Dua orang perwira kembali dicopot dari jabatannya dalam satu "episode" pertikaian antara para politisi melawan perwira Amerika yang kini tengah berlangsung. Satu plot militer "garis keras" dicurigai telah melakukan rencana untuk mengkudeta Barack Obama setelah terpilih sebagai presiden untuk periode kedua, dan kini Obama berupaya membersihkan plot tersebut.
Kedua perwira yang dicopot dari jabatannya adalah Kapten Ted Williams, komandan kapal komando amphibi USS Mount Whitney, serta komodor Ray Hartman, komandan kapal USS Fort McHenry.
Demikian serius pertikaian yang terjadi antara politisi dan komandan militer hingga kolumnis The Washington Post, David Ignatius harus menulis kolom berjudul "A Modern Witch Hunt" di korannya, 18 November lalu. Ia menyarankan agar pemerintahan Barack Obama untuk memperlunak sikapnya terhadap para perwira, dengan menggambarkan upaya pembersihan Obama sebagai "cahaya matahari yang bisa membahayakan pada kondisi tertentu". Menurut Ignatius, pembersihan yang tidak terkendali akan menyeret Amerika dalam kekacauan yang menghancurkan segalanya.
Sepanjang sejarah manusia, hubungan antara politisi dengan perwira militer dipenuhi banyak warna meski keduanya saling membutuhkan: politisi membutuhkan tentara untuk menjaga kekuasaan mereka, sementara tentara membutuhkan politisi untuk menggaji mereka.
Terkadang hubungan itu memang begitu "mesra" seperti saat Jendral Mundus dan Belisarius mati-matian membela Kaisar Justinianus menghadapi dan mengalahkan pemberontakan rakyatnya. Namun seringkali hubungan itu merupakan tragedi. Terkadang jendral-jendral "menghabisi" para politisi. Sejarah mencatat raja Persia Darius tewas dibunuh jendralnya sendiri saat menghindari kejaran Alexander the Great. Kaisar Romawi Caligula juga tewas dibunuh pengawalnya sendiri. Sementara di era modern Presiden Pakistan Ali Butho dihukum mati oleh jendralnya sendiri, Zia Ul Haq. Sementara Presiden Chili Salvador Allende ditembak mati tentaranya dalam satu kudeta berdarah.
Namun sering juga para politilah yang "menghabisi" para perwira. Hitler mengeksekusi belasan jendralnya yang dianggap kurang loyal selama Perang Dunia 2. Presiden Perancis De Gaulle juga pernah menangkapi para perwiranya yang membangkang perintahnya selama Revolusi Aljazair tahun 1960-an. Dan kini Presiden Amerika Barack Obama meniru langkah De Gaulle.
Tahun ini, sekelompok jendral "garis keras" yang ingin melanjutkan kebijakan neo-conservatif berusaha memenangkan kandidat presiden Mitt Romney dengan merancang insiden penyerangan kantor konsulat Amerika di Benghazi, Libya. Dan jika ternyata Romney kalah, mereka siap untuk melakukan kudeta terhadap Obama.
Pendukung Romney adalah para pengusung George Bush Jr dahulu yang dikenal sebagai orang-orang neo konservatif, orang-orang sipil (sebagian besar keturunan yahudi) yang terobsesi dengan cita-cita "Israel Raya" dengan menghancurkan negara-negara Islam di sekelilingnya. Romney juga didukung oleh Mafia Mormon, sekelompok pejabat inteligen CIA yang menginginkan dominasi militer Amerika di dunia.
Adapun pendukung Obama adalah para pejabat sipil dan militer menginginkan Amerika menerapkan kebijakan "kekuatan yg lembut" yang menjauhi campur tangan langsung militer Amerika dalam berbagai masalah internasional. "Kekuatan lembut" mengandalkan "perang cyber", pengarahan drone, pembunuhan dan terorisme, serangan militer terbatas. Dan jika pendukung Romney mengandalkan aksi militer, pendukung Obama lebih menyukai campur tangan tidak langsung. Libya dan Syria adalah contoh pendekatan yang dilakukan Obama, tanpa campur tangan langsung. Contoh lainnya adalah Revolusi Cedar di Lebanon dan Revolusi Hijau di Iran yang mengalami kegagalan.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment