Friday 28 December 2012

ANTARA ANWAR IBRAHIM DAN HABIBIE (3)

Pada suatu hari di awal tahun 2000 secara tidak terduga saya bertemu dan kemudian terlibat dalam pembicaraan intensif dengan legenda jazz Indonesia almarhum Bill Saragih, di lobi hotel Novotel Batam.

Sebenarnya saya janjian dengan musisi jazz senior IR untuk wawancara usai pagelaran musik Jazz yang diselenggarakan Batam Jazz Forum (BJF) di Hotel Novotel. --- BJF adalah kelompok penggemar musik jazz yang sangat dinamis dan sangat intens menggelar acara-acara apresiatif terhadap musik jazz ketika musik jazz Indonesia tengah mengalami "mati suri" kala itu. Puncaknya adalah keberhasilan mereka menggelar acara festival jazz skala internasional Batam International Jazz Festival tahun 2001---. Namun setelah beberapa lama ditunggu, yang muncul justru Bill Saragih.

"Pasti IR ngerjain Om Bill," pikir saya.

Yah, IR memang memiliki selera humor yang cukup besar. Setiap diskusi dengannya tentang musik jazz di Indonesia selalu disertai dengan canda dan lelucon. Maka ketika saya mendengar penuturannya bahwa ia adalah seorang pejabat BIN berpangkat bintang tiga, saya hanya tersenyum. Bahkan ketika ia menjanjikan untuk mengangkat karier saya di dunia jurnalisme karena kedekatannya dengan bos surat kabar saya, saya hanya tersenyum. Kelak kemudian saya baru serius menanggapi perngakuannya itu setelah karier saya naik dengan cepat. Lagipula bukankah para intel Indonesia suka membongkar identitasnya demi kebanggaan diri? Saya juga pernah berkenalan dengan seorang pejabat eselon II Pemprov Sumut yang dengan bangga mengaku sebagai intel BIN. Sebaliknya seorang teman saya sesama wartawan yang saya yakini telah menjadi intel BIN justru menutup erat-erat eksistensinya.

Kembali ke Om Bill Saragih. Setelah basa-basi berkenalan, Om Bill berubah menjadi pihak yang lebih banyak aktif berbicara dan saya hanya menjadi pendengar yang tidak perlu mengajukan pertanyaan apapun. Yah, karena memang saya tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya sehingga lupa dengan tugas jurnalisme saya.


Dengan sangat antusias Om Bill menceritakan jalan hidupnya sejak lahir di kalangan bangsawan Batak, merantau ke luar negeri setelah terjadi kerusuhan sosial paska kemerdekaan yang menghancurkan struktur sosial politik masyarakat, hingga akhirnya dikenal sebagai legenda musik Jazz Indonesia.

"Saya orang Indonesia satu-satunya yang wajahnya menghiasi halaman pertama koran USA Today," katanya bangga di tengah-tengah pembicaraan. Tidak lama kemudian seorang penyanyi pop era tahun 1970-an menyapa Om Bill dan ikut nimbrung dalam pembicaraan. Namun setelah Om Bill tampak tidak terlalu antusias menyambut kedatangannya, penyanyi yang merupakan ayah dari seorang penyanyi Indonesia
paling ngetop kala itu pun pergi dengan wajah kecewa.

"Apa sih yang telah diberikan negara-negara Arab kepada Indonesia sehingga Habibie dekat dengan Mereka? Padahal Amerika jauh lebih berjasa kepada INdonesia," kata Om Bill.

Tanpa bisa dicegah tiba-tiba saja Om Bill mengalihkan pembicaraan tentang Habibie yang baru menyerahkan kursi kepresidenan kepada Gus Dur. Sebagai orang liberal kala itu, tentu saja saya setuju dengan pendapat Om Bill tersebut.

Bertahun-tahun kemudian saya mencoba memahami apa yang dikatakan OM Bill tentang apa yang telah diberikan Habibie kepada negeri ini selain teknologi pesawat terbang yang tidak pernah benar-benar terwujud menjadi industri pesawat terbang yang maju karena pemerintahan-pemeritanahan neo-liberalisme paska reformasi tidak serius mewujudkannya. Hingga saat ini pun Habibie seolah diam seribu bahasa ketika industri pesawat terbang nasional hidup segan mati tak mau. Padahal jika industri ini tumbuh maju tentu akan sangat banyak mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan menciptakan kesejahteraan rakyat.

Dan sebagaimana Anwar Ibrahim yang oleh media massa diindentikkan sebagai "tokoh Islam", demikian pula halnya Habibie. Jika Anwar dengan ABIM-nya, maka Habibie dengan ICMI-nya. Namun sampai saat ini pun saya tidak pernah mengetahui aspirasi Islam apa yang telah berhasil diperjuangkan Habibie. Ketika menjabat presiden dan membebaskan para tahanan politik, ia melupakan para tahanan politik Islam dan lebih memperhatikan sosok seperti Budiman Sudjatmiko atau Andi Arief, para aktifis "kiri" yang kini tinggal dalam
"lingkaran kekuasaan" negeri ini. Andi Arief bersama rekannya sesama aktifis "kiri" Amril Buamona bahkan kini menjadi staff khusus Presiden SBY. Saya juga pernah mendengar Habibie hendak mendirikan televisi Islam. Namun ternyata kini televisi yang telah memiliki ijin itu justru jatuh ke tangan kaki tangan George Soros, "ayah angkat" bagi para aktifis "kiri" dan gerakan reformasi global.



(BERSAMBUNG)

No comments: