Thursday 27 October 2011

DALAM JERATAN HUTANG



Mengurus ekonomi negara secara prinsip tidak berbeda dengan mengurus ekonomi keluarga atau perusahaan. Dengan menggunakan prinsip efisiensi, efektititas serta produktifitas maka sebuah keluarga, perusahaan dan juga negara dijamin 100% bakal mengalami kemajuan ekonomi dan kemakmuran.

Jika sebuah keluarga atau perusahaan memiliki sumber pendapatan sebesar $ 1 juta setahun, maka prinsip efisiensi, efektititas dan produktifitas akan membuat keluarga atau perusahaan membelanjakan pendapatannya itu untuk hal-hal yang produktif (memberikan hasil yang lebih besar dibanding biaya yang dikeluarkan), efisien (menggunakan modal yang seminimal mungkin untuk mendapatkan hasil tertentu), dan efektif (memilih kegiatan produktif yang paling besar keuntungannya).

Dan semuanya akan semakin sempurna jika memperhatikan kebijaksanaan: kehati-hatian dan kebijaksanaan. Tidak menghabiskan uangnya untuk satu kegiatan/investasi/proyek melainkan ke beberapa kegiatan/investasi/proyek demi mengurangi resiko. Selain itu tabungan juga menjadi satu hal yang penting dalam hal ini. Dengan pendapatan yang dimilikinya, keluarga dan perusahaan yang bijak akan menyisihkan sebagian darinya untuk tabungan. Fungsi tabungan ini di samping untuk jaga-jaga juga merupakan bentuk kekayaan riel. Dengan adanya tabungan yang semakin besar dari tahun ke tahun, sebuah keluarga atau perusahaan semakin mapan secara ekonomi, semakin makmur dan kaya.

Dalam konteks Indonesia, dengan RAPBN yang diprediksi mencapai Rp 1.500 triliun mestinya kita membelanjakannya di bawah jumlah itu sehingga kita bisa menabung. Tidak ada kewajiban, hukum, atau pun tuntunan moral yang mengharuskan kita menghabiskan semua pendapatan (anggaran berimbang) apalagi besar pasak daripada tiang (defisit). Dalam kedua hal itu tuntunan moral bahkan mengutuknya. Dunia tidak akan kiamat dan rakyat tidak akan sengsara jika kita mengabaikan dua prinsip itu. Jika setiap tahun kita menyisihkan sebagian pendapatan negara untuk menabung maka cadangan devisa dan aset-aset negara akan bertambah banyak dari tahun ke tahun yang mana bisa digunakan untuk mengatasi berbagai krisis yang melanda seperti bencana alam, krisis ekonomi, peperangan dan sebagainya. Cadangan devisa dan aset-aset kekayaan negara itu juga bisa digunakan untuk menambah kuantitas dan kualitas pembangunan serta subsidi kepada rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan fasilitas sosial sehingga secara riel rakyat menikmati kesejahteraan.

Belanja negara juga harus efektif, efisien, produktif, bijak dan hati-hati. Proporsi belanja rutin yang lebih besar dari anggaran pembangunan adalah melanggar prinsip-prinsip di atas. Pembangunan infrastruktur yang tidak merata juga melanggar prinsip-prinsip di atas. Bukannya Jawa yang pembangunan infrastrukturnya digenjot habis-habisan, mestinya Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Iran yang kekayaan alamnya masih terbengkalai. Inilah prinsip efektifitas. Dan bukannya membail-out Bank Century, membeli pesawat kepresidenan atau membangun gedung DPR baru, mestinya mensubsidi industri nasional strategis seperti Mobnas, IPTN, INKA, PAL, PINDAD, membuka lahan-lahan pertanian dan perkebunan di luar Jawa. Inilah prinsip efisiensi sekaligus efektifitas.

Membangun infrastuktur jalan raya dan kereta api di Kalimantan, misalnya, akan memberikan keuntungan ekonomi yang luar biasa. Karena dengan adanya transportasi yang memadai, akan menimbulkan multiplier effect yang luar biasa bagi perekonomian. Cukup bagi pemerintah untuk membangun sarana infrastruktur dan memeliharanya, maka rakyat sendiri dari petani miskin dan pengusaha UKM hingga investor kaya, yang akan menggerakkan roda perekonomian, menciptakan nilai tambah produksi dan pendapatan nasional serta menyerap tenaga kerja.

Tapi anehnya dalam realisasi pengelolaan ekonomi Indonesia, hal penting ini justru diabaikan. Kita pernah menggunakan prinsip anggaran berimbang (semua pendapatan dihabiskan pada tahun itu juga), bahkan prinsip anggaran defisit seperti sekarang dilakukan pemerintahan kita. Akibatnya kita bukannya tambah kaya dan makmur, justru semakin terlilit dengan hutang luar negeri yang menggunung dari tahun ke tahun. Semua sumber daya dan pendapatan negara habis untuk membayar bunga hutang. Dan pada akhirnya kelak, kita semua bakal bangkrut karena beban hutang sebagaimana kini dialami negara-negara Eropa.

Presiden SBY baru-baru ini mengatakan, APBN defisit tidak akan lagi diterapkan pada tahun 2014, saat ia sudah tidak lagi berkuasa. Betapa na'ifnya kita dan betapa kejamnya penguasa menjadikan rakyatnya sengsara.

Berikut adalah gambaran kehancuran ekonomi Amerika akibat salah kelola ekonomi negara yang saya transkripkan dari artikel "In Debt Up To Our Eyeballs" di blog The Economic Collapse Blog tgl 18 Oktober 2011:

Seluruh sistem finansial dunia barat didisain untuk menjadi pusaran hutang. JUmlah total hutang selalu bertambah dari tahun ke tahun. Kini, jumlah total hutang kita sangat membelalakkan mata dan sepertinya semua orang kini berbicara tentang "pengurangan hutang".

Namun di dunia dengan sistem ekonominya berdasarkan hutang, adakah suatu cara pengurangan hutang tanpa menimbulkan krisis ekonomi yang menghancurkan?

Pemerintahan negara-negara barat telah banyak menghambur-hamburkan uang seperti "tidak ada lagi hari esok", dan kini "hari esok" itu telah datang dan seluruh hutang itu tiba-tiba menimpa kita dengan keras. Para politisi berlarian ke sana kemari berusaha mengatasi krisis dengan "rencana kebijakan", namun sebenarnya tidak ada satu kebijakanpun yang bisa mengatasi masalah hutang itu. Dan dalam beberapa tahun ke depan kita akan memanen apa yang telah kita semai.

Pada tahun fiskal 2011, pemerintah Amerika memiliki defisit anggaran mendekati $1,3 triliun. Ini adalah tahun ketiga dimana defisit anggaran pemerintah mencapai di atas $1 triliun. Yang menyedihkan, kebanyakan rakyat Amerika tidak memiliki gambaran betapa besar nilai uang $1 triliun itu. Namun satu atau dua gambaran berikut mungkin bisa menolong.

Jika pada suatu hari di masa Yesus lahir, seseorang mulai membelanjakan uang $1 juta (setara sekitar Rp 9 miliar) setiap hari, orang itu tidak akan sampai menghabiskan $1 triliun hingga saat ini. Dan jika seseorang mulai membelanjakan uang $1 dolar (setara sekitar Rp 9 ribu) setiap detik, maka orang itu akan membutuhkan waktu 31.000 tahun untuk menghabiskan uang sebesar $1 triliun.

Beberapa orang beranggapan mungkin pajak kepada orang kaya bisa mengatasi masalah. Baik, jika Bill Gates memberikan seluruh harganya kepada pemerintah, itu hanya cukup untuk mengatasi defisit selama 15 hari.

Bukan, bukan itu sebenarnya masalahnya. Masalahnya adalah "masalah belanja". Setiap tahun pemerintah menghabiskan $20 miliar untuk membangun tenda dan bangunan darurat di Irak dan Afghanistan, lebih besar nilainya dari yang dihabiskan untuk pemeliharaan sistem kereta api selama 20 tahun. Saat ini hutang pemerintah Amerika telah menembus angka $13 triliun. Dengan defisit anggaran yang semakin besar, tidak lama lagi hutang Amerika akan mencapai $15 tiliun.

Kini hutang itu telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah, dan pemerintah Amerika tidak merasa khawatir untuk terus menambahnya. Hore.

Katakanlah pemerintah Amerika akhirnya sadar untuk tidak lagi menambah hutang dan mulai mencicilnya saat ini juga, $1 per-detik. Maka diperlukan waktu 440.000 tahun untuk mencicil hutang-hutang itu.

Dan yang lebih parah adalah, bukannya berusaha mengurangi hutang, pemerintah Amerika justru semakin gencar berhutang. Amerika adalah negara kaya. Pemasukan pemasukan pemerintah dari pajak dan lain-lainnya mencapai $2 triliun lebih, atau hampir 20 x lipat total anggaran negara Indonesia. Tapi jumlah yang luar biasa besar itu menjadi tidak berarti saat penguasa pengkhianat rakyat yang korup berkuasa. Pemerintah harus berhutang lagi hingga $1,3 triliun untuk menutupi defisit anggarannya yang sebagian besar berupa proyek-proyek tak berguna bagi kepentingan rakyatnya, seperti anggaran pertahanan dan perang, atau anggaran untuk membiayai ibu negara shopping ke Paris dengan menggunakan pesawat kepresidenan.

Psda awal dekade 1980-an, Presiden Ronald Reagan menyatakan bahwa hutang nasional merupakan bentuk krisis nasional. Kini hutang itu telah berkembang 14 x dari saat Reagan disumpah menjadi presiden. Sesuatu telah menjadi menakutkan, kesalahan yang menakutkan. Pada tahun 2001 APBN Amerika hanya mencakup 18% dari total GDP. Kini angka itu telah melonjak menjadi 24%. Belanjat negara telah bergerak ke arah yang salah. Dan sebagian besar dari belanja itu masuk kantong beberapa individu Amerika.

Eropa kini menghadapi masalah hutang yang sama. Bahkan kehancuran ekonomi mungkin akan terjadi terlebih dahulu di Eropa sebelum Amerika. Yunani, Portugal, Irlandia, dan Italia kini memiiki rasio hutang-GDP mencapai 100% lebih. Spanyol juga mengalami masalah yang sama.

Saat ini Yunani, Portugal, Irlandia, Italia dan Spanyol memiliki total hutang hingga $3 triliun euro lebih.

Seluruh dunia kini terperosok ke dalam kubangan hutang. Menurut "Economist" total hutang pemerintah negara-negara di seluruh dunia mencapai 40 trillion dollar, itu belum termasuk hutang "kewajiban-kewajiban di masa mendatang" seperti yang harus ditanggung pemerintah.

Bagaimana mungkin negara-negara terjerembab ke dalam hutang? Kombinasi 2 hal-lah yang menjadi penyebabnya: para pemimpin korup yang membiarkan orang-orang jahat mengendalikan mereka di belakang layar, dan rakyat yang bodoh.

No comments: