Satu lagi tragedi 11 September (kali ini th 2011), penyerangan kantor konsulat Amerika di Benghazi Libya yang menewaskan dubes Amerika.
Konsulat Amerika di Benghazi merupakan markas besar CIA di Libya yang memiliki pertahanan ketat. Dubes Stevens adalah orang yang memiliki hubungan dekat dengan CIA dan kaki tangannya dan bahkan menjadi "penghubung" antara CIA dengan kelompok-kelompok teroris yang terafiliasi al Qaida di kawasan Benghazi-Derna-Tobruk, yang oleh CIA dijadikan sumber kekuatan dalam penyerangan terhadap Syria.
Stevens sama sekali tidak merasa takut pada para teroris itu karena kedudukannya serta kedekatannya dengna mereka. Namun ternyata nasibnya harus berakhir di tangan sekelompok teroris binaan CIA, Sufiyan Qumu. Sufiyan Qumu adalah anggota Al Qaida yang pernah menjadi tahanan Guantanamo, namun dibebaskan CIA untuk digunakan sebagai alat menjungkalkan Ghadaffi. Sementara sejumlah besar sekutu-sekutu CIA lainnya yang berada di dekat Benghazi justru mendapat perintah untuk diam saat kantor konsulat Amerika diserang. Kaki tangan CIA lainnya, kelompok Brigade 17 yang juga banyak terlibat dalam serangan teroris di Syria dan berada di dekat Benghazi, juga diam membisu.
Direktur CIA Jendral Petraeus saat itu pergi ke bioskop. Tgl 14 September di hadapan anggota senat yang meminta pertanggungjawabannya atas insiden di Benghazi menyebut insiden tersebut sebagai aksi spontan yang berubah menjadi amuk massa.
Petraeus diangkat menjadi Direktur CIA pada tgl 6 September 2011. Dalam waktu 1 bulan saja ia telah mengeluarkan provokasi terhadap Iran berupa kampanye tuduhan rencana pembunuhan dubes Arab Saudi di Amerika oleh anggota-anggota Tentara al Quds Iran. Suatu tuduhan yang sebentar saja terbantah dengan sendirinya karena kecerobohan penyusunan skenarionya. Namun yang jelas adalah provokasi itu dilakukan untuk meningkatkan ketegangan Iran-Amerika dan menyabotase upaya diplomatik yang dilakukan Presiden Obama.
Oleh kalangan politisi Washington, Jendral Petraeus dijuluki sebagai Jendral Betray-US (pengkhianat Amerika), panglima kesayangan Presiden George Bush yang menjadi provokator dilakukannya operasi militer besar-besaran di Irak paska kejatuhan regim Saddam Hussein. Para pengikut kebijakan luar negeri "garis keras" Amerika yang disebut neo-konservatif melihatnya sebagai alat yang tepat untuk mengembalikan kekuasaan Amerika kepada mereka setelah "kekalahan" Amerika di Afghanistan dan Irak.
No comments:
Post a Comment