Sunday, 20 January 2013

MESIR DAN YAHUDI

Masih ingat dengan gembar-gembor PM Turki Recep Erdogan tentang penghapusan larangan berjilbab yang telah menjadi undang-undang Turki sejak resmi menjadi negara sekuler berpuluh tahun lalu? Bertahun-tahun sudah janji itu dilalaikan Erdogan begitu saja. Padahal jika mau, dengan mudah Erdogan bisa menghapuskan undang-undang itu karena ia didukung oleh parlemen yang mayoritas berasal dari partai pendukungnya. Selain itu kekuasaan tertinggi di Turki, Presiden Abdullah Gul, juga kolega Erdogan di Partai Keadilan.

Erdogan juga pernah berteriak-teriak akan memerangi Israel setelah Israel membantai 9 warga Turki di dalam kapal Mavi Marmara tahun 2010 lalu. Namun alih-alih memerangi Israel, Erdogan justru memilih untuk memerangi Syria, tetangganya sesama negara Islam yang telah menjalin hubungan ekonomi dan politik erat selama berpuluh tahun dan secara teknis tengah terlibat perang dengan Israel.

Namun bukan hanya Erdogan yang bakal tercatat dalam tinta hitam sejarah sebagai pengkhianat umat Islam. Presiden Mesir Mohammad Mursi juga demikian. Yang ironis adalah kedua tokoh itu adalah aktifis kelompok Ikhwanul Muslimin, organisasi yang didirikan dengan tujuan utama menghancurkan Israel dan membebaskan Palestina dari penjajahan Israel.

Beberapa waktu lalu berita kabar tentang surat Presiden Mesir Mohammad Mursi kepada presiden Israel Shimon Peres. Kabar yang dirilis pertama kali oleh media-media Israel itu menunjukkan bagaimana Mursi mengelu-elukan Shamir sebagai seorang pemimpin yang baik.

Kontan saja rakyat Mesir dibuat galau oleh berita tersebut mengingat selama ini mereka menyangka bahwa Mursi adalah seorang pemimpin Arab ideal yang memusuhi Israel dan berjuang membebaskan Palestina dari penjajahan Israel. Tertampar mukanya oleh kabar tersebut Mursi awalnya membantah berita tersebut. Namun setelah media-media Israel merilis copi surat tersebut, Mursi akhirnya mengakuinya.

Namun tetap saja Mursi berdalih bahwa sikapnya memuji-muji Peres (mantan anggota kelompok teroris yahudi Irgun yang bertanggungjawab atas pembantaian ribuan rakyat Pelestina di masa lalu), adalah sesuatu yang “wajar”.

Namun “pengkhianatan” Musri kepada rakyatnya ternyata tidak hanya itu, masih menumpuk banyak. Ia telah menjerumuskan seluruh rakyat Mesir, yang mayoritas beragama Islam, ke dalam jebakan riba hutang IMF. Ia masih menjalin hubungan resmi dengan Israel. Ia masih turut memblokade rakyat Palestina di Gaza (belum lama ini Mesir menggagalkan pengiriman senjata anti-tank dan anti-pesawat yang hendak dikirimkan ke Gaza untuk para pejuang Palestina). Mursi juga memecat para pejabat Mesir yang berani bersikap keras terhadap Israel. Seperti Dr. Essam al-Erian, penasihat kepresidenan dan anggota partai berkuasa Partai Kebebasan dan Keadilan yang dipecat gara-gara mengeluarkan pernyataan yang menyinggung perasaan pemerintah Israel.

Menurut Dr. Essam, para warga yahudi Israel yang berasal dari Mesir, hendaknya kembali ke Mesir meninggalkan negara Israel yang rasis. Menurut Dr. Essam rakyat Mesir akan menyambut baik kepulangan mereka, bahkan mengembalikan tanah dan rumah mereka yang ditinggalkan. Semakin banyak orang yahudi Mesir yang kembali ke negara asalnya, semakin besar peluang rakyat Palestina untuk mendapatkan kembali tanah mereka yang dirampas Israel.

Yang menarik adalah, konstitusi baru yang dirancang parlemen Mesir yang mayoritas berasal dari partai-partai Islam Mesir terutama Ikhwanul Muslimin dan Partai Nur Salafi (pusat gerakannya di Saudi Arabia), untuk pertama kalinya secara tersurat mengakui hak warga keturunan yahudi Mesir untuk menjalankan ibadahnya sendiri.

Bulan lalu pemimpin Persaudaraan Muslim Mohammad Badie juga mengeluarkan pernyataan yang menyulut kemarahan Israel. Badie menuduh orang-orang yahudi zionis`sebagai "menguasai dunia", "menyebarkan korupsi di permukaan bumi", "menumpahkan darah orang-orang tak berdosa", dan "hanya mengerti bahasa kekerasan". Pernyataan itu kontan menuai kecaman orang-orang yahudi di seluruh dunia. Anti Defamation League (ADL), organisasi zionis paling berpengaruh di dunia, menempatkan Badie sebagai tokoh anti-semit nomor satu (setingkat di atas Presiden Iran Ahmadinejad dan 2 tingkat di atas kartunis Brazil Carlos Latuf).

Namun berdasarkan pengalaman Erdogan dan Mursi, kita wajib untuk curiga, jangan-jangan pernyataan Badie hanya untuk pencitraan saja.

Hubungan Mesir dengan yahudi memang sangat rumit dan bahkan misterius. Pada abad 19 lalu penyair terkenal Mesir menyerukan umat Islam untuk pindah agama menjadi yahudi, karena orang-orang yahudi telah "meraih apa yang menjadi harapan manusia dan menjadi para bangsawan kaya".

Mohamed Abul-Ghar, ketua partai Egyptian Social Democratic Party dalam bukunya yang diterbitkan tahun 2004 "Yahood Masr min AlIzdihar Ela AlShitat", menulis bahwa di antara 75.000 warga keturunan yahudi di Mesir, sebagian berhasil menduduki jabatan tinggi, seperti Qattawi Pasha yang diangkat menjadi menteri keuangan tahun 1925, dan pada tahun 1947 memiliki lebih dari 1/3 perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Mesir. Yahudi juga sangat berpengaruh di bidang seni dan budaya Mesir, membangun bioskop-bioskop dan menerbitkan banyak majalah.

Namun perang Arab-Isreal tahun 1948 merubah segalanya. Pemerintah Mesir menutup kantor dan perusahaan milik warga yahudi dan menangkapi tokoh-tokohnya. Pada tahun 1954 Mesir membongkar jaringan teroris yahudi yang hendak membom fasilitas-fasilitas milik Amerika dan Inggris di Mesir agar kedua negara itu memerangi Mesir (Skandal Lavon). Disusul kemudian dengan Perang Suez tahun 1955 ketika Israel bersama Inggris dan Perancis menyerang Mesir. Setelah itu Mesir dan Israel masih terlibat lagi dalam 2 perang besar: tahun 1967 dan 1973.

Hubungan kedua negara membaik kembali setelah perjanjian Camp David tahun 1979. Kini, setiap tgl 15 Januari kaum yahudi dari segala penjuru bumi datang ke Mesir untuk merayakan peringatan kelahiran "orang suci" kaum yahudi Abu Hassira.

Namun tidak hanya kepada orang-orang yahudi saja rakyat Mesir berhutang jasa. Rakyat Mesir juga berhutang besar pada orang-orang Shiah yang telah mendirikan kota Kairo dan Universitas Al Azhar. Kedua simbol negara Mesir itu dibangun oleh dinasti Fathimiyah (berasal dari kata Fathimah, putri Rosulullah) antara tahun 969 hingga 1171.


No comments: