Tuesday, 22 July 2008

Supremasi Yahudi bukan Omong Kosong


Berita-berita di media massa nasional bulan Desember 2007: Lima orang pengurus wilayah organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Muhamaddiyah dan NU, berkunjung ke Israel. Salah satu agenda mereka adalah menghadiri perayaan hari raya keagamaan Yahudi Hanukkah yang ditandai dengan penyalaan lampu menorah.

Pada tanggal 4 Desember 2007 lalu sebuah menorah (sebuah benda berbentuk sembilan sula yang ujung-ujungnya berupa lampu atau lilin, simbol utama agama Yahudi, oleh ummat Islam disebut sebagai lambang pohon gorgot sebagaimana disebut dalam hadits Nabi Muhammad) raksasa didirikan di pelataran, tepat di depan istana presiden Gedung Putih, Washington DC, Amerika).

Apa masalahnya?

Masalahnya sebenarnya sangat banyak dan mendasar, kontroversial bahkan cenderung provokatif. Bagaimana mungkin di lokasi “sakral” seperti Gedung Putih dimana bahkan salib (lambang agama Kristen yang dianut oleh mayoritas rakyat Amerika) dilarang didirikan, sebuah lambang agama minoritas bisa berdiri.

Masih ada lagi kontroversi lainnya: Peresmian bangunan tersebut dilakukan oleh pejabat publik, Jaksa Agung Michael Mukasey. Padahal sebagai negara sekuler Amerika melarang hal-hal yang terkait dengan agama dikaitkan dengan simbol-simbol kenegaraan: tempat-tempat publik dan pejabat-pejabat publik. Untuk yang satu ini pemerintah Amerika bahkan melarang kebiasaan berdoa bersama (secara Kristen) di sekolah-sekolah publik (milik pemerintah).

Masih ada lagi kontroversi lainnya: Menorah adalah sebuah lambang rasisme. Tepatnya menorah dibuat oleh bangsa Yahudi untuk mengingatkan kaum Yahudi bahwa orang-orang Yahudi, sebagai manusia pilihan Tuhan, dilarang melakukan asimilasi (pembauran) dengan orang-orang non-Yahudi. Padahal sebagai negara yang mengklaim diri sebagai lokomotif demokrasi, Amerika mestinya mengharamkan simbol-simbol rasisme.

Masih ada lagi kontroversi lainnya: Menorah besar kini berdiri di ratusan bangunan pemerintah di seluruh Amerika, sementara lambang-lambang agama lain termasuk Kristen dan apalagi Islam, dilarang. Selain di pelataran, menorah juga berdiri di dalam istana Gedung Putih. Menorah itu, bukan salib, tragisnya menjadi benda upacara peringatan hari Natal di Gedung Putih yang dilakukan oleh George Bush, Presiden Amerika yang beragama Kristen.

Yang ini mengejutkan: Menorah berdiri di ratusan kantor pemerintah dan gedung parlemen di negara-negara Eropa yang selama ini dikenal sebagai negara sekuler. Menurut situs lubavitch.com milik kelompok Yahudi garis keras chabad lubavitch, sampai saat ini setidaknya ada 10.000 tempat publik di seluruh dunia, terutama lapangan-lapangan umum, dihiasi dengan menorah, mulai dari kota-kota besar Amerika dan Eropa, hingga New Delhi di India dan Peking di China.

Perayaan hari Hanukkah yang ditandai dengan penyalaan lampu menorah dilakukan untuk memperingati “kemenangan” bangsa Yahudi atas bangsa Yunani di tanah Palestina abad 2 Sebelum Masehi. Peperangan antara Yahudi melawan Yunani terjadi murni karena masalah agama. Orang-orang Yahudi marah karena raja Yunani yang menguasai Palestina dimana bangsa Yahudi tinggal, Anthiochus IV, memadukan ritual-ritual Yunani pada upacara-upacara keagamaan Yahudi. Anthiocus melakukan hal itu karena kenyataan terjadinya asimilasi antara bangsa Yahudi dengan Yunani. Merasa terancam kemurnian agamanya terganggu, di bawah pimpinan Macabbees bangsa Yahudi memberontak dan berhasil mengalahkan bangsa Yunani.

Dan meskipun bangsa Yunani menerima asimilasi dengan Yahudi, orang-orang Yahudi dengan sangat kejam membalas “kekurang ajaran” orang-orang Yunani mengotori agama mereka. Kekejaman itu bahkan tidak terbayangkan oleh orang-orang jaman dahulu di mana standar moral masih sangat rendah dibanding jaman sekarang. Setelah dimutilasi, tubuh orang-orang Yunani (maaf, pen) direbus di dalam kuali. Ususnya (ma’af. pen) dijadikan ikat pinggang. Semuanya itu tercatat dalam manuskrip-manuskrip kuno yang masih ada sampai sekarang.

Latar belakang itulah yang menyebabkan perayaan hari raya Hannukah, sampai saat ini oleh orang-orang Yahudi dianggap sebagai kemenangan agama dan bangsa Yahudi dari agama dan bangsa lainnya sekaligus mengukuhkan diri sebagai bangsa pilihan Tuhan.

Pembangunan simbol Yahudi di tempat-tempat publik berbagai negara di dunia menunjukkan dominasi Yahudi tidak lagi sebagai sebuah ilusi. Bahkan sebelum menorah-menorah itu berdiri orang-orang yang “memiliki informasi baik” telah tahu bahwa Yahudi, bangsa yang paling dibenci oleh bangsa-bangsa lain di dunia karena kelicikan dan kekejamannya, secara riel telah menguasai dunia melalui militer Amerika dan NATO, jaringan media massa, perusahaan-perusahaan trans-nasional, high paid professionals, politisi, public figure hingga tokoh-tokoh agama non-Yahudi.

Dominasi Yahudi tidak datang seketika. Sampai awal abad 20 mayoritas rakyat Amerika tidak mengenal libur hari Sabtu (Sabbath). Sentimen anti Yahudi pun masih sangat tinggi di sebagian besar rakyat Amerika. Namun semuanya itu berubah dengan sangat drastis. Orang-orang Yahudi berhasil memaksakan hari Sabtu sebagai hari libur nasional. Simbol-simbol Yahudi pun menggusur simbol-simbol Kristen di tempat-tempat publik termasuk Gedung Putih. Sampai saat ini pun orang-orang Yahudi masih terus berusaha menyingkirkan simbol-simbol Kristen. Kasus terakhir yang tengah marak saat ini adalah tuntutan organisasi-organisasi Yahudi agar bentuk susunan kursi dalam gedung parlemen Amerika diubah karena menurut mereka membentuk tanda salib.

Yang sangat ironis justru adalah nasib orang-orang kulit putih di Amerika yang mayoritas beragama Kristen. Sebagai pendiri Amerika dan etnis mayoritas, sedikit demi sedikit mereka tersingkir dari domainnya. Secara demografis dan sosiologis kedudukan mereka mulai tersingkir oleh etnis kulit hitam dan etnis pendatang lainnya. Di panggung bisnis dan politik mereka tersingkir oleh Yahudi. Media massa, film-film Hollywood dan dunia hiburan (yang dikuasai Yahudi) pun cenderung tidak berpihak kepada mereka. Di beberapa kota termasuk New Orleans, orang-orang kulit putih terpaksa menyingkir ke pinggiran karena kalah bersaing dengan orang-orang kulit hitam dan para imigran. Apalagi dengan rencana diterapkannya undang-undang imigrasi baru yang memberikan hak kewarganegaraan bagi 20 juta pendatang haram, maka orang kulit putih akan semakin terdesak.

Tidak heran bila saat ini muncul kelompok-kelompok ekstremis kulit putih yang bertujuan mengembalikan dominasi kulit putih di Amerika. Beberapa aksi mereka yang terkenal adalah peledakan gedung federal di Oklahoma City serta insiden Waco. Aspirasi kaum kulit putih yang terpinggirkan itu dapat dilihat dengan jelas di beberapa media massa dan situs internet seperti davidduke, counterpunch, american free press, barnes review dll.

Seiring dengan maraknya pembangunan menorah di berbagai penjuru dunia, di Indonesia sendiri simbol-simbol Yahudi beberapa waktu terakhir ini mulai banyak bermunculan. Di beberapa sudut kota Jakarta muncul graffity berbentuk bintang daud (lambang utama Yahudi selain menorah). Di Bandung seorang caleg Gubernur Propinsi Jawa Barat memasang simbol bintang daud di spanduk-spanduk kampanyenya. Beberapa seniman dan selebriti, termasuk pentolan group band Dewa, Ahmad Dhani (diduga seorang keturunan Yahudi Jerman), tanpa takut menggunakan aksesoris bintang daud. Seorang mantan presiden pun tanpa merasa risih mengaku menjadi anggota LSM Yahudi dan dengan kedok demokrasi, HAM dan kebebasan berekspresi (kedok yang sama yang diucapkan para agen Yahudi di seluruh dunia sejak Revolusi Perancis, pen) terus-menerus meneriakkan kepentingan Yahudi. Semuanya itu paralel dengan menggemanya wacana pembukaan hubungan resmi dengan Israel yang ditentang keras ummat Islam Indonesia.

Saat ini para birokrat pemerintah dan politisi Indonesia sudah tidak alergi lagi berhubungan dengan orang-orang Yahudi, hal yang masih sangat tabu beberapa tahun lalu. Para pengusaha? Apalagi. Hanya kalangan ummat Islam saja ---yang berdasarkan rasa solidaritasnya kepada rakyat Palestina dan bangsa Arab yang masih dijajah Israel, serta karena keyakinan agama ---, yang “alergi Yahudi”. Kunjungan para ulama ke Israel merupakan test case bagi ummat Islam Indonesia. Memang pimpinan NU dan Muhammadiyah mengaku tidak tahu-menahu kunjungan anggotanya ke Israel. Namun hal itu tetap menjadi pertanyaan ummat. Mungkinkah kelima orang ulama itu berani berkunjung ke Israel tanpa backing siapa-siapa di tanah air? Bukankah mereka menghadapi resiko yang sangat besar? (Minimal diturunkan dari kepengurusan organisasi dan maksimal fatwa mati oleh ulama yang menentang tindakan mereka).

Sepak terjang Yahudi yang kotor sebenarnya sudah sering kita rasakan. Beberapa waktu lalu misalnya, Monsanto, perusahaan agribisnis milik Yahudi menyuap seorang Menneg LH yang sayangnya kasusnya di-“peti eskan”. Monsanto juga telah menyelundupkan produk ilegal kapas transgenik ke Indonesia setelah menyuap beberapa pejabat teras Departeman Pertanian. Penyelundupan daging ayam “haram” asal Amerika yang pernah diributkan media massa beberapa waktu lalu diduga juga dilakukan oleh perusahaan ini. Monsanto adalah perusahaan agribisnis terbesar dunia yang paling kontroversial yang sering dikecam kalangan pecinta lingkungan karena produk-produknya yang tidak ramah lingkungan di samping praktik-praktik ilegal yang dilakukannya.

Secara de facto sebenarnya Yahudi sudah menancapkan kekuasaannya di Indonesia, melalui penguasaan saham-saham perusahaan Indonesia, dan juga melalui spion-spionnya yang bertebaran di kursi birokrasi sipil dan militer, LSM, media massa, artis, rokhaniawan, budayawan, cendekiawan hingga politisi. Bukankah mantan Kasad Jendral Ryamizard Ryacudu pernah menyatakan bahwa ada puluhan ribu spion asing yang tinggal di Indonesia? Hanya karena adanya resistensi umat Islam saja maka dominasi Yahudi masih tampak “malu-malu kucing”.

Terkait kunjungan ulama Indonesia ke Israel kini ummat Islam tinggal menunggu reaksi organisasi-organisasi massa Islam. Jika NU dan Muhammadiyah tidak memberikan sanksi apa-apa kepada kelima ulama maka jelas sudah kunjungan mereka telah mendapat restu dari pimpinan organisasi mereka. Jika itu yang terjadi, apalagi jika MUI pun diam seribu basa, maka “harapan” tinggal pada ormas-ormas Islam “radikal” seperti MMI dan FPI.

Lima orang pengurus wilayah NU dan Muhammadiyah sebenarnya hanya batu loncatan saja. Yang dibidik oleh kaum zionis adalah NU dan Muhammadiyah sebagai organisasi massa Islam terbesar di negara Islam terbesar di dunia, Indonesia. Jika NU dan Muhammadiyah dapat “dijinakkan”, maka kedua organisasi itu bakal menjadi bemper bagi dominasi Yahudi di Indonesia. Suatu saat mungkin tidak hanya pengurus wilayah NU dan Muhammadiyah saja yang datang ke Israel, melainkan para pimpinan pusatnya. Dan bila hubungan mesra Israel dengan NU dan Muhammadiyah sudah terjalin, maka bersiap-siaplah kita untuk melihat menorah raksasa berdiri megah di depan istana negara dan ambisi ummat Yahudi menjadi penguasa dunia tinggal di depan mata karena Indonesia sebagai negara Islam terbesar di dunia berhasil ditaklukkan.

Penerimaan dominasi Yahudi oleh bangsa Indonesia membawa implikasi yang sangat mendalam baik dari segi ketatanegaraan Indonesia maupun dari segi keimanan ummat Islam yang mayoritas di Indonesia. Penerimaan terhadap dominasi Yahudi berarti menerima bentuk-bentuk penjajahan dan penindasan karena terbukti Israel-lah bangsa satu-satunya di dunia yang masih mempraktekkan hukum apartheid dan penjajahan yang bertentangan dengan konstitusi Indonesia. Dari segi agama penerimaan terhadap Yahudi berarti menentang isi Al Qur’an dan hadits-hadits nabi Muhammad S.A.W yang secara tegas melarang ummat Islam menjalin hubungan dengan mereka setelah terbukti watak mereka yang jahat.

Meski dominasi Yahudi sudah di depan mata, namun penulis masih percaya pada takdir mulia yang melekat pada bangsa ini. Hanya bangsa Nusantara Indonesia-lah yang punya pengalaman sejarah mengalahkan kekuatan-kekuatan besar jahat dunia. Indonesia pernah mengalahkan imperalisme Mongolia, kolonialisme Eropa dan juga komunisme. Insya Allah anak cucu Raden Wijaya, Gadjah Mada, Singamangaraja, Hasanuddin dan Diponegoro juga akan mengalahkan Zionisme Yahudi.

***

1 comment:

Mohammad Rizal said...

Pak Cahyono Adi, apakah bapak ada tulisan tentang hubungan demokrasi dengan yahudi? Siapakah Kleistenes, siapakah Efialtes? Sejak kapan percampuran antara bangsa Yunani dengan bangsa Yahudi? Apakah ada bukti kuat bahwa revolusi perancis sebagai asas berdirinya negara demokrasi modern digerakkan oleh konspirasi yahudi?