Sunday, 16 October 2011

KEMBALINYA SANG JAGOAN RUSIA


Wajahnya muncul di media-media massa Rusia beberapa waktu lalu. Bertelanjang dada menunjukkan otot-otot tubuhnya yang kekar, menenteng senjata laras panjang, dan di bawah kakinya tergeletak seekor harimau Siberia yang ditembaknya setelah menteror penduduk. Itulah Vladimir Putin, mantan Presiden yang kini menjabat sebagai perdana menteri Rusia.

Pada masa kepemimpinannya sebagai Presiden, Putin berhasil mengembalikan Rusia dari keterpurukan ekonomi-sosial-politik akibat birokrasi korup serta kerakusan para "oligarch" dan "mafiya" yahudi, menjadi negara maju dan dihormati kawan dan lawan. Untuk melakukan itu semua, ia telah memenjarakan banyak birokrat korup dan "oligarch" dan "mafiya" yahudi yang rakus. Namun setelah kepresidenan dipegang penerusnya, Dimitri Medvedev, Rusia mengalami kemunduran dalam hal integritas dan harga diri bangsa. Sikap Medvedev yang pro-Amerika-lah yang membuat Rusia seolah tenggelam dalam percaturan internasional. Satu demi satu pengaruh Rusia lepas begitu saja, terakhir adalah Libya. Di bawah Medvedev pula sekutu Rusia lainnya, Syria, mengalami kerusuhan akibat intervensi Amerika dan sekutu-sekutunya dengan Rusia hanya bisa melongo. Padahal Syria adalah sekutu strategis Rusia yang bisa dilihat dari keberadaan pangkalan AL Rusia di sana.

Namun kemunculan kembali Putin dalam pemerintahan, meski belum dikukuhkan secara resmi, telah membawa perubahan signifikan. Bersama Cina, Rusia menggagalkan resolusi DK PBB tentang sanksi terhadap Syria yang bisa menjadi pintu masuk bagi intervensi militer Amerika dan sekutunya sebagaimana terjadi di Libya. Rusia juga dengan tegas menolak sanksi yang hendak dikenakan Amerika dan sekutu-sekutunya atas Iran terkait adanya "rencana pembunuhan dubes Saudi di Amerika" yang menurut Amerika dilakukan oleh inteligen Iran. Tidak hanya itu, Rusia tengah mengkaji penggelaran sistem pertahanan udara "Alexander" di Syria. Dan saat tulisan ini dibuat, Putin tengah berada di Cina untuk bertemu para pejabat tertinggi Cina membahas kerjasama kedua negara menghadapi dominasi Amerika dan sekutunya.

Menurut berbagai analisis politik, kemunculan kembali Putin sebagai presiden Rusia yang memiliki kekuasaan eksekutif lebih besar daripada perdana menteri, sepertinya bakal tidak terhindarkan lagi. Meski Medvedev kemungkinan juga bakal bersaing dalam pemilihan presiden yang dilakukan sidang umum parlemen mendatang, Putin memiliki dukungan politik lebih luas. Di samping partai berkuasa United Russia (partainya Putin dan Medvedev), Putin juga mendapat dukungan partai-partai lain yang membentuk aliansi "The Populer Front".

Banyak kalangan politik Rusia yang mengkhawatirkan masa depan Rusia dengan gaya kepemimpinan Medvedev dengan motonya, "the state of law and establishments." Mereka mengkhawatirkan Rusia akan hancur, cepat atau lambat, tenggelam dalam pengaruh barat, diawali dengan revolusi sosial sebagaimana terjadi di negara-negara Eropa Timur di masa lalu, dan Arab sekarang ini. Mereka menganggap moto yang diusung Medvedev justru akan memperlemah Rusia. Rusia harus teguh dalam persatuan, dan tajam dalam menghadapi berbagai situasi internasional. Dan semua itu tercermin dalam gaya kepemimpinan Putin.

Publik masih ingat bagaimana reaksi Putin yang sangat tegas dan cepat dalam menghadapi situasi darurat. Dan hal itu telah menyelamatkan Rusia. tSaat Chenchnya nyaris lepas dari kekuasaan karena kepemimpinan pendahulunya yang lemah, Putin mengambil tindakan tegas dengan mengirimkan pasukan menggempur para pemberontak dan mengembalikan Chenchya dalam genggaman. Bahkan saat para pemberontak Chechnya mencoba melakukan aksi penyanderaan ratusan warga Rusia dalam satu gedung opera untuk memaksa Rusia berunding, Putin mengakhirinya dengan serbuan militer. Begitu juga saat negeri tetangganya, Georgia, menyerang wilayah protektorat Rusia, Ossetia Selatan, Putin bereaksi cepat. Georgia digempur habis hingga pasukan Georgia lari terbirit-birit.


TAKKAN TINGGALKAN SYRIA
Rusia telah banyak kehilangan pengaruh di berbagai negara yang dahulunya merupakan sekutunya: Irak, Aljazair, Libya, Yaman. Namun kehilangan Syria sebagai sekutu adalah hal paling menyakitkan Rusia karena Syria adalah sekutu yang sangat strategis. Syria memberi akses Rusia ke Laut Tengah, selain posisinya sebagai "penjaga punggung" Rusia di Timur Tengah. Di Syria pula Rusia menempatkan pangkalan AL-nya.

Munculnya kembali Putin ke kancah politik segera menyadarkan Rusia untuk menjaga aset terpenting mereka itu. Dan hal itu sudah dilakukan dengan memveto draft resolusi DK PBB tentang sanksi terhadap Syria, yang bisa menjadi pintu masuk dilakukannya intervensi militer Amerika dan sekutunya.

Tidak hanya itu, Rusia kini mempertimbangkan untuk menggelar sistem pertahanan udara paling canggihnya, "Alexander", di Syria sebagai respons atas penggelaran sistem pertahanan udara Amerika di Eropa Timur dan Turki. Pelatihan terhadap personil militer Syria yang bakal menangangi sistem senjata canggih itu kini bahkan telah dilakukan di Rusia.

Jika "Alexander" jadi dipasang di Rusia, akan mengubah keseimbangan militer Timur Tengah secara sangat signifikan. Israel yang selama ini menjadi penguasa udara di kawasan itu akan dibuat tidak berdaya oleh Syria dan lawan-lawan Israel seperti Hizbollah dan Hamas akan semakin berani menyerang Israel.

No comments: