Sunday, 13 February 2011
SANG TERPILIH (25)
Permainan terakhir Subagyo, merancang kerusuhan-kerusuhan berbau sara, adalah agenda lama "organisasi" yang telah diterapkan sejak Indungsia merdeka. Sebagai negara Islam terbesar di dunia, "organisasi" zionis menganggap perlu untuk memainkan politik "pecah belah dan kuasai" atasnya. Yang paling disukai adalah membenturkan "mainstream" Islam dengan sekte-sekte minoritas yang didanainya, atau membenturkannya dengan pemerintah. Dengan begitu aspirasi umat Islam tidak akan pernah sampai pada tataran eksekusi sehingga umat Islam terus-menerus menjadi umat marginal. Dengan marginalnya umat Islam yang mayoritas, otomatis Indungsia bisa dikendalikan oleh sekelompok kecil oligarkis, oportunis dan komprador asing.
Agenda ini sebenarnya sangat membahayakan, karena konflik terbuka yang melibatkan umat Islam akan menimbulkan kerusuhan massal. Karena inilah Subagyo selalu berusaha menghindarinya meski George Soros dan agen-agen "organisasi" di Indungsia seperti para aktifis LSM korup, pers korup, birokrat dan politikus korup, cendekiawan dan pengamat politik korup, hingga tokoh agamawan korup, terus berusaha mengkompori Subagyo. Tapi di saat kondisi Subagyo yang terjepit oleh berbagai manufer lawan-lawan politiknya yang berhasil memanfaatkan kelemahannya sebagai pemimpin, langkah tersebut akhirnya disetujui Subagyo.
Langkah pertama adalah merancang kerusuhan sara di sebuah daerah tertinggal yang masyarakatnya yang religius namun juga masih memandang hormat budaya "jagoan" dan "jawara". Beberapa orang anggota sekte Ahmadiyah bentukan imperalis Inggris di India, yang telah dilarang pemerintah untuk mengadakan kegiatan dakwah karena resistensi umat Islam mayoritas, sengaja memprovokasi warga dengan mengadakan acara pengajian akbar. Sebagian aktifis Ahmadiyah itu tentu saja adalah agen provokator dengan tingkah lakunya yang secara kasar dan "petenthang petentheng". Sampai tahap ini saja sudah cukup untuk memicu kerusuhan massal. Apalagi dengan pengerahan agen-agen provokator di pihak masyarakat, lengkap dengan para juru kamera yang dalam hitungan menit telah menyebarkan rekaman video kekerasan ke media-media massa dan menciptakan kegemparan massal.
Aksi kerusuhan massal itu kemudian disusul dengan aksi-aksi sejenis di daerah lain. Kemudian para agen "organisasi" ramai-ramai menuntut tindakan keras pemerintah kepada ormas-ormas Islam yang langsung diamini oleh Subagyo.
Sikap para agen "organisasi" dan Subagyo tentu saja sangat bias dan tidak fair. Masyarakat hanya merespon provokasi yang dilakukan para aktifis Ahmadiyah. Justru para aktifis Ahmadiyah-lah yang telah melanggar ketentuan hukum yang melarang mereka melakukan kegiatan dakwah. Tapi anehnya justru masyarakat Islam yang disalahkan. Lagipula bukankah aksi-aksi kekerasan itu tampak jelas sebagai operasi inteligen "false flag": merancang suatu peristiwa kekerasan yang kesalahannya ditimpakan pada orang atau kelompok yang bukan pelaku agar bisa menjadi alasan bagi diadakannya tindakan terhadap orang atau kelompok yang diincar. Ini mirip operasi inteligen di balik Tragedi WTC 2001.
Sadar atau tidak Subagyo telah menjerumuskan diri dalam permainan yang sangat membahayakan yang mungkin saja menjerumuskannya sebagaimana presiden Tunisia Ben Ali dan presiden Mesir Husni Mubarak. Jika ia memaksakan menindak keras ormas-ormas Islam, sementara membiarkan Ahmadiyah yang terus menerus melakukan provokasi, maka ia akan dicap sebagai musuh Islam, kafir yang halal untuk dilawan.
Dan dalam urusan ini umat Islam Indungsia tidak memiliki kompromi kecuali melawan, sebagaimana mereka pernah melawan penjajah kafir Belanda dan orang-orang komunis PKI.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment