
5. Seluruh cabang Nizari dari Qays, ’Abs Dzubyah dan ’Abd al Qays Bahrain (Nizar).
6. Bakr, Taghlib dan seluruh cabang Rabi’ah (Nizar)
7. Qurasy, Kinana, Sad, Tammim, Dhabbah, Ribaba (Nizar)

Menurut Muhammad Jafri (seorang sarjana sunni yang berkeyakinan bahwa Syiah adalah produk sosioatropologis masyarakat ArabSelatan) menuliskan dalam bukunya "Origin and Early Development of Shi’a Islam" bahwa ada dua catatan krusial mengapa Ali merekonstruksi kembali masyarakat Kufah.

Terdapat beberapa nama klan seperti Asy’ar, Mahar dan Dabbah yang di masa sebelumnya disepelekan, oleh Ali kedudukanya disetarakan dengan klan lainya. Penguasa sebelumnya mengorganisasi suku Yamani dalam tiga group dan Nizari dalam empat group. Oleh Ali diregorganisasi menjadi Yamani menjadi empat group dan Nizari dalam tiga group. Ali tampak memperhitungkan kekuatan populasi dua cabang Arab itu dan mengatur kembali group-group itu menurut jumlah mereka, dengan demikian memberi perimbangan kuantitatif antar klan.
Ibnujawialjogjakartani menambahkan, komposisi yang disusun kembali oleh Ali bin Abi Thalib itu membawa pada keseimbangan pada kuantitas antar klan sehingga superioritas klan dihilangkan oleh Ali. Dengan demikian apa yang disebut Thabari sebagai “berbagai kelompok telah memperoleh kedudukan dan kekuasaan yang tidak semestinya atas klan lain” diselesaikan oleh Ali bin Abi Thalib.

Imam Ali juga melakukan penataan ulang pemimpin klan meskipun mendapat penentangan keras dari pemimpin sebelumnya. Sebagaimana dituliskan oleh Nashr bin Muzahim (Waq’at Shiffin), “Dalam pengaturan kembali kepemimpinan baru di Kufah, Ali mempercayakan kepemimpinan kelompok di Kufah kepada mereka yang memiliki keunggulan Islam. Orang-orang seperti Malik bin Harits al Asytar dipercaya memimpin kelompok Madzhij, Nakha’i dan beberapa sub lain. Hujr bin Adi al Klindi memimpin Kinda. Adi bin Hatim al Ta’i memimpin Thayy. Tetapi upaya penataan Ali tersebut mendapat tantangan keras dari para pemimpin klan dan ‘Urafa (asyraf al qabail)”.


ALI MEREFORMASI SISTEM PEMBAGIAN DIWAN

Kebijakan Imam Ali bin Abi Thalib berikutnya adalah mereformasi kebijakan para khalifah pendahulunya, yaitu dalam masalah diwan. "Political History of Islam 2" menyebutkan, “Ketika Ali bin Abi Thalib berkuasa, ia melakukan perubahan pada kebijakan distribusi gaji. Ali melakukan alokasi yang diterima oleh masyarakat Islam secara proporsional”. Ath Thabari (Tarikh I/3227) mencatat reformasi yang dilakukan Ali bin Abi Thalib menyangkut kebijakan keuangan sebagai berikut:

Dalam distribusi Ali bin Abi Thalib menghapus perbedaan gaji yang dibuat oleh kebijakan sebelumnya yang menetapkan faktor asal-usul, keterdahuluan masuk Islam maupun keterdahuluan memasuki Kufah sebagai pembeda penerimaan gaji. Dengan kata lain Ali memperlakukan mereka secara sama tanpa melihat asal suku, keterdahuluan masuk Islam dan keterdahuluan masuk Kufah. Ali bin Abi Thalib menetapkan persamaan hak antara masyarakat Arab dan non-Arab. Ali bin abi Thalib dengan tegas menyatakan, "Si kulit hitam dan si kulit putih akan mendapat perlakuan yang setara, proporsional dan adil." (Mustadrak al Wasa’il XI/93).

Sebagai catatan atas kebijakan Ali tersebut dapat dibaca pada naskah "Nahjul Balaghah" pada bagian kutbah ke 21, 23, 24, 42.



PROTES SAHABAT DAN ASYRAF AL QABAIL

Rupanya reformasi yang dilakukan Imam Ali dengan prinsip Al Qur’an dan sunnah yang menekankan prinsip keadilan dan pemerataan mendapatkan reaksi dari mereka yang diuntungkan oleh kebijakan-kebijakan khalifah sebelumnya. Sejumlah sahabat tak urung melakukan protes. Kalangan Asyraf al Qaba’il yang mengharapkan pundi-pundi mereka berlebihan sebagaimana di masa Umar bin Khatab, harus gigit jari menghadapi kebijakan Imam Ali tersebut.

Sebagaimana disebutkan Thabari (Tarikh I/3228), Mas’udi (Muruj Dzahab II/404) dan Jafri ( Origin and Early Development of Shi’a Islam) kebijakan Ali telah menggelisahkan asyraf al qaba’il, karena di samping pertimbangan keuntungan finansial yang berkurang, dalam benak para asyraf al qaba’il mereka percaya bahwa non-Arab sebagai orang-orang yang ditaklukan yang tidak dapat diperlakukan sama dengan para penakluk.

Dan berikut ringkasan sebagian kecil dari protes-protes yang dilakukan oleh sahabat dan para asyraf al qabail :

Ketika Ali tengah di atas mimbar, Asy’ats bin Qais (pemimpin klan Kinda) berteriak, “Kalian lihat sendiri kan bahwa non-Arab berkulit putih telah mengalahkan kita!“ Ali pun marah mendengar teriakan itu. (Ath Thaqafi dalam "al Gharat hal 186 dan al Hirawi dalam "Gharib al Hadith" III/484).

Mughirah Dabbi pernah mengatakan, ”Ali memandang penting kaum non-Arab (Mawali), dan berbuat baik kepada mereka. Bandingkan dengan Umar, dia tidak suka terhadap mawali dan menjaga jarak dengan mereka!” (ath Thaqafi dalam "al Gharat" hal 187).

Adapun dari kalangan sahabat yang mengajukan protes adalah Thalhah dan Zubeir yang nantinya mereka memberontak kepada Ali dalam peristiwa Perang Jamal. Mereka mengatakan kepada Ali, "Mengapa Ali memberikan bagian pada mereka tak beda dengan bagian yang diterima oleh orang lain? Padahal menurut mereka, orang lain tersebut tidak pernah mengalami kesulitan dan penderitaan beragama dalam memperjuangkan Islam!" Ali menjawab, ”Bukankah kita semua menyaksikan sendiri bahwa Rosulullah melakukan apa yang dikatakan kitab Allah. Mengenai nilai lebih kalian, kaum Muhajirin serta Anshar, keterdahuluan kalian insya Allah akan mendapat penghargaan dan pahala dari Allah!” Thalhah dan Zubeir tetap melanjutkan protesnya dan bertanya, ”Mengapa Ali menolak mengikuti tradisi Umar bin Khatab?” Ali menjawab, ”Mana yang harus didahulukan: mengikuti sunah, praktik dan tradisi Rosulullah ataukah mengikuti praktik dan tradisi Umar?” (Ibn abil Hadid dalam "Syarah Nahj Balaghah" VII/37.

Disebutkan juga oleh sumber-sumber lain bahwa karena sangat tidak setuju dengan kebijakan Ali, maka sebagian sahabat memaksa Ali untuk memprioritaskan bangsawan Qurasy dan orang Arab. (Mahmudi dalam "Nahj as Sa’adah" I/229). Bahkan kalangan wanita pun mengajukan protes. Mereka mengatakan, ”Aku ini kan orang Arab, sedangkan dia mawali (non-Arab). Kenapa kami diperlakuikan sama?” Ali menjawab, ”Aku telah membaca al Qur’an, merenungkan dan mengkajinya. Di sana tidak aku temukan sedikitpun yang mengindikasikan keunggulan keturunan Ismail atas keturunan yang lain (Baladzuri dalam "Ansab al Asyraf" II/141). Kepada kalangan Muhajirin dan Anshar Ali menjelaskan kebijakan beliau, ”Aku tidak menemukan dalam Al Qur’an yang mengindikasikan untuk membedakan antara orang Arab dan non-Arab. Si kulit hitam dan si kulit putih akan mendapatkan perlakuan yang setara, proposional dan adil (Mahmudi "Nahj as Sa’adah" 1/212-213).

Nashir bin Muzhahim menuliskan pula dalam kitabnya "Waq’at ash Shiffin", di antara para pemprotes tersebut sebagian juga berasal dari kaum hafizh Kufah, (sebagian sejahrawan menyebut al Qurra’, para ahli Qur'an. Catatan dari Ibnu Jawi al Jogjakartani menyebutkan, jika pembaca menelusuri kitab sejarah awal akan menemukan bahwa para syiah Kuffah sebagian adalah Qurra’, seperti Malik al Asytar dan Hujr bin Adi yang juga disebut sebagai pemimpin al Qurra. Untuk menghindari kerancuan antara para Qurra yang syiah dan Qurra yang kelak mejadi khawarij, baiknya kita kutipkan hasil riset sarjana ahlu sunnah bernama Muhammad Jafri yang menjelaskan dalam bukunya secara apik: ” Kata qurra’ sebagaimana digunakan dalam laporan di masa Ali bin Abi Thalib pada umumnya dan pada peristiwa Shiffin pada khususnya harus didekati sedikit hati-hati. Bahwa sebagian Qurra’ adalah para pendukung gigih Ali bin Abi Thalib. Di samping qurra yang menjadi syiah Ali ini, ditemukan sejumlah besar orang yang disebut sebagai qurra’, mereka berasal dari daerah yang jauh dan merata dalam hal masa masuknya mereka ke dalam Islam. Mereka ini yang kemudian melakukan protes terhadap kebijakan egaliter Ali bin Abi Thalib. Dan belakangan atas hasutan para asyraf al qabail mereka memaksa Ali untuk mengikuti arbitrase dan kemudian justru menentang Arbitrase. Belakangan kemudian mereka membentuk khawarij (Origin and Early Development of Shi’a Islam hal 176). Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Rasul Ja’farian dalam bukunya "History of the Caliphs hal 384) yang menambahkan meskipun mereka disebut qurra (al hafizh) dalam mengemukakan argumen al Qur’an, mereka melakukan interpretasi secara gegabah yang menghasilkan difinisi-difinisi yang radikal. Rasul Ja’farian menuliskan bahwa kelompok ini berasal dari suku-suku badui yang jauh. Mereka merasa kecewa melihat dominasi Quraisy (halaman 386). Ahlu Qurra tidak selalu diartikan sebagai penghafal Al Qur’an, sebagaimana keterangan Nourouzzaman. Para sejarahwan mengartikan ahlu Qurra motor gerakan khawarij sebagai "para penetap". Baladzuri meriwayatkan, selain ketidak puasan terhadap kebijakan diwan dan dominasi Quraisy yang ditetapkan Ali, para Qurra ini merasa tidak habis mengerti dengan kebijakan Ali yang tidak mengizinkan harta rampasan perang dibagi-bagikan setelah menundukkan kaum kafir atau pemberontak sebagaimana dalam Perang Jamal (Mereka bahkan menuntut ummul mukminin Aishah untuk ditawan, yang tentu saja ditolak Ali yang sangat menghormati Rosulullah; blogger). Mereka bertanya-tanya, bagaimana ceritanya membunuh para pemberontak dibolehkan, tapi mengambil aset atau harta mereka malah diharamkan (Ansab al Asyraf II/360).

Ketidak sukaan pada kebijakan egaliter Imam Ali tersebut tak urung membuat Harits A’war menyampaikan protes keras kepada Imam Ali dengan berkata: ”Orang-orang melakukan protes dan tidak suka dengan kebijakan Anda!" Ali pun menjawab, ”Biarkan saja mereka!” (Musthathrafat as Sara’ir" hal. 146)

Kondisi di atas menjelaskan bagaimana kondisi sosial masyarakat Kufah yang dihadapi Ali bin Abi Thalib. Mereka menentang kebijakan Imam Ali yang menetapkan sistem egalitarian bersendikan Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW, sementara para asyraf al qabail menghendaki sistem yang ditetapkan tiga khalifah dengan mengurangi dominasi bani Umayyah. Imam Ali menyatakan dalam kotbahnya, ”Kondisi kalian sekarang ini kelihatanya seperti zaman ketika Allah mengutus Rasul-Nya ("Nahj al Balaghah" Khotbah khutbah ke 38)


TIDAK SELURUH MASYARAKAT KUFAH ADALAH SYIAH

Kompleksitas masyarakat Kufah yang dilaporkan oleh para sejarahwan ahlu sunnah sudah membuktikan bawa masyarakat Kufah tidaklah seratus persen Syi’ah. Pandangan yang menyebut bahwa masyarakat Kufah pada masa itu mutlak Syiah adalah pendapat yang tidak didukung oleh fakta. Sarjana ahlu sunnah Muhammad Jafri dalam bukunya "Origin and Early Development of Shi’a Islam" halaman 169 menuliskan, “Tidak seluruh warga Kufah dari suku Yamani (Arab selatan) adalah Syi’ah, dan bukan pula seluruh suku Nizari yang berasal dari Arab Utara yang tinggal di Kufah berpihak kepada madzhab Syiah“. Muhammad Jafri dalam bukunya menegaskan bahwa yang dimaksud Syi'ah bukanlah berdasar difinisi longgar bahwa semua yang berada dalam barisan Ali, Hasan dan Husain dikatagorisasikan sebagai Syi'ah. Karena dalam barisan yang mendukung ketiga tokoh tersebut terdapat kelompok besar kaum pragmatis. Bahwa yang disebut sebagai Syi'ah adalah mereka yang memiliki sikap religius terhadap masalah kepemimpinan yang menurut anggapan mereka harus berada di tangan keturunan Muhammad ("Origin and Early Development of Shi’a Islam" halaman 169)

Fakta yang menarik adalah bahwa para ulama ahlu sunnah sendiri –dan ini berlawanan dengan pandangan kaum nawashib- telah mengkategorikan para pengikut Ahlul Ba’it (khususnya pengikut: Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain) dengan kategorisasi yang memuji kaum Syi'ah, bukan menuduh mereka sebagai pengkhianat. Misalnya saja Ath Thabari dalam kitabnya "Tarikh ar Rasul wa al Muluk" dan Ibn Nadim dalam kitabnya "Kitab al Fihrist" hal 175, mengkategorikan Syi'ah sebagai berikut :

Al Ashfiyah, yakni mereka yang disebutkan sebagai sahabat-sahabat yang tulus. Masuk dalam kategori ini adalah Miqdad, Salman al Farisi, Ammar bin Yasir, Abu Dzar al Ghifari, Hudzaifah al Yamani, Abu Hamzah, Abu Sashan, Syutair dan lain-lain. Selain mendapat sebutan Al Ashfiyah, Ammar, Miqdad, Salman dan Abu Dzar mendapat sebutan lain yaitu “al Arkan al Arba’a" atau Empat Pilar” Syi'ah.

Al Awliya, yakni mereka yang disebut sebagai sahabat-Sahabat yang ta’at. Masuk dalam kelompok ini adalah Malik Asytar, Maitasm, Muhammad Bin Abu Bakar (putra khalifah pertama Abu Bakar dan adik kandung ummul mukminin Aishan. Beliau juga merupakan kakek buyut dari Imam Ja’far ash Shadiq. Beliau menunjukkan loyalitas yang tinggi kepada wasiat Rasulullah untuk mengikuti Imamah ahlu ba’it, kendati Muawiyah telah menuduhnya sebagai orang yang menentang ayahnya dalam masalah kekhalifahan).

Al Syurthat al Khamis, yakni mereka yang disebut sebagai “divisi terbaik”. Masuk dalam kelompok ini adalah para sahabat yang menunjukkan dedikasi dalam berbagai pertempuran melawan al Nakitsin (dalam Perang Jamal), al Qasithin (dalam Perang shifin) dan al Mariqin (dalam Perang Narahwan menghadapi kaum khawarij). Masuk di dalam kelompok ini adalah para laskar Syi'ah yang turut membela Imam Hasan.

Al Ashhab, yakni mereka yang disebut sebagai sahabat-sahabat. Masuk kelompok ini adalah para sahabat yang syahid bersama Imam Husain di Karbala maupun terlibat dalam gerakan Tawwabun.

Dengan demikian jika kita perhatikan dari poin dua (2) hingga (4), jika merujuk pada peran syiah terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain, sejarhawan ahlu sunnah tidak menyatakan mereka sebagai pengkhianat. Mereka adalah loyalis Ahlul Ba’it yang mendapatkan gelar-gelar yang mulia. Bukan gelar-gelar sebagaimana dilekatkan oleh para nawashib yang tidak memiliki basis faktual.


PETA ALIRAN IDIOLOGIS MASYARAKAT KUFAH

Di atas sudah dipaparkan bahwa Kufah bukanlah masyarakat monolitis dengan satu pandangan Syi’ah an sich. Tetapi masyarakat Kufah tersusun atas suku-suku yang beragam dan masih ditambah keragaman aliran idiologi mereka (saya menggunakan istilah idiologi hanya untuk mempermudah saja, idiologi yang saya maksud adalah kecendrungan-kecendrungan, meskipun saya sadari penggunaan istilah idologi tidaklah tepat –ibnujawi aljogjakartani). Bahkan dalam masing-masing suku, anggota-anggotanya memiliki kecendrungan yang beragam pula. Sebagai ilustrasi sederhanya kita gambarkan saja kota Yogyakarta. Masyarakat yang tinggal di Yogyakarta berasal dari seluruh suku yang ada di Indonesia. Mereka bahkan membuat perkumpula-perkumpulan. Dalam masing-masing kelompok suku tersebut, masih terpolarisasi lagi dalam kecendrungan aliran idiologis keagamaanya. Misalkan saja yang dari suku Jawa, ada yang beraliran tradisional NU, modern Muhammadiyah, Tarbiyah, Syabab Hizbut Tahrir, Wahabbi… dan lain sebagainya. Begitulah masyarakat Jogya, dan begitu pula masyarakat Kufah pada waktu itu.

Para sejarahwan Islam telah berupaya keras memetakan aliran-aliran kecendrungan masyarakat Kufah ini yang dibagi dalam aras persekutuan klan mereka. Tapi ternyata itu bukan suatu pekerjaan yang mudah, karena aliran menyangkut individu-individu. Namun demikian usaha sejarahwan layak dipuji, karena melalui laporan mereka kita dapat mengetahui bahwa Kufah adalah masyarakat yang komplek, dan keberpihakan mereka pada Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain, tidaklah mutlak didasari atas idiologi yang dianut mereka. Ada sebagian kecil masyarakat Kufah yang loyal kepada para ahlul bait dan mereka adalah Syiah, tetapi ada sebagian besar dari mereka adalah golongan pragmatis yang plin-plan dan hanyut mengikuti arus kepentingan pragmatis mereka. Dan berikut adalah peta aliran kecendrungan masyarakat Kufah yang kami rangkumkan dari sumber sejarahwan Islam. Para sejarahwan Islam menjelaskan populasi masyarakat Kufah kedalam tujuh muqatilah yang dilukiskan sebagai asba’ dalam unit sebagai berikut :

Ath Thabari (Tarikh I/2495) menjelaskan, Kinana dikumpulkan dengan sekutu mereka Ahabisy sehingga membentuk klan Jadilah. Kinana adalah suku Makkah, dan Quraisy adalah salah satu cabangnya. Sedangkan Jadilah, cabang suku Qays ’Ailan, ia berasal dari Hijaz dan punya sedikit hubungan dengan Kinana. Menurut Thabari kedua suku tersebut adalah kelompok prestis (ahl al ’aliyah). Di masa lalu Kinana dan Qurasy bersama dengan group-group seperti Jadilah, Qays 'Ailan pernah membentuk group persekutuan yang dikenal dengan Khindif. Menurut Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qabail al ’Arab, 173) dan Ibn Abd Rabbih (al Iqd al Farid IIII/350), sejak Kufah didirikan kelompok ini memiliki hubungan istimewa dengan penguasa terutama dari gubernur-gubernur Qurasy. Di masa Imam Ali melaksanakan kebijakan reformasi diwan, kelompok ini banyak melakukan protes.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 957 dst; 844 dst, 63 dst, 131, dst 998, dst 282 dst 15 dst) dan Ibn Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/393) menyebutkan kelompok kedua penyusun masyarakat Kufah, yakni Qud’ah, Ghassan, Bajilah, Kats’am, Kinda, Hadzramaut dan Azd, digabung menjadi satu membentuk kesatuan Yamani yang kuat. Dua dari group ini dipimpin orang yang berpengaruh besar di Kufah, yakni Jarir bin Abdullah dari Bajilah, ia adalah sahabat dekat Umar bin Khatab. Kelak di masa Ali bin Abi Thalib menjabat khalifah, ia melakukan persekongkolan dengan Muawiyyah, dan dengan pengaruhnya memprovokasi kabilah-kabilah Kufah untuk keluar dari barisan Ali. Kemudian tokoh lainnya yang berpengaruh dari group ini adalah Asy’ats bin Qays dari Kinda, seorang yang memiliki pengaruh besar dan penganut idologi pragmatis yang kelak dengan pengaruhnya berusaha menggembosi kepemimpinan Ali, bahkan mengancam membunuh Ali bin Abi Thalib jika Ali tidak memerintahkan pasukan Syi'ahnya yang masih bertempur melawan tentara Muawiyah untuk segera menghentikan peperangan. Keluarganya memiliki reputasi buruk. Selain berperan memberi tumpangan Ibnu Muljam laknatullah si pembunuh Ali, anak perempuanya Ja’dah binti Asy’ats adalah orang yang berkonspirasi dengan Muawiyyah untuk meracun Hasan bin Ali. Itu pun masih belum cukup. Anak laki-lakinya yang bernama Muhammad Ibn al Asy’ats berperan dalam pembunuhan pengikut setia ahlul bait, Muslim bin Aqil, selain turut berperan dalam tragedi Karbala.

Sebagaimana disebutkan di atas tentang keragaman dalam masing-masing suku, di Kinda terdapat pula pribadi-pribadi yang loyal terhadap ahlul ba’it (Syi’ah) dan kelak sepeninggal Ali mereka dikhianati suku mereka sendiri untuk diserahkan kepada Muawiyah untuk dibunuh dan mereka pun mendapatkan hadiah. Sedangkan suku Bajila dalam satu group memiliki prespektif yang berbeda. Ad Dinawari menyebutkan, sekitar empat ratus orang yang berasal dari suku Bajila dengan dipimpin Rabi’ah bin Khutsaim, menyatakan tidak mendukung peperangan Imam Ali, dan mereka mundur di garis perbatasan Rai dan sebagian lainnya ke Dailam (Akhbar ath Thiwal hal 165).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab) dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/393) menyebutkan, Madzhij, Himyar, Hamdan dan sekutu-sekutu mereka terdapat banyak cabang-cabang suku penting, seperti Nakhkha dan Thay. Ini adalah kelompok Yamani kuat, di mana dari Hamdan melahirkan beberapa pendukung gigih Syi’ah, meskipun tak dapat diabaikan terdapat banyak anggota kelompok ini yang pandanganya berubah-ubah. Ad Dinawari menyebutkan, sebagian kelompok Syi'ah yang berasal dari kabilah Hamdan memberi perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Ali saat diserang kelompok Khawarij (al Akhbar at Tiwal/156). Namun demikian sebagian lainnya yang bukan Syiah di saat Kufah berhasil dikuasai Muawiyah, mereka justru meringkus pengikut Hasan bin Ali dan diserahkan kepada tentara Ziyad (Thabari dalam "Tarikh" II/117)

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 126 dst, 315, 1231) dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/343,345 dan 353) menyebutkan, Tamim, Rihab dan Hawzin digabung dalam group Mudhar. Kahhalah menyebutkan bahwa dalam group ini terdapat keragaaman aliran. Ath Thabari (Tarikh II136) menyebutkan ”anggota suku-suku dari Tamim, Hawazin dan Rihab, yang diketahui sebagai Syiah ditangkap oleh sukunya sendiri dan diserahkan kepada tentara Ziyad.” Sebagian dari bani Tamim diketahui menunjukan ketidak sukaan terhadap Ali. Baladzuri menyebutkan, bahwa tokoh asyraf al qabail bernama Ahnaf bin Qais dari bani Tamim menggunakan pengaruhnya untuk menyatakan netral dan tidak terlibat dalam Perang Jamal dan menyatakan menarik diri dari perang (Asyraf al Qabail, II/327).

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 21 dst) dan Abd Rabbih (al Iqd al Farid III/340 dst) menyebutkan Asad, Ghatfan, Muharib, Nimr, Dubay’ah dan Taghlib, kebanyakan kelompok group Nizar dari Rabi’ah dan Bakr disatukan dalam satu group. Ad Dinawari menyebutkan sebagian kelompok Syiah yang berasal dari kabilah Rabi’ah memberi perlawanan hebat untuk menolong Hasan bin Ali saat di serang kelompok Khawarij (al Akhbar at Tiwal/163). Ia melanjutkan populasi Rabi’ah di Kufah sedikit demi sedikit menyusut karena banyak yang gugur dalam peperangan, atau dibunuh oleh konpsirasi kejahatan politik.

’Umar Rida Kahhalah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 52 dst) menyebutkan, Iyad, ’Akk, 'Abd al Qys, Ahl al Hajar dan Hamra, disatukan dalam satu group. Iyad dan 'Akk (menurut Kahhalah, asal usul 'Akk tidak diketahui, sebagian menyebut termasuk Qahtani, yang lain menyebut Adnani dari al Daits bin 'Adnan). Mereka berasal muasal dari Nizari ’Adnani, mereka telah lama tinggal di kawasan Iraq. Dari group ini yang memiliki dukungan kuat sebagai Syiah Ali adalah berasal dari suku Abd al Qays kendati tidak bisa dikatakan bahwa group ini adalah Syiah. Dalam tiap klan selalu ditemukan ada individu-individu Syi'ah dan yang anti Syi'ah.

’Umar Rida Kahlah (Mu’jam Qaba’il al A’rab hal 691) menyebut kelompok dari group ketujuh Sub, adalah suku Thayy, sebuah kabilah kuat yang berasal dari Yaman. Menurut Kahhalah, menyebut peristiwa di tahun 11 H/630 M, di saat suku-suku sekitarnya murtad, Thayy tetap menunjukkan komitmennya memeluk Islam, hingga mereka bergabung dengan Mutsanna bin al Haritsah dalam penaklukan al Hirah lalu mengambil bagian dalam Perang Qadisiyah. Pemipin suku ini adalah Adi bin Hatim, Ibnu Abil al Hadidi (syarh Nahjul Balghah XVI/38). Abul Faraj al Ishfahani (Maqatil ath Thalibiyin hal 61) menyebutkan suku Thayy menjadi pendukung utama Imam Ali bin Abi Thalib dalam Perang Jamal dan Perang Shiffin, dan setelah Ali wafat, mereka menjadi penyeru di tengah-tengah masyarakat Kufah, untuk menyokong Hasan bin Ali. Kahlah menyebutkan dalam "Mu’jam Qaba’il al A’rab" hal 691 bahwa populasi Thayy di Kufah berangsur-angsur melorot sebagai akibat peperangan, dan yang tersisa dari mereka bergabung ke benteng-benteng di antara Bashrah dan Kufah. Ath Thabari (Tarikh II/304) menyebutkan, dengan kekuatan yang tersisa, klan Thayy bermaksud membawa Imam Husain ke pegunungan Thayy yang aman dan tersembunyi. Saat Husain hendak ke Basrah sebelum peristiwa Tragedi Karbala, Thirimmah bin ’Adi at Ta’iyy mencegat Imam Husain dan membujuk beliau agar sudi ikut mereka, tetapi Imam Husain menolak.

Kenyataan populasi Syiah di Kufah dengan melihat laporan di atas bukanlah komunitas mayoritas pada saat itu. Bahkan dalam satu group yang diisi dari suku-suku tertentu, Syi’ah bukanlah kelompok yang dominan. Sehingga ketika Kufah berhasil dikuasai oleh pasukan Muawiyyah, tindakan penangkapan orang-orang Syi'ah pun dilakukan dengan relatif mudah sebagimana disebutkan Ath Thabari dalam kitabya (Tarikh I/1920), ”segera sesudah menguasai Kufah, Muawiyyah memindahkan beberapa suku yang setia kepada ahlul bait dari kota itu, dan menggantikannya dengan orang-orang dari Syria, Bashrah dan al Jazirah yang loyal kepadanya.”


PERBEDAAN SIKAP MASYARAKAT KUFAH TERHADAP AHLUL BAIT

Para sejarahwan ahlu sunnah melaporkan dengan detail perbedaan sikap masyarakat Kufah terhadap Ahlul Ba’it. Meskipun mereka sama-sama berdiri di belakang Ahlul Ba’it, tetapi motif keberpihakan mereka sangat berbeda. Secara garis besar masyarakat Kufah terbagi dalam tiga kelompok besar:

Kelompok pertama adalah pengikut setia Ahlul Ba’it yang memiliki komitmen terhadap kepemimpinan Ahlul Bait nabi. Mereka memiliki keyakinan bahwa ide nilai-nilai keadilan dan keagamaan akan terwujud hanya melalui kepemimpinan yang ditunjuk Allah melalui Muhammad. Bagi kelompok ini pertimbangan kegamaan dan spiritual merupakan satu-satunya tenaga dorong untuk menunjukkan loyalitas mereka.

Kelompok kedua adalah kelompok besar masyarakat Kufah. Terdiri dari para Pemimpin klan dan kabilah serta para ’urafa pengawas unit yang lazim disebut sebagai asyraf al qabail. Bersama mereka terdapat orang-orang yang kepentinganya tergantung pada orang-orang mulia dan terhormat ini (asyraf al qabail). Mereka berkepentingan dalam menjaga dan memelihara kedudukan politis dan memonopoli ekonomi yang sangat terancam bila Ali berhasil menegakkan pemerintahan egaliter di Kufah. Tetapi pada saat yang bersamaan mereka ragu untuk memihak secara terbuka kepada Muawiyah yang akan menghilangkan posisi tawar menawar mereka. Karena alasan inilah maka pada lahirnya tetap dalam jajaran dan barisan laskar Ali demi menekan Muawiyah agar mau memberi konsesi istimewa pada mereka.

Kelompok ketiga adalah kelompok pragmatis yang berasal dari masyarakat Kufah, kebanyakan Yamani dan mawali non-Arab. Mereka berdiri di belakang Ali dengan harapan berakhirnya dominasi Quraisy dan terlebih khusus superioritas klan Umayyah. Sebagian merupakan hafizh (qura), Tetapi Baladzuri menjelaskan, “Mereka ini tidak mengerti kalau imamah dan politik merupakan dua hal yang berada di luar topik atau masalah suku. Kecenderungan mereka terlihat dalam cara berfikir mereka yang menafsirkan secara menyimpang (Ansab al Asyraf II/363). Muhammad Jafri menambahkan, secara emosional, kapan saja mereka melihat ada harapan berhasil dari seorang ahlul al bayt, mereka segera mengerumininya. Praktis, mereka kemudian membuangnya begitu mereka melihat harapan yang akan diperolehnya sangat tipis (Origin and Early Development of Shi’a Islam hal 181).

Untuk melihat sejauh mana perbedaan motif dari orang-orang Kufah yang berdiri di belakang para Imam Syi'ah yang diinformasikan secara melimpah oleh para ulama dan sejarahwan ahlu sunnah, para penulis sejarah awal, terutama yang memberi perhatian khusus pada peritiwa Shififn seperti Nasr bin Muzahim al Minqari dengan kitabnya "Waq’at ash Shiffin", "Baladzuri Ansyab al Asyraf" dan "Futuh al Buldan", menceritakan bagaimana perbedan tegas antara para Syiah dan kelompok di luar Syiah yang berdiri di belakang Ali. Berikut ini adalah sebagian kecil kutipanya:

Diceritakan oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al asyraf) dan "Futuh al Buldan" II /362, 460-470, menghadapi gangguan yang dilancarkan oleh Muawiyyahsecara terus menerus, Ali bin Abi Thalib memanggil sahabat dan tokoh-tokoh penting Kufah untuk dimintai pendapatnya. Pendapat mereka sangat beragam mencerminkan tingkat kesetiaan mereka pada Ali yang berbeda-beda pula.

Ammar bin Yassar, sahabat utama Rosul dan seorang pilar Syi'ah mengatakan, “Akan lebih baik jika bergerak sehari lebih cepat.” Kemudian Ammar bersyair, “Bergeraklah untuk memerangi kelompok-kelompok yang merupakan musuh-musuh Nabi, karena sebaik-baik orang adalah Syi'ah Ali.“

Qais bin Sa’ad berkata, “Berjihad melawan orang Damaskus lebih wajib ketimbang berjihad melawan Turki dan Romawi!“ Nasr bin Muzahim menambahkan bahwa Qais bin Sa’ad selalu menekankan dengan berbicara atas nama Anshar untuk mendorong orang-orang Kufah menghadapi Muawiyyah. Qais dengan penuh semangat berusaha mendorong dukungan kepada Ali dengan menekankan bahwa para sahabat Rasulullah ada bersama mereka, dan 70 orang veteran Perang Badr bersama mereka, sementara pemimpin mereka adalah saudara sepupu Nabi, washi Rasulullah dan pahlawan Perang Badr.

Sahl bin Hunaif menyatakan kepada Ali, bahwa, “orang-orang Anshar menyatakan siap dan taat mengikuti perintah-perintah Ali.”

Sementara itu perhatikan jawaban-jawaban para asyraf al qabail dan tokoh Qur'a sebagaimana dituliskan oleh Nashr bin Muzahim al Minqari (Waq’at ash Shiffin 110-119), Baladzuri (Ansyab al Asyraf dan Futuh al Buldan) di bawah ini :

Ketika Sahl bin Hunaif menyatakan bahwa Anshar siap dan taat kepada Ali bin Abi Thalib, sebagian orang-orang Kufah yang hadir gaduh dan ada yang menyatakan berkeberatan. Di antaranya adalah Hanzalah bin Rabi’ah yang mengatakan, “Anda mau mengirim kami untuk membunuh orang-orang Damaskus, sementara kemarin Anda sudah membawa kami untuk membunuh orang-orang Basrah (Perang Jamal)”. Mendengar itu Malik Asytar menukas dan berkata kepada Ali bin Abi Thalib, “Anda tidak usah cemas, merasa tidak enak dan jangan diambil hati ucapan pengkhianat ini. Kami muslim adalah Syi'ahmu yang akan membela engkau!” Kemudian diketahui bahwa Hanzalah atas tekanan sukunya pada malam harinya pergi bergabung dengan Muawiyah, namun tidak ikut ambil bagian dalam perang.

Adapun Itris bin Arqub Syaibani (Baladzuri menyebutkannya sebagai salah satu tokoh pendiri gerakan khawarij penentang Ali) seorang sahabat dari Abdullah bin Mas’ud yang merupakan salah seorang ansab al asyraf, mewakili kaum qur'a dan sukunya menyatakan kepada Ali bin Abi Thalib, “Kami bersama dan ikut Anda, tetapi perlu Anda ketahui, bahwa kesertaan kami kepada Anda tidak menyebabkan kami terikat kepada Anda”

Rabi’ah bin Khutsaim, seorang asyraf al qabail, menyatakan bahwa “membawa masyarakat Kufah dalam peperangan menghadapi Muawiyyah adalah ketidak mungkinan.“ Lalu ia menyatakan bahwa ia dan kabilahnya yang sependapat dengan dirinya akan mundur ke Rai. Nasr bin Muzahim al Minqari menyebutkan bahwa ia diikuti empat ratus anggota sukunya. Sementara itu kabilah Bajila mundur ke daerah Dailami.

Ath Thabari (Tarikh I/3256) dan Muhammad Jafri (Origin and .....) meringkaskannya, bahwa sikap sebagian besar asyraf al qabail tidak begitu antusias memerangi Muawiyah. Mereka berangkat ke Shifin dalam semangat netral, dan dengan serta merta menerima tawaran perdamaian Muawiyyah saat pasukannya nyaris kalah. Mereka bahkan mengancam akan membunuh Ali sebagaimana orang-orang membunuh khalifah Usman bin Affan, saat beliau bersikeras memerintahkan pasukannya untuk terus bertempur. Terbukti kemudian bahwa tawaran perdamaian itu hanya tipu muslihat belaka.

Sikap pragmatis orang-orang Kufah (yang bukan pengikut syi’ah) yang menjadikan motif keuntungan sebagai aliran ini juga tampak jelas. Baladzuri menceritakan, ”Sebagian pasukan Kufah gampang berubah pikiran dan bergabung dengan Muawiyah, ketika Muawiyah menjanjikansejumlah uang kepada mereka” (al Futuh buldan III/121). Sementara itu banyak sejarahwan Ahlu sunnah yang menuliskan tentang sikap-sikap para Syi’ah yang menolak sogokan Muawiyyah, dan inilah yang membedakan secara tegas antar Syi’ah dan para pragmatis.

Kepada Ziyad bin Hafsah, Muawiyah berkata, "Aku ingin Anda sekeluarga bergabung dengan kami. Aku Berjanji kelak nanti kalau kemenangan sudah kami raih maka akan kami berikan kepada Anda kota yang Anda inginkan." Ziyad bin Hafsah menjawab: ”Aku memegang teguh prinsip atau kebenaran dari Allah, dan aku tak mungkin mendukung orang yang tidak menghormati hukum Allah dan tidak bermoral seperti Anda (Nasr bin Muzahim al Minqari dalam "Waqa’at ash Siffin 199). Nasr juga menceritakan bahwa Qays bin Sa’ad pun tak luput dari upaya sogokaan oleh Muawiyah, tetapi ia tampik dengan keras dengan mengatakan, “Engkau ingin memperdaya aku dengan uangmu dalam agamaku? Pergilah kalian!”

Lalu bandingkan dengan sikap asyraf al qabail yang diceritakan oleh Ibn A’tsam dalam "al Futuh IV", tentang para asyraf al qabail yang membelot ke kubu Muawiyah karena sogokan. Ibn A’tsam mengungkapkan secara detail bagaimana pengaruh sogokan Muawiyah di masa Imam Hasan.

Satu hal yang membuat saya (Ibnu Jawi al Jogjakartani) heran, bagaimana orang dengan moralitas yang menghalalkan sogokan untuk meraih tujuan disebut sebagai orang yang patut diteladani. Sementara mereka yang kukuh dan teguh membela kebenaran justru disebut sebagai rafidhah sesat. Bila demikian mengapa ahlu sunnah tidak menghalalkan saja sogokan? Bukankah dalam versi kalian sunnah sahabat adalah sumber rujukan, dan bukankah Muawiyah menghalalkan sogokan?

Dari sedikit kutipan dari para sejarahwan di atas, jelas membuktikan bagaimana struktur sosial masyarakat Kufah. Kesertaan mereka terhadap Imam Ali bin Abi Thalib tidak serta merta menyebabkan orang Kufah menjadi Syiah. Para sejarahwan telah menunjukan bagaimana warna Kufah memiliki kecendrungan masing-masing yang kelak mengkristal mejadi Syi'ah, khawarij dan pendukung Muawiyyah yang mewujud menjadi ahlu sunnah wal jama’ah dan mengkristal sebagai kaum salafi-wahabi.


KESIMPULAN AKHIR

Dengan memperhatikan uraian panjang di atas, Ibnu Jawi al Jogjakartani dapat mengambil kesimpulkan bahwa: struktur sosial yang membentuk masyarakat Kufah tidaklah homogen, tetapi memiliki heterogenitas kesukuan. Bahwa kebijakan diwan para penguasa sebelum Imam Ali atas Kuffah, kelak menaburkan benih pengkhianatan mereka terhadap Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain. Masyarakat Kufah tidak seluruhnya Syi’ah, dan kesertaan mereka di pihak Imam Ali AS, Imam Hasan AS dan Imam Husain AS tidak dapat secara sembrono disebut sebagai Syi’ah, karena sejarahwan telah berhasil mengklasifikasikan Syiah di satu sisi dan di sisi lain menunjukkan kelompok-kelompok pragmatis. Kelompok pragmatis di tubuh masyarakat Kufah tersebut adalah kelompok asyraf al qabail (yang terdiri dari para pemimpin klan dan ’Urafa (pengawas dan pemimpin unit terkecil) yang berpihak kepada Ali hanya untuk mengukuhkan posisi mereka dan menghapuskan dominasi bani Umayyah.
Kelompok para qurra (al hafizh) yang berpihak kepada Ali dengan kepentingan sama seperti kelompok asyraf al qabail, dengan perbedaan hanya pada tuntutan mereka pada kesetaraan atas dominasi kaum Qurasy maupun bani Ummayah. Dengan demikian peta sosial kondisi masyarakat Kufah sudah dapat dijelaskan, dan dengannya diketahui betapa heterogennya struktur masyarakat Kufah dan kompleksnya kepentingan mereka terhadap eksistensi Imam Ali, Imam Hasan dan Imam Husain.

Wallhu alam bhi showab

2 comments:

elfan said...

Ada tiga masalah besar dlm lingkup dunia Muslim yakni: 1. perebutan pewaris tahta 'keturunan' nabi, rasul atau ahli bait; 2. perebutan untuk menjadi 'Imam Mahdi', dan 3. perebutan Masjidil Haram. Dua kelompok besar yang bertarung ini adalah kelompok Sunni dengan kelompok Syiahnya.

Ahlul Bait:

Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang Kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih. Apabila dibacakan ayat-ayat Allah Yang Maha Pemurah kepada mereka, maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis (QS. 19:58).

Dlm Al Quran hanya disebut nama nabinya bukan 'nabi' seperti keturunan Ibrahim, keturunan Ishak, keturunan Nuh, jadi bukan disebut 'keturunan nabi' (Ibrahim). Hebatnya, dlm Al Quran tidak disebut sama sekali istilah keturunan Muhammad yang ada hanya Surat Muhammad.

Mukjizat terbesar pada Nabi Muhammad SAW dan pada Umat Islam adalah 'tidak' dianugerahinya anak laki-laki sampai dewasa pada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, tidak ada pewaris 'keturunan' ahlulbait atau nabai atau rasul, jadi tak perlu diperebutkan 'dinasti' ahlul bait.

Imam Mahdi:

Selanjutnya, menyangkut issu kedatangan Imam Mahdi itu sebenarnya wujud harapan pengikut Nabi Ibrahim As. setelah beliau berdoa sbb.: “Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS. 2:129).

Oleh katurunan beliau ini selanjutnya, ditunggu-tunggulah kedatangannya sampai datang nabi terakhir dari dinasti Bani Israel yakni Nabi Isa As bin Maryam. Namun sayang, dalam Injil masih disebut issu Imam Mahdi, Mesiah, Satrio Piningit dsb. berarti masih akan datang lagi Imam Mahdi yang pamungkas, yang sesungguhnya.

Maka akhirnya, lahirlah Nabi kita Muhammad SAW sebagai Rasul Allah dan sekaligus penutup para nabi (QS. 33:40) dengan membawa Al Quran yang didalamnya memuat pernyataan atau ikrar Allah SWT bahwa Nabi Muhammad SAW dianugerahi agama ISLAM (QS. 5:3). Nama Islam tidak pernah termuat dalam kitab-kitab suci sebelum Al Quran.

Dengan kedatangan Nabi Muhammad SAW sekaligus juga terjawablah issu tentang akan datang lagi Nabi Isa bin Maryam dan issu Imam Mahdi. Nabi Isa As. tidak akan datang lagi karena sudah tegas dinyatakan dalam Al Qiran (S. 2:134 dan 141). Begitu juga Imam Mahdi tidak akan lahir lagi karena penutup para nabi hanyalah Nabi kita Muhammad SAW.

Tinggal bagaimana para khalifah-khalifah (ya raja, presiden, gubernur, pangeran, sultan, bupati atau walikota) kini dan yang akan datang ‘mampu’ membumikan Islam dan Al Quran dalam kehidupan nyata di dunia ini, ya masalah sosial budaya terutama masalah kekuasaan dan pemerintahannya

abu bakar said...

tidak mudah menjadi pecinta Ali.
bani ummayyah begitu membencinya.. terbukti kini mereka sanggup menggali dan mencuri mayat hujur bin Adi di Syria,ujian mereka begitu hebat mereka lansung tak boleh di bandingkan dengan orang lain,kaji sajalah kisah Maitsam Attamar, Said b Jubair, Mukhtar Assaqafi..mereka dalam kelas tersendiri jika dibandingkan dengan firqah lain,62. Seorang ulama yang terkemuka, Khawarazim Muaffaq bin Ahmad di dalam “Manqib”nya, Bab 19, meriwayatkan daripada Rasulullah SAWAW di atas pengesahan yang tidak dapat diragukan, bahawa baginda bersabda kepada Ali AS, “Di kalangan umatku, engkau adalah seumpama Isa al-Masih Ibn Mariam AS, yakni sebagaimana pengikut Nabi Isa AS yang telah berpecah kepada tiga kelompok iaitu, yang benar-benar beriman yang dikenali sebagai Hawariyyin, penentangnya iaitu orang-orang Yahudi dan satu lagi golongan yang melampaui batas, yang menyamakan beliau dengan sifat-sifat ketuhanan. Seperti itu juga umat Muslim, yang akan berpecah kepada tiga kelompok terhadap engkau. Salah satu dari mereka adalah Syi’ahmu, dan mereka inilah golongan yang benar-benar beriman. Yang lainnya adalah musuh-musuh engkau dan mereka itulah yang memungkiri janji-janji untuk taat setia kepadamu, dan yang ketiganya adalah golongan yang melampaui batas mengenai kedudukan engkau dan mereka adalah orang-orang yang menolak kebenaran serta tersesat. Jadi, engkau, hai Ali, dan juga Syi’ahmu akan berada di dalam syurga, dan juga orang-orang yang mencintaimu akan berada di dalam syurga sedangkan musuh-musuhmu dan mereka yang berlebih-lebihan terhadapmu akan berada di dalam neraka.”
“Wahai Ali, kamu adalah penghulu di dunia dan penghulu di akhirat, kekasihmu adalah kekasihku, dan kekasihku adalah kekasih Allah. Musuhmu adalah musuhku, dan musuhku adalah musuh Allah, celakalah orang yang membencimu sesudahku.” (Mustadrak Al-Hakim 3: 128).
Ahmad bin Hanbal meriwayatkan dalam Musnadnya, dari Ali (sa) bahwa Rasulullah saw bersabda kepadanya:
“Tidak akan mencintaimu (Ali) kecuali orang mukmin, dan tidak akan membencimu kecuali orang munafik.” (Musnad Ahmad 3: 102).
Diriwayatkan oleh Al-Hakim dalam kitabnya Al-Mustadrak dari Abu Dzar Al-Ghifari (ra), ia berkata:
“Kami tidak mengenal orang-orang munafik kecuali karena kedustaan mereka kepada Allah dan Rasul-Nya, meninggalkan shalat, dan kebencian kepada Ali bin Abi Thalib (sa).” (Mustadrak Al-Hakim 3: 102).