Sunday, 13 February 2011

Korbankan Diktator, Selamatkan Kepentingan


Sepanjang sejarah dunia modern, setidaknya setelah Perang Dunia 2, kita seringkali menyaksikan sebuah ironi politik yang dilakukan Amerika: menyingkirkan begitu saja para diktator yang telah mengabdikan dirinya untuk Amerika selama belasan hingga puluhan tahun. Dan kini kita baru saja menyaksikan dua peristiwa sejenis secara berurutan dalam jangka waktu yang sangat pendek: tersingkirnya Presiden Tunisia Ben Ali dan Presiden Mesir Husni Mubarak. Dan seperti biasanya, Amerika menyampakkan mereka begitu saja, tidak bersedia melindungi dan menyambut mereka dari pelariannya setelah puluhan tahun mengabdikan diri mereka kepada Amerika sembari menindas rakyatnya sendiri.

Di masa lalu kita telah melihat pengalaman sejenis dialami oleh diktator Trujillo dari Dominika, Shah Reza Pahlevi dari Iran, Presiden Diem di Vietnam, diktator Somoza dari Nicaragua, Batista di Kuba, Marcos di Filipina, Pinochet di Chile, Soeharto di Indonesia, dan lain-lainnya.

Di antara para diktator tersebut yang cukup beruntung adalah Somoza dan Batista yang diberikan tempat perlindungan di pelarian. Trujilo dan Diem bahkan harus menebus nyawanya yang dicabut oleh agen-agen rahasia CIA karena menolak mengikuti perintah Amerika di saat terjadi krisis politik.

Ketika rakyat memberontak terhadap regim-regim tersebut, secara standar Amerika melakukan tiga langkah sbb: secara resmi membuat pernyataan mendukung prosed demokrasi dan pergantian kekuasaan, secara diam-diam menyatakan dukungan pada diktator lama, dan secara diam-diam juga berusaha mencari calon penguasa baru yang bisa meneruskan "pengabdiannya" kepada Amerika. Bari Amerika tidak ada hubungan yang abadi melainkan kepentingan yang abadi.

Beberapa faktor yang diperhitungkan Washington untuk tetap mendukung atau menyingkirkan regim-regim diktatornya adalah: kemampuan diktator mengendalikan kerusuhan, kekuatan pendukung-pendukung sang diktator terutama militer serta keberadaan calon pengganti. Satu faktor lagi tentu saja adalah usia sang diktator. Semakin tua sang diktator, semakin tidak disukai Amerika meski memiliki kemampuan untuk mengendalikan kekuasaan dan memiliki pendukung kuat. Dalam hal terakhir ini sangat tampak pada diri Husni Mubarak. Meski masih memiliki pendukung kuat, termasuk mampu memobilisasi puluhan ribu massa pendukung untuk menandingi massa demontran penentangnya, usianya yang sudah 82 tahun sangat tidak menjamin keberlangsungan regimnya.

Terlalu lama menunggu untuk bersikap atas gerakan revolusi rakyat yang mengancam diktator dukungannya sangatlah berbahaya, karena semakin lama gerakan berlangsung, semakin menghancurkan dampaknya. Jika awalnya rakyat hanya menuntut keadilan, terakhir rakyat menuntut perubahan sistem secara keseluruhan termasuk penguasa dan aparatusnya serta sistem politik. Miskalkulasi tentu saja sering terjadi seperti dalam kasus Batista di Kuba dan Shah Iran. Karena terlalu lama membiarkan status quo dan mendukung diktator penguasa, gerakan sosial kemudian berubah menjadi revolusi yang membongkar habis sistem politik yang tadinya pro-Amerika menjadi anti-Amerika.

Kesalahan perhitungan juga terjadi di Nikaragua. Karena terlalu lama membiarkan Somoza dalam posisinya meski tetap mengkritik kediktatorannya, gerakan rakyat berubah menjadi revolusi yang membongkar habis sistem pemerintahan Nikaragua menjadi komunis yang sangat anti-Amerika, termasuk menasionalisasi perusahaan-perusahaan Amerika yang berada di sana.

Pada tahun 1980-an Amerika mulai merubah sikap menghadapi gerakan-gerakan rakyat melawan diktator yang didukungnya. Alih-alih ngotot mempertahankan sang diktator, Amerika mulai bersikap lunak, yaitu mendukung perubahan yang demokratis namun tanpa merusak sistem, struktur dan idiologi pemerintahan. Dengan demikian kepentingan Amerika masih tetap bisa terjaga.


Pelajaran Sejarah dan Implikasinya


Presiden Barack Obama sebenarnya sangat menyayangkan kalau harus kehilangan Husni Mubarak, bahkan ketika aksi-aksi demonstrasi menentang Mubarak sudah sedemikian massif. Secara formal ia memang mendesak Mubarak untuk memenuhi tuntutan rakyat. Namun secara diam-diam ia mengirimkan Frank Wisner, seorang yang memiliki kepentingan bisnis kuat dengan regim Mubarak dan karenanya menentang upaya penumbangan Mubarak dari kekuasaan. Alasan paling kuat tentu saja karena tumbangnya Mubarak bisa menjadi preseden bagi penumbangan regim-regim boneka Amerika lainnya seperti di Honduras, Mexico, Jordania, Aljazair, dan bahkan mungkin Indonesia.

Faktor lain tentu saja adalah adanya tekanan lobi kalangan zionis Isreal maupun Amerika sendiri untuk mempertahankan Barak, sekutu paling strategis Israel di Timur Tengah. Pemerintah Israel bahkan melakukan pendekatan-pendekatan diplomatik yang intensif ke negara-negara barat untuk tetap mendukung Mubarak.

Akibatnya Amerika terkesan agak lambat dalam menghadapi krisis Husni Mubarak. Amerika sibuk untuk mencari figur pengganti Mubarak yang sesuai dengan keinginan mereka, berusaha mempertahankan sistem politik dan birokrat sipil-militer yang selama puluhan tahun menjadi kepanjangan tangan Amerika, serta mencari formula transisi kekuasaan yang bisa mengendurkan mobilisasi dan radikalisme massa.

Hambatan utama penumbangan Mubarak dari kekuasaan adalah adanya sejumlah besar aparatur negara yang masih setia pada Mubarak. Mereka meliputi 325.000 aparat inteligen CSF (Central Security Forces) dan 60,000 anggota Garda Nasional yang komandonya berada langsung di bawah Mendagri dan Mubarak sendiri. Sementara 450.000 tentara nasional yang mendapat hak-hak istimewa selama puluhan tahun, terlalu sulit untuk merubah "mindset" mereka untuk tidak loyal kepada Mubarak. Mereka tentu juga tidak menginginkan terjadinya perubahan kekuasaan negara yang nantinya berujung pada pengadilan atas kekayaan mereka. Mereka menyadari bahwa kekayaan dan privilege yang mereka terima dari Mubarak adalah berasal dari Amerika.

Obama tentu saja menginginkan aparatur birokrat dan militer tersebut tetap utuh. Namun ia juga harus bisa meyakinkan mereka untuk mau mengganti Mubarak dan menggantinya dengan regim baru yang bisa menyurutkan gerakan revolusi yang semakin lama semakin cenderung anti-Amerika dan Israel.

Amerika mulanya mencoba berunding dengan para demonstran tentang prospek gerakan revolusi ke depan. Amerika berusaha meyakinkan para demonstran untuk menerima tawaran Mubarak untuk berunding, namun ditolak demonstran sebelum terlebih dahulu Mubarak menyatakan mengundurkan diri. Kemudian tawaran Mubarak untuk tidak mengikuti pemilu mendatang (bulan September) juga ditolak demonstran.

Maka kemudian melalui utusannya, Frank Wisner, Amerika mengusulkan kepada Mubarak sebuah upaya "trial and error", uji kekuatan sekaligus dengan harapan bisa menghancurkan gerakan revolusi. Mubarak pun pada tgl 3 Februari mengirim ribuan aparaturnya yang setia dan preman yang sengaja dilepas dari penjara, dengan berpakaian sipil, menyerang para demonstran yang berdemo di Lapangan Thahrir. Upaya ini pun gagal karena perlawanan sengit para demonstran. Setelah ribuan korban menjadi korban aksi tersebut, Amerika dan Uni Eropa pun meminta Mubarak menghentikan aksinya. Namun nasi sudah menjadi bubur: demonstran semakin radikal dan militer mulai merasa berkewajiban untuk melindungi rakyat. Yang terakhir inilah yang kemudian membuat Mubarak menyerah terhadap tuntutan rakyat.

Kini Mubarak telah mundur dengan nasib ke depannya yang tidak jelas. Amerika berhadap militer yang kini menjadi penguasa transisi, masih bisa diajak berkompromi. Namun tentu saja itu tidak mudah. Sebagian besar rakyat Mesir telah muak dengan peran antagonis yang telah dimainkan Mesir di bawah Mubarak selama 30 tahun: menjadi "anjing penjaga" Israel dan pelayan Amerika yang membiarkan saudara-saudaranya rakyat Palestina di Gaza dibunuhi di depan mata dalam aksi militer-sosial-politik paling keji sepanjang sejarah dunia modern yang dilakukan Israhell.


Ref:
James Petras; "Washington Faces the Arab Revolts: Sacrificing Dictators to Save the State"; truthseeker.co.uk; 8 Februari 2011.

No comments: