Regim PM Recep Erdogan mulai menuai hasil dari kebijakan politik luar negerinya. Ratusan demonstran berbaris menuju kantor Recep Erdogan di Ankara, Jum’at (21/12), memprotes tindakan keras aparat kepolisian terhadap demonstrasi mahasiswa yang menyebabkan beberapa mahasiswa mengalami luka-luka dan sebagian lainnya menjalani tahanan.
Ratusan demonstran meneriakkan kecaman kepada Erdogan sambil membentangkan spanduk tuntutan pembebasan demonstran yang ditahan paska terlibat bentrok dengan aparat keamanan di Middle East Technical University (METU), Selasa (18/12). Bentrokan terjadi saat para mahasiswa memprotes kedatangan Erdogan yang datang untuk menyaksikan siaran peluncuran satelit Turki oleh roket milik China. Para mahasiswa menentang kebijakan luar negeri Turki, di antaranya soal campur tangan Turki di Syria serta penggelaran rudal Patriot di perbatasan Syria.
Polisi menembakkan gas air mata dan meriam air untuk mengusir mahasiswa. Sekitar 50 mahasiswa mengalami luka-luka dalam bentrokan tersebut dan 12 lainnya ditangkap polisi dan menjalani penahanan. Seorang mahasiswa, Baris Barisik, mengalami gagar otak setelah tertimpa bom gas air mata.
Aksi keras polisi tersebut memicu kemarahan di kalangan akademisi dan kubu oposisi. Mereka menuduh pemerintahan partai AKP yang dipimpin Erdogan telah berubah menjadi pemerintahan otoriter.
Sekelompok akademisi METU melakukan mogok belajar-mengajar pada hari Kamis (20/12) untuk memprotes aksi kekerasan polisi. Aksi aparat keamanan juga mendapat kecaman media massa Turki dan juga para aktifis HAM.
Terkait dengan masalah ini Amnesty International menuntut pemerintah Turki untuk mengadakan penyidikan yang cepat, komprehensif dan netral atas insiden yang disebabkan oleh penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh aparat kepolisian.
KEMBALI DEMO
Para hari Sabtu (22/12) para mahasiswa kembali melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Ankara menolak rencana penggelaran rudal Patriot NATO di perbatasan Syria. Mereka membakar bendera NATO dan mengecam Amerika dan Jerman selain PM Erdogan.
Demonstrasi itu dipicu oleh pengumuman Erdogan sebelumnya pada hari yang sama tentang rencana penggelaran rudal Patriot di daerah Gaziantep, Kahramanmaras, dan Adana yang terletak di dekat perbatasan Syria.
NATO baru-baru ini mengumumkan rencana penggelaran 6 battere rudal Patriot untuk melindungi ancaman serangan rudal Syria. Amerika dan Jerman masing-masing akan menyediakan 2 battere rudal Patriot dan 400 personil militer untuk menangangi tiap battere. Belanda menyediakan 2 battere lainnya ditambah 360 personil militer untuk tiap bettere.
Sebagian dari personil militer tersebut sudah berada di Turki, namun rudal-rudalnya baru akan siap beroperasi sekitar akhir bulan Januari tahun 2013. Menurut keterangan seorang pejabat NATO, tiap battere rudal Patriot berisi 12 peluncur rudal.
Pada 21 November lalu pemerintah Turki secara resmi meminta NATO untuk menggelar rudal-rudal Patriot di perbatasan Syria. Pada tgl 4 Desember permintaan tersebut disetujui NATO.
TANGGAPAN RUSIA DAN IRAN
Rusia dan Iran adalah 2 negara sekutu utama Syria. Kedua negara secara tegas menentang rencana penggelaran rudal tersebut. Menurut pejabat Rusia ancaman serangan dari Syria yang menjadi dalih penggelaran rudal telah dibesar-besarkan. Menurut Rusia pengelaran rudal-rudal itu justru meningkatkan ketegangan di kawasan.
Sementara itu menhan Iran Brigjen Ahmad Vahidi pada hari Sabtu (22/12) memperingatkan Turki bahwa penggelaran rudal Patriot di wilayah Turki hanya akan membahayakan Turki sendiri.
"Hal itu tidak akan berperan meningkatkan keamanan Turki dan hanya akan membahayakan Turki sendiri," kata Vahidi kepada media massa.
Menurut Vahidi kehadiran kekuatan barat di satu negara Islam selalu memicu konflik sesama negara Islam. Karenanya Vahidi menyatakan bahwa Iran selalu menentang keberadaan negara barat di kawasan Timur Tengah.
REF:
"Patriot Missiles Detrimental to Turkey"; almanar.com; 22 Desember 2012
"Turkish Police Crackdown on Students Provokes National Protest"; AFP; 21 Desember 2012
"Turkish students say no to NATO Patriot missiles on Syria border"; Press TV; 22 Desember 2012
No comments:
Post a Comment