Saturday 22 December 2012

ANTARA ANWAR IBRAHIM DAN HABIBIE (2)

Ketika Habibie bertemu dengan putri sulung Anwar Ibrahim, Nurul Izzah, di sela-sela pertemuan Habibie dan Presiden Estrada dari Filipina, akhir tahun 1998 di hotel Melia Panorama Batam (hotel milik keluarga Habibie), saya hanya berjarak beberapa puluh meter dari mereka, tengah menjalankan tugas jurnalisme di kawasan Jodoh, Batam. Saya baru mendapat kesempatan bertemu Habibie kala mengikuti pertemuan beliau dengan PM Malaysia Mahathir Mohammad di Nongsa Point Marina & Resort, tahun 1999.

Pertemuan di Hotel Melia Panorama, sebagaimana pertemuan Habibie dan Anwar Ibrahim di Kuala Lumpur dan Jakarta (kunjungan balasan dalam pemutaran perdana film Habibie & Ainun) baru-baru ini, merupakan rangkaian dari kedekatan keduanya yang terpupuk oleh satu kepentingan politik bersama.

Mengenal lebih dekat Anwar Ibrahim, bau zionisme sangat kuat melekat pada dirinya. Betapa tidak, beliau memiliki hubungan yang cukup dekat dengan banyak figur fundamentalis zionis seperti William Cohen (mantan menhan era presiden Bill Clinton), Paul Wolfowitz (mantan Presiden Bank Dunia, wakil menhan era presiden George W. Bush Jr, dubes Amerika untuk Indonesia, arsitek utama Perang Irak dan Afghanistan), Medeline Albright (mantan menlu era Presiden Bill Clinton), Michel Camdesus (mantan Managing Director IMF), dan James Wolfensohn (mantan Presiden Bank Dunia).

Selama krisis moneter Negara-negara Asia Timur tahun 1997, Anwar yang kala itu menjabat sebagai wakil perdana menteri merangkap menteri keuangan, mengadakan pertemuan-pertemuan intensif dengan Michel Camdesus. Hubungan dekat keduanya tampak dari cara pertemuan mereka yang selalu diawali dan diakhiri dengan jabat tangan dan pelukan hangat. Perdana menteri Mahathir Mohamad yang mengetahui plot zionis internasional sebagai penyebab krisis moneter, melihat Anwar telah berkhianat untuk memuluskan agenda zionisme melalui IMF, yaitu menguasai sumber-sumber ekonomi Malaysia dengan cara licik. Maka dengan tegas Mahathir pun memecat Anwar dan kemudian memenjarakannya dengan perkara pidana. Langkah ini diikuti Mahathir dengan menolak uluran tangan IMF dan menetapkan kurs mata uang tetap (fixed rate) terhadap dollar. Langkah ini jitu meredam krisis dan Malaysia berhasil selamat dari krisis, bahkan kemudian berhasil bangkit menjadi negara yang jauh lebih maju secara ekonomi.

Hal sebaliknya terjadi di Indonesia. Meski dengan enggan Presiden Soeharto menerima uluran tangan IMF (kala penandatanganan kerjasama atau Letter of Intent, Camdesus bersedekap di samping Soeharto, jelas bersikap seperti seorang tuan di hadapan Soeharto. Mungkin sebenarnya Soeharto pun telah mengetahui konspirasi jahat zionisme kala itu. Harus diingat, Soeharto sangat dekat hubungannya dengan Mahathir). Akibatnya Indonesia justru terjerumus lebih dalam dalam krisis. Soeharto jatuh melalui gerakan reformasi dengan meninggalkan hutang luar negeri yang melonjak berlipat-lipat bagaikan permainan sulap. Selain itu sejumlah besar asset strategis juga harus dilelang murah kepada para investor asing.

Kala Soeharto harus menghadapi krisis multi-dimensi itu, kita melihat Habibie bagaikan bersembunyi dan baru muncul setelah Soeharto mengundurkan diri dan Habibie hendak dilantik menjadi presiden. Mungkin inilah yang mengakibatkan Soeharto marah kepada Habibie, selain kemarahan akibat lepasnya Timor Timur setelah Habibie dengan “murah hati” memenuhi keinginan para pemimpin barat untuk menyelenggarakan referendum, meski rakyat Timor Timur sendiri sebenarnya hanya menginginkan otonomi khusus.
Kalau bisa ditambahkan, kemarahan lain Soeharto mungkin  disebabkan karena Habibie menyetujui dana rekap perbankan sebesar Rp 600 triliun yang beban bunganya masih harus ditanggung negara dan rakyat hingga saat ini, yang nilainya mencapai puluhan triliun setiap tahunnya. Padahal sebelumnya para bankir telah mendapat suntikan dana BLBI senilai Rp 400 triliun. Inilah salah satu motif favorit para kapitalis global mengeruk kekayaan dengan tangan para pengikutnya: merampok bank, menalanginya dengan uang pinjaman, dan kemudian membebankan cicilannya kepada seluruh rakyat. Pada saat yang sama mereka berteriak-teriak marah ketika rakyat meminta subsidi BBM atau tunjangan sosial. Semua itu merupakan bentuk dari apa yang disebut neo-liberalisme.

Demikian hebat kemarahan Soeharto hingga beliau tidak bersedia menerima kunjungan Habibie hingga akhir hayatnya. Padahal bagi Habibie, Soeharto adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya setelah kedua orang tuanya sendiri. Namun untuk masalah ini hanya mereka berdua yang tahu selain Tuhan.

Kembali ke Anwar Ibrahim, ketika didepak dari jabatannya sebagai wakil perdana menteri dan menteri keuangan Malaysia tahun 1998, publik Malaysia dihangatkan oleh kabar kedekatan Anwar dengan menhan Amerika William Cohen, seorang zionis yahudi Amerika yang pada tahun itu juga memerintahkan serangan udara Amerika kepada Irak. Anwar sendiri mengakui telah mengenal Cohen sejak tahun 1970-an. Keduanya bahkan aktif dalam satu “klub rahasia” bernama “Pasific Charter Roundtable”, satu lembaga pemikiran beranggotakan para politisi Amerika dan Asia yang pro-Amerika. Kedekatan keduanya tampak jelas dari sambutan yang diberikan Cohen kala menerima kunjungan Anwar di Pentagon tahun 1998. Anwar menerima sambutan bak pemimpin tertinggi kenegaraan dengan karpet merah dan dentuman meriam.

Pemimpin zionis lainnya yang dekat dengan Anwar adalah Madeleine Albright. Ketika gerakan reformasi merebak di tanah air, Albright menyerukan Soeharto untuk mundur. Ia-lah orang yang mengatakan bahwa kematian ribuan warga dan anak-anak Irak akibat sanksi internasional yang disponsori Amerika adalah “hal yang pantas untuk Irak”. Kepada Anwar Albright memberikan dukungan dengan menghadiri persidangan krimimal Anwar dan menyerukan agar Malaysia membebaskan Anwar, suatu tindakan campur tangan yang sangat gambling. Albright juga menjalin kedekatan dengan istri Anwar, Wan Azizah serta putrid sulungnya, Nurul Izzah.  Wan Azizah telah beberapa kali menemui Albright di kediamannya di Amerika. Selain itu Nurul juga pernah menjadi peserta pelatihan singkat yang diselenggarakan National Democratic Institute (NDI) yang diketuai Madeleine Albright.

Ketika wapres Al Gore berpidato di hadapan sidang APEC, secara lantang ia meneriakkan kalimat “Reformasi!” di hadapan Mahathir Mohammad dan para pemimpin dunia . Kalimat  itu pula-lah yang selalu diteriakkan Anwar Ibahim dan para "peserta" gerakan reformasi di Indonesia tahun 1998. Tidak mengherankan, karena Anwar adalah seorang pejabat di perusahaan milik Al Gore, Generation Investment Management Group. Perusahaan ini banyak menjalin hubungan bisnis dengan perusahaan-perusahaan Israel, seperti GreenRoad Technologies Ltd. Hubungan Anwar dengan Gore juga terjalin melalui yayasan East West Foundation yang berpusat di Amerika dengan Al Gore sebagai ketuanya dan Anwar sebagai salah seorang staff ahlinya. Yayasan ini bertujuan menyatukan dunia barat dengan Islam, atau lebih tepatnya meliberalisasikan Islam, paska Serangan September 2011.

Seorang lagi sahabat zionis Anwar Ibrahim adalah James Wolfenson, mantan Presiden Bank Dunia dari Amerika. Ia-lah yang banyak membantu keuangan keluarga Anwar kala ia dipenjara. Istri Anwar, Wan Azizah, berkali-kali menemui Wolfenson di kantornya. Sebaliknya kala Wolfenson menghadiri pertemuan APEC di Langkawi Malaysia tahun 2000, ia bertemu Azizah di ‘VIP Lounge’ bandara internasional Kuala Lumpur.

Wartawan Johan Jaafar dari koran "Berita Minggu" pada tgl 20 Mei 2007 juga menulis hubungan Anwar dengan Rupert Murdoch sang raja media internasional. Sebagaimana Soros yang bergerak di bidang sosial (merancang gerakan-gerakan reformasi, revolusi warna, revolusi bunga, hingga Arab Springs) dan keuangan (mengobok-obok sektor keuangan global) Murdoch adalah kaki tangan para kapitalis global yahudi yang menguasai sektor media massa. Inilah yang menjelaskan mengapa Anwar mendapat porsi pemberitaan yang sangat besar di media-media massa global.

Terakhir namun bukan yang paling sepele adalah hubungan Anwar dengan sang arsitek "Perang Melawan Terorisme" serta Perang Irak dan Afghanistan, Paul Wolfowitz. Wolfowitz pernah menggunakan pengaruhnya menempatkan Anwar di Georgetown University sebagai dosen tamu. Saat menjabat Bank Dunia Wolfowitz juga pernah menugaskan Anwar untuk mempengaruhi bank-bank di Timur Tengah untuk tidak terlalu anti pada Bank Dunia dan lebih liberal dalam menjalankan bisnis keuangannya.


(BERSAMBUNG)

Keterangan gambar: Anwar Ibrahim diapit oleh William Cohen dan Paul Wolfowitz

No comments: