Friday 20 September 2013

JAKSA TURKI DAKWA PEMBERONTAK SYRIA GUNAKAN SENJATA KIMIA

Meski ditolak oleh Rusia dan dikecam kalangan analis independen, laporan penyelidikan PBB terhadap panggunaan senjata kimia di Syria tidak bisa dengan tegas menyebutkan pemerintah Syria sebagai pelaku serangan senjata kimia. Justru, berbagai laporan yang menyebutkan pemberontaklah sebagai pelaku serangan, semakin melimpah.

Setelah pengakuan mantan tawanan pemberontak asal Italia dan Belgia yang mengklaim pemberontaklah sebagai pelaku serangan senjata kimia, beberapa media internasional termasuk Russia Today, baru-baru ini melaporkan tentang tuntutan jaksa Turki terhadap para pemberontak Syria terkait kepemilikan senjata kimia gas sarin.

Dalam dakwaan yang dikirim kepada pengadilan di kota Adana di Selatan Turki itu disebutkan bahwa para pemberontak Syria telah memesan dan menerima bahan-bahan kimia berbahaya dari Turki. Tuntutan tersebut merupakan tindak lanjut dari kasus penyitaan tabung-tabung silinder berisi gas sarin milik para anggota kelompok Al Nusra Front (jaringan Al Qaida) di Selatan Turki, tgl 28 Mei lalu.

Menurut laporan berbagai media massa, benda-benda tersebut ditemukan di salah satu rumah yang ditempati anggota Al Nusra Front yang kini tengah menjalani penahanan penyidikan.

Sebanyak 5 warga Turki dan seorang warga Syria bernama Haitam Kassap, telah ditangkap dalam kasus ini. Jaksa penuntut selanjutnya mengajukan tuntutan setebal 132 halaman yang berisi bukti-bukti keterkaitan mereka dengan kelompok-kelompok teroris yang kini tengah berperang di Syria. Dalam dokumen tuntutan disebutkan juga bahwa beberapa kelompok teroris salafi berusaha membuat jaringan untuk melakukan serangan teroris di dalam wilayah Turki. Menurut penyidikan tersebut kelompok al-Nusra Front dan Ahrar al-Sham telah mencoba membeli sejumlah besar gas sarin dan bahan-bahan kimia berbahaya lainnya.

Jaksa percaya para pelaku telah mencoba mendapatkan bahan-bahan kimia itu dari Turki untuk selanjutnya mengirimkannya ke Syria. Berdasarkan sadapan komunikasi yang diperoleh jaksa, diketahui para pemberontak Syria itu mencoba membeli 10 ton bahan-bahan kimia berbahaya.

“Klaim bahwa mereka tidak mengetahui pembuatan gas sarin dari bahan-bahan kimia yang mereka beli itu terbantahkan setelah mereka memberikan kesaksian," tulis dokumen penuntutan tersebut.

Pemerintah Syria sendiri telah memberikan beberapa laporan kepada PBB tentang serangan-serangan senjata kimia oleh pemberontak serta temuan-temuan bahan-bahan kimia berbahaya miliki pemberontak. Namun pemerintah Syria justru mendapat tekanan politik dari Amerika dan sekutu-sekutunya setelah terjadinya peristiwa serangan senjata kimia yang menewaskan lebih dari 1.000 orang di Ghouta, Damaskus, tgl 21 Agustus lalu.

MILITER AS AKUI PEMBERONTAK MILIKI SENJATA KIMIA

Berbeda dengan pernyataan pemerintahnya yang menganggap pemberontak tidak mungkin memiliki senjata kimia, para pejabat militer Amerika mengakui sebaliknya. Beberapa dokumen rahasia militer Amerika yang diperoleh "World Net Daily" baru-baru ini menunjukkan bahwa militer Amerika mengetahui pemberontak Syria memiliki senjata kimia. Dokumen tersebut juga terkait dengan penangkapan para anggota Al Qaida di Turki sebagaimana disebutkan di atas.

"Sebuah dokumen rahasia yang diterima WND menunjukkan bahwa militer Amerika membenarkan bahwa gas sarin yang disita awal tahun ini diperoleh dari anggota kelompok Jabhat al-Nusra Front, kelompok pemberontak Islam paling berpengaruh yang berperang di Syria," tulis "World Net Daily" dalam laporannya berjudul "U.S. Military Confirms Rebels Had Sarin" yang ditulis E Michael Maloof, tgl 12 September lalu.

Dokumen tersebut menunjukkan bahwa gas sarin dari kelompok al-Qaida di Irak telah dipindahkan ke Turki untuk diselundupkan ke Syria. Sebagian senjata-senjata itu diduga kuat telah digunakan dalam serangan terhadap penduduk dan militer Syria di Aleppo bulan Maret lalu. Dokumen yang diberi label "Rahasia/Noforn" (bukan untuk kalangan asing) diperoleh "World Net Daily" hari Selasa (10/9).

Dokumen itu membuka fakta bahwa kelompok-kelompok Al Qaida di Irak telah memiliki kemampuan meracik senjata kimia.

Sebuah sumber militer Amerika mengatakan bahwa Amerika telah melakukan serangkaian penyelidikan termasuk menginterogasi orang-orang yang diduga memiliki kaitan sengan masalah ini, dan terdapat "50 indikasi umum" untuk mengawasi gerak-gerik Al Qaida dan senjata kimianya.

Dokumen tersebut menyebutkan upaya serius Amerika menyelidikan kaitan Al Qaida dengan senjata kimia dipicu oleh tertangkapnya beberapa anggota Al Qaida di Iraq dan Turki antara bulan Maret hingga Mei lalu. Meski terjadi penangkapan-penangkapan, Amerika meyakini upaya Al Qaida mengembangkan senjata kimia tidak pernah berhenti.

Penyitaan dan penangkapan yang terjadi bulan Mei lalu muncul setelah pihak keamanan Turki menemukan silinder berbobot 2 kg yang berisi gas sarin. Benda itu ditemukan di beberapa rumah militan Islam pendukung pemberontakan Syria, di Provinsi Adana dan Mersia, Turki. Awalnya pihak keamanan Turki menangkap 12 orang tersangka yang oleh pihaka keamanan Turki disebut sebagai "kelompok pemberontak Syria yang paling agresif dan kuat".

Pada saat penangkapan itu Rusia langsung mengajukan tuntutan agar dilakukan penyelidikan menyeluruh untuk membuktikan keterkaitan pemberontak Syria dengan senjata kimia, khususnya gas sarin.

Penangkapan dan penyitaan senjata kimia itu terjadi menyusul terjadinya serangan senjata kimia oleh pemberontak di Khan al Assal, Aleppo, bulan Maret 2013. Dalam serangan itu sebanyak 26 orang warga sipil dan tentara Syria tewas akibat gas sarin yang ditembakkan menggunakan roket.

Saat itu Syria langsung menuntut PBB melakukan penyelidikan. Syria menuduh Al Qaida bertanggungjawab atas serangan itu sembari menuduh Turki terlibat dalam insiden itu.

“Roket (berisi gas sarin) itu ditembakkan dari wilayah yang dikuasai pemberontak yang berada tidak jauh dengan perbatasan Turki. Kita bisa simpulkan bahwa senjata itu berasal dari Turki,” demikian pernyataan pemerintah Syria kala itu. Meski tidak secara tegas menunjuk pemberontak sebagai pelaku serangan, laporan penyidikan PBB mengingikasikan dengan kuat pemberontak sebagai pelaku serangan kimia.

Namun laporan lebih mendetil diberikan oleh Rusia yang menyebutkan senjata kimia gas sarin itu dibuat di kawasan Sunni di Irak Utara, selanjutnya dikirimkan ke Turki sebelum akhirnya ditembakkan di Syria. ADapun bahah-bahannya, menurut laporan itu disuplai oleh mantan perwira tinggi Saddam Hussein, Izzat Ibrahim al-Douri. Al-Douri pernah menjadi orang terdekat Saddam Hussein sebelum diangkat menjadi Presiden Irak.  Adapun pembuatan senjata-senjata kimia itu dilakukan oleh mantan pembantu Saddam Hussein lainnya, Brigjen (Purn) Adnan al-Dulaimi. Olehnya senjata-senjata itu disuplai untuk para "mujahilin" Al Nusra Front dan kelompok-kelompok lain yang didukung oleh loyalis Saddam Hussein, melalui kota Antakya di Provinsi Hatay, Turki.

Al-Dulaimi adalah figur penting dalam proyek pengembangan senjata kimia Irak era Saddam Hussein. Dunia pun mencatat Irak adalah negara pengguna senjata kimia terbesar di dunia kala memerangi Iran antara tahun 1980-1988. Ia kini menetap di kawasan Barat Laut Irak yang berbatasan dengan Syria, dimana para loyalis Saddam Hussein membangun basis kekuatannya bersama kelompok-kelompok militan Sunni anti pemerintahan Nuri al Maliki yang didukung Iran.

Laporan inteligen rahasia itu memperkuat analisis para ahli bahwa serangan senjata kimia tgl 21 Agustus lalu di luar kota Damaskus dilakukan para pemberontak untuk memprovokasi intervensi militer Amerika. Yossef Bodansky, mantan Direktur "U.S. Congressional Task Force on Terrorism and Unconventional Warfare" mengatakan bahwa senjata-senjata kimia yang digunakan dalam serangan tersebut adalah "produksi rumahan" dan bukan senjata kimia yang diproduksi oleh industri militer sebagaimana dimiliki Syria.

"Sebagian orang keheranan bahwa tidak ada tenaga medis yang menangani korban yang mengenakan pakaian pelindung, karena gas sarin bisa ditularkan dari tubuh korban kepada orang di dekatnya dengan dampak yang mematikan," kata Bodansky, mengomentari gambar-gambar yang menunjukkan penanganan korban serangan oleh tim medis.

"Ini menunjukkan bahwa bahan kimia yang dipertanyakan itu merupakan gas sarin berkekuatan "buatan dapur",” kata Bodansky.

Bodansky memastikan bahwa para "mujahilin" telah memiliki teknologi untuk membuat senjata kimia "buatan dapur" berdasarkan penemuan laboratirium-laboratorium milik mereka di Turki dan Irak serta Afghanistan. Ia juga mamastikan bahwa proyektil-proyektil senjata kimia yang ditunjukkan para pemberontak kepada tim inspeksi PBB bukanlah standar senjata militer Syria.
Penjelasan Bodansky ini memperkuat pengakuan 2 orang mantan tawanan pemberontak Syria yang mengaku mendengarkan percakapan para pemberontak yang mengindikasikan mereka sebagai pelaku serangan tgl 21 Agustus lalu.

"Pemerintahan Bashar al-Assad tidak menggunakan senjata gas sarin atau senjata kimia lainnya dalam serangan di luar Damaskus," kata Piccinin, peneliti Belgia yang menjadi tawanan Al Nusra Front selama 5 bulan, setelah dibebaskan baru-baru ini. Piccinin dan rekannya wartawan Italia bernama Quirico, mengklaim mereka mendengar percakapan melalui Skype yang dilakukan oleh 3 orang pemberontak yang salah satunya diketahui mereka sebagai serang perwira tinggi kelompok Free Syrian Army. Dalam percakapan tersebut mereka mengungkapkan sebagai pelaku serangan gas sarin tgl 21 Agustus yang tujuannya untuk memprovokasi intervensi Amerika.

Pernyataan dan pengakuan itu juga didukung oleh mantan analis CIA Ray McGovern yang baru-baru ini bersama sejumlah pensiunan militer dan inteligen Amerika mengirim surat kepada Presiden Obama menolak tuduhan regim Bashar al Assad sebagai pelaku serangan kimia tgl 21 Agustus. Dalam surat tersebut mereka mengungkapkan adanya pertemuan rahasia para pemberontak seminggu sebelum serangan membahas tentang "persiapan perkembangan penting" dan "perkembangan yang berubah" yang akan diikuti dengan serangan militer Amerika atas Syria.

"Pertemuan-pertemuan pertama antara komandan-komandan militer senior pemberontak dan para pejabat inteligen Qatar, Turki dan Amerika berlangsung di sebuah garnisun militer Turki yang telah diubah di Antakya, Provinsi Hatay, yang kini berfungsi sebagai markas komando pemberontak Free Syrian Army dan sponsor-sponsor asing mereka,” kata McGovern kepada World Net Daily. Surat tersebut juga dilampiri gambar-gambar dan rekaman video yang memperlihatkan para pemberontak menembakkan senjata-senjata artileri yang berisi gas sarin (lihat gambar di atas). Salah satu video bahkan menunjukkan seorang pemberontak bernama Nadee Baloosh dari kelompok Rioyadh al-Abdeen, yang mengakui telah menggunakan senjata kimia.

Dalam video itu al-Abdeen mengakui memiliki senjata yang "mengeluarkan gas yang mematikan."



REF:
"U.S. Military Confirms Rebels Had Sarin"; E Michael Maloof; World Net Daily; 12 September 2013

No comments: