Saturday, 7 September 2013

Perang Suriah dan Nalar Kemanusiaan

Dina Y. Sulaeman*


"Pemerintahan Assad cukup buruk sehingga mungkin saja menggunakan senjata kimia, tetapi apakah mereka cukup gila untuk melakukannya? Untuk melancarkan serangan senjata kimia di Damaskus tepat pada hari yang sama ketika Inspektur Senjata Kimia PBB datang ke Damaskus? Ini pasti definisi baru dari kegilaan. Dan bila Assad sedemikian buruk dan gilanya, bagaimana mungkin dulu PM Tony Blair mengundangnya ke London, bahkan diterima Ratu di Istana Buckhingham?"

(George Galloway, anggota parlemen Inggris)


Common sense alias akal sehat adalah frasa yang diulang-ulang oleh beberapa tokoh dunia dalam menyikapi serangan senjata kimia di Suriah yang terjadi di Ghouta, pinggiran Damaskus, tanggal 21 Agustus lalu. Vladimir Putin, Presiden Rusia, di Vladivostock(30/8) mengatakan, "Kita harus bersandar pada akal sehat. Tentara Suriah sedang dalam posisi ofensif dan tengah mengepung para pemberontak di beberapa wilayah. Dalam kondisi seperti ini, amat konyol bila menyerahkan kartu truf kepada mereka yang selama ini selalu menyerukan intervensi militer asing, apalagi dilakukan tepat ketika datangnya misi inspeksi PBB."

Tentu saja, Assad pun mengatakan hal senada, "Adakah negara yang menggunakan senjata kimia atau senjata pemusnah massal di sebuah tempat dimana pasukannya sendiri terkonsentrasi disana? Hal ini jelas bertentangan dengan akal sehat!"

George Galloway, dengan berapi-api mengingatkan anggota Parlemen Inggris agar menggunakan logikanya, "Pemerintahan Assad cukup buruk sehingga mungkin saja menggunakan senjata kimia, tetapi apakah mereka cukup gila untuk melakukannya? Untuk melancarkan serangan senjata kimia di Damaskus tepat pada hari yang sama ketika Inspektur Senjata Kimia PBB datang ke Damaskus? Ini pasti definisi baru dari kegilaan. Dan bila Assad sedemikian buruk dan gilanya, bagaimana mungkin dulu PM Tony Blair mengundangnya ke London, bahkan diterima Ratu di Istana Buckhingham?"

Ya, pada tahun 2002, Bashar Assad dan istrinya, Asma, melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris. Selain bertemu dengan Ratu Elizabeth, Blair pun menjamunya makan siang. Bahkan, baru-baru ini, media Inggris mengungkap bahwa Blair pun saat itu mengupayakan agar Assad diberi gelar ksatria kehormatan oleh Ratu. Namun hal ini batal dilakukan. Agaknya karena Assad tetap menolak menghentikan konfrontasinya dengan Israel. Bahkan dalam jumpa pers bersama Blair, Assad dengan tegas menolak tuduhan bahwa pihaknya melindungi organisasi teroris. Menurutnya, kantor Hamas dan Jihad Islam yang berada di Damaskus adalah "kantor juru bicara rakyat Palestina", bukan kantor teroris.

Ketika akhirnya Parlemen Inggris menolak keinginan PM Cameron untuk bergabung dengan AS menyerang Suriah, Putin berkomentar, "Ini tidak disangka-sangka, tapi menunjukkan akal sehat."

Ya, akal sehat. Nalar. Inilah yang agaknya sulit ditemukan dalam analisis konflik Suriah yang disampaikan oleh pihak-pihak pro-pemberontak. Tanpa menunggu bukti penyelidikan dari PBB, Obama dan rekannya Cameron bersuara keras menuduh Assad sebagai pelakunya. Dari Israel, hanya beberapa jam setelah kejadian, Menteri Perang Israel, Moshe Yaalon, mengklaim bahwa pihaknya sudah mengetahui siapa pelaku serangan senjata kimia yang menewaskan ratusan rakyat sipil itu. Tak lain, tentara Assad, kata Yaalon. Dan seperti biasa, media massa mainstream, yang (anehnya) bekerja sama dengan media-media berlabel Islam, dengan segera menyebarluaskan foto-foto dan video korban senjata kimia, yang memicu keprihatinan luas publik dunia.

Seperti biasa pula, para facebooker dan blogger –lah yang segera berjuang melawan hegemoni media "mainstream" dengan cara memberikan pengimbangan berita. Dengan cepat mereka menyebarluaskan ‘penemuan' mereka. Ternyata, foto korban senjata kimia Suriah yang disebarluaskan oleh Al Jazeera dan Reuters sudah diunggah sehari sebelum kejadian. Bahkan mereka menemukan video yang memperlihatkan beberapa aktor sedang berakting terkena gas kimia. Juga, mereka mendeteksi keanehan video yang disebarluaskan, antara lain, bila dalam rekaman tersebut benar korban gas sarin, mengapa tim penolong yang datang tidak mengenakan masker? (Gas sarin sangat mudah menyebar dari tubuh-tubuh yang terkena, termasuk yang sudah menjadi mayat; blogger)


Lambat laun, media-media besar pun mulai memberitakan berbagai bukti kejanggalan serangan senjata kimia itu. Antara lain, koresponden Associated Press, Dale Gavlak (29/8) menulis laporan investigasinya yang mengungkap bahwa senjata kimia itu berada di tangan pasukan pemberontak yang meledak secara tak sengaja. Bahkan, senjata kimia itu disuplai oleh Pangeran Bandar bin Sultan, Direktur Badan Intelijen Arab Saudi, untuk kelompok pemberontak Jabhah Al Nusrah yang merupakan sayap Al Qaida. Sekelompok pemberontak di Ghouta menangani senjata yang berupa tabung gas besar itu secara ceroboh dan akhirnya meledak. Dua belas pasukan pemberontak tewas bersama ratusan rakyat sipil lainnya.

Namun Obama, Cameron, Hollande, dan Erdogan mengabaikan semua kejanggalan ini dan berkeras mempertahankan narasi mereka: Assad adalah rezim bengis pengguna senjata kimia; dia harus digulingkan demi menyelamatkan rakyat Suriah. Tantangan Putin, "Mereka (Barat) menyatakan punya bukti(bahwa tentara Assad yang menggunakan senjata kimia);mereka harus menunjukkan bukti itu. Bila mereka tidak bisa menunjukkannya, artinya mereka memang tak punya bukti"dianggap angin lalu.

Untunglah, masyarakat di berbagai belahan dunia lebih banyak yang menggunakan akal sehatnya. Demo-demo antiperang Suriah digelar di berbagai negara, mulai dari AS, hingga Yordania. Di depan Gedung Putih, mereka membawa spanduk bertuliskan "War on Syria Built on a Lie". Demo-demo di Washington, Los Angeles , Chicago dan New York seolah membuktikan kebenaran jajak pendapat yang diselenggarakan Reuters, 60% rakyat AS menolak intervensi ke Suriah. Di Jerman, selain rakyatnya berdemo antiperang, Angela Merkel pun telah mengumumkan bahwa pihaknya tidak akan ikut mengirim pasukan ke Suriah.  London, Turki, Venezuela, Yunani, Yordan pun tak sepi dari demo antiperang Suriah. Tak kurang Vatikan pun menyuarakan penentangannya pada perang.

Di Indonesia, SBY telah secara tegas menolak intervensi militer dan menyerukan solusi politik. Para pemimpin G20 pun tidak berhasil dibujuk oleh Obama untuk mendukung intervensi militer. Sepertinya, sudah lebih banyak pihak yang menggunakan common sense-nya.

Namun sayangnya, sebagian aktivis muslim Indonesia pro-pemberontak Suriah masih saja menyebarluaskan narasi yang antinalar, misalnya: Syiah itu bukan Islam, karenanya sah-sah saja mujahidin bekerjasama dengan pasukan kafir untuk menumpas Assad, atau Mujahidin sebenarnya hampir menang di Suriah dan kemenangan ini sangatlah berbahaya bagi kepentingan Amerika, itulah sebabnya AS ingin menyerang Suriah, yaitu untuk membantu Assad dalam mengalahkan mujahidin. Pernyataan seperti ini tidak logis karena menggunakan asumsi yang ahistoris serta mengabaikan fakta di lapangan.

Lalu, bagaimana dengan kemungkinan intervensi AS di Suriah? Meski awalnya sesumbar akan segera menyerang Suriah, akhirnya  Obama menyerahkan keputusan kepada Kongres yang baru akan bersidang pekan depan. Semoga saja Kongres AS, dan Obama, mau menyerah di hadapan tekanan publik yang tengah menggunakan nalar kemanusiaannya. [IRIB Indonesia/PH]



*Peneliti Tamu di Global Future Institute, penulis, blogger, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad.

SUMBER: BLOG KAJIAN TIMUR TENGAH

No comments: