Wednesday 28 February 2018

ADA APA DENGAN PEMBERANTASAN NARKOBA?


Tahun 2013, lima tahun lalu, harga sabu-sabu (meth) Rp 2 juta per gram end user. Hari ini harga masih tetap Rp 2 juta per gram end user. Itu menunjukkan pasar normal. Supply terhadap demand aman.
Artinya tak ada pengaruh operasi BNN terhadap pasar. Ada apa dengan BNN?

Tadi malam saya bicara di TV One, temanya "Tsunami Narkoba", dipandu Tysa Novenni, penyiar tercantik di TV One. Tadi subtabsinya. Pertama, ada kebocoran dalam operasi Narkoba. Baik internal dan eksternal. Harga bukan ditentukan oleh Bandar, tapi oleh pasokan. Misal, jika baru terjadi penangkapan sukses, di pasar diskotik Jakarta harga naik. Barang langka. Costing kemanan mahal. Jika tak ada operasi, harga turun. Barang banyak. Prinsipnya berlaku hukum supply - demand.
Analysis secara suppy - demand itu sudah empirik, tak saja barang pasar, teemasuk narkoba, juga costing keamanan.
Penyelundupan meth oleh kapal nanyang berbendera korea, kemarin dulu jumlah sementara 1,6 ton atau Rp 3,2 triliun end user. Analoginya ekspor impor. Tertangkap anak buah kapal (ABK) yang kemarin berteriak-teriak di depan Menkeu Sri Mulyani dan Kapolri Prof Tito Karnavian. "Kami cuma ABK. Tangkap tuh bossnya," kata dua tersangka Cina itu.
Memang tak ada gunanya menangkap ABK. Pemegang letter credit (LC) nya di Cina, penerbit LC nya di Indonesia. Penerbit LC ini yang tak pernah diungkap BNN dan Restik. Penangkapan bisa jadi adalah modus penerbit LC untuk memutihkan barang gelap itu via Berita Acara Pemusnahan. ABK adalah bagian dari costing, silahkan dihukum mati. Itu dugaan kebocoran yang pertama: barang bukti kembali ke pasar.
Kedua, kebocoran pada operasi Bea Cukai. Ada 139 pelabuhan yang pagi-pagi sekali Ditjen BC sudah menyatakan hands up untuk mengawasi keluar masuk barang. Mereka hanya mampu sepertiganya. Itu belum pelabuhan pribadi yang jumlahnya juga bahyak. 1,2 ton meth di PIK masuk via pelabuhan pribadi.
Ketiga kebocoran di Pangarmabar. Daerah Kepri adalah wilayah hukum Pangarmabar, sudah sejak 10 tahun lalu saya monitor adalah lalu lintas segala barang gelap, sejak ikan, narko hingga kencing di laut. Sejak Menteri Susi, Tupoksinya berubah. Kian tak jelas. Sekonyong-konyong sejak sabu Sunrice yang ditangkap Pangarmabar muncul satgas narkoba di televisi. Rebutan antara BNN, Direktur IV Narkoba Mabes Polri, Bea Cukai, Pangarmabar, dan Satgas. Sudah ada BNN masih pula ada Satgas. Apa yang direbutkan? Jasa? Salah-salah rebutan narkobanya. Modus lagi. Dramaturgi lagi.
BNN itu sudah Satgas. BNN itu adalah DEA (Drugs Enformation Administration). Kok perlu lagi Satgas. Mengada-ada Prof Tito.
:: Djoko edhi ::



Dicopas dari akun FB Sahabat Weka25 Februari pukul 11:04

1 comment:

Kasamago said...

Bisnis narkotika begitu menggiurkan, sulit dimusnahkan.. yg berbahaya jika sengaja didesain utk menghancurkan generasi muda bangsa