Monday 2 May 2011

Di Ambang Perang Melawan Cina-Rusia


Standar ganda Amerika dalam aksi-aksi demonstrasi Timur Tengah tampak sangat jelas. Aktif mendukung aksi-aksi menentang pemerintahan di Libya dan Suriah, Amerika diam seribu bahasa melihat penguasa Bahrain membantai rakyatnya sendiri. Cina dan Rusia melihat hal ini sebagai "serangan" tidak langsung terhadap kepentingan mereka dan dalam tingkat tertentu bisa memancing keduanya untuk "turun gunung" berhadapan dengan Amerika.

Pemerintah Rusia baru-baru ini mengingatkan Amerika dan sekutu-sekutu NATO-nya bahwa keterlibatan militer NATO yang lebih jauh dari sekedar menjaga "no fly zone" di Libya adalah sebagai tindakan ilegal, dan campur tangan terhadap Syria akan memancing perang saudara.

Selama ini Rusia memang hanya bisa menjadi "oposisi" tak bergigi di hadapan Amerika dan sekutunya dalam berbagai isu politik global. Namun apa jadinya jika kemudian Rusia melihat kepentingan nasionalnya telah terancam dan memutuskan untuk melakukan aksi militer untuk menjaganya sebagaimana mereka lakukan saat menyerang Georgia yang berani mengusik wilayah protektorat Rusia, Ossesetia Selatan, tahun 2008 lalu. Lalu bagaimana pula jika Cina bergabung dengan Rusia, 2 negara raksasa yang memiliki kekuatan militer dan ekonomi yang bisa menyaingi Amerika dan sekutu-sekutunya.

Keterlibatan Amerika dalam aksi-aksi kerusuhan di Libya dan Syria sudah menjadi pengetahuan masyarakat luas. Di Syria campur tangan Amerika memang tidak segamblang di Libya. Campur tangan Amerika di Syria disalurkan melalui sekutunya, Arab Saudi, yang selanjutnya menyalurkannya kepada kelompok-kelompok anti blok Syria-Iran-Hizbollah di Lebanon. Selanjutnya melalui perbatasan Lebanon lah bantuan tersebut menyusup ke Syria. Pemerintah Syria telah menuduh beberapa tokoh politik anti Syria di Lebanon terlibat dalam aksi kerusuhan di Syria, menambah ketegangan baru di Lebanon antara blok Hizbollah Cs yang pro Syria-Iran dengan blok pro Amerika-Saudi-Israel.

Libya adalah "sekutu" penting Cina, sedangkan Syria adalah sekutu Rusia. Cina telah menanamkan investasi besar-besaran di bidang infrastuktur dan energi di Libya. Pada saat NATO menyerang Libya, terdapat 30 ribu tenaga kerja Cina yang tengah bekerja di Libya yang hampir semuanya telah dipulangkan ke Cina. Sementara itu Rusia memiliki pangkalan AL yang besar di Syria. Keterlibatan Amerika dalam konflik di Libya dan Syria tentu saja dianggap Cina dan Rusia sebagai "serangan" terhadap kepentingan mereka. Amerika menginginkan Cina dan Rusia hengkang dari kawasan Laut Tengah.

Cina yang didesak oleh kebutuhan energi di masa mendatang, telah mengadakan perjanjian kerjasama energi dengan beberapa negara Afrika seperti Libya, Angola dan Nigeria. Dengan menyerang Libya Amerika bisa dianggap melakukan sabotase ekonomi terhadap Cina, seperti yang mereka lakukan terhadap Jepang menjelang Perang Dunia 2.

Sebagaimana diprediksi International Monetary Fund (IMF), dalam waktu 5 tahun mendatang Cina akan menjadi kekuatan ekonomi terbesar di dunia mengalahkan Amerika. Para pemimpin strategis Amerika tentu mengetahui bahwa hanya dengan menggunakan kekuatan militer, Amerika mungkin bisa menghambat kemajuan ekonomi Cina. Salah satunya degan menutup sumber energi Cina seperti Libya. Inilah yang menjadi alasan mengapa Amerika dan sekutunya begitu ngotot melakukan campur tangan di Libya, namun diam seribu bahasa menyaksikan regim-regim diktator lain di Timur Tengah melakukan aksi-aksi kejam terhadap rakyatnya.

Alasan lain Amerika menyerang Libya adalah penolakan Mohammar Ghadafi atas pembentukan Africa Command (AfriComm) yang digagas Amerika untuk menyaingi masuknya pengaruh Cina ke kawasan Afrika. Africomm telah resmi terbentuk tahun 2008. Kedekatan Libya dan Cina, sebagaimana Syria dan Rusia dianggap mengancam kepentingan strategis Amerika di Laut Tengah.

Amerika mungkin kehilangan sekutu utama di Tunisia dan Mesir, namun segera sadar untuk menggantinya dengan sekutu baru di Libya dan Syria setelah menyingkirkan regim Ghadafi dan Bashar al Assad, sekaligus menyingkirkan dua pesaing utamanya, Cina dan Rusia.

Kini kita hanya bisa mengira-ngira apa yang akan dilakukan Rusia dan Cina untuk "membalas" Amerika. Bisa saja mereka mengirimkan bantuan militer (terang-terangan atau diam-diam) kepada Ghadafi dan Bashar Al Assad serta sekutu mereka di Timur Tengah, yaitu Iran, yang pada akhirnya akan menyalurkan bantuan tersebut kepada "musuh-musuh" Amerika seperti Hizbollah dan Hamas.

Konflik bersenjata antara Amerika dan sekutunya melawan Rusia-Cina sebagai dampak krisis politik di Timur Tengah bukanlah hal yang mustahil terjadi.

No comments: