Monday, 17 October 2016

Ada Apa dengan Orang-Orang Syiah Indonesia (2)

Indonesian Free Press -- Pilpres 2014 dan 'demam' Pilkada DKI yang akan digelar tahun depan menunjukkan satu fenomena yang menarik, yaitu 'alienasi' atau 'keterasingan' orang-orang Shiah Indonesia dari mayoritas ummat Islam Indonesia yang mayoritas bermazhab Sunni.

Dengan fenomena itu, orang-orang Shiah cenderung 'menjauhi' ummat Islam mayoritas dengan mendukung Capres dan Cagub yang ditolak oleh mayoritas ummat Islam Indonesia dan menolak Capres dan Cagub yang didukung oleh mayoritas ummat Islam Indonesia. Maka, pada Pilpres 2014 lalu orang-orang Shiah umumnya mendukung Jokowi dan menolak Prabowo. Kemudian dalam masalah Pilkada DKI mereka mendukung Ahok yang ditolak ummat Islam dan menolak pesaing-pesaingnya yang didukung ummat Islam.

Saya memiliki beberapa teman Shiah yang berseberangan dengan kebanyakan orang-orang Shiah dengan menjadi pendukung Prabowo pada Pilpres 2014 lalu dan menolak Ahok dalam Pilkada DKI. Namun 'arus besar' orang-orang Shiah seperti saya sebutkan di atas. Hal ini terwakili oleh sikap para 'elit' mereka seperti, misalnya, Jalalludin Rachmat, Haidar Bagir, Ahmad Taudik, Denny Siregar, Quito Riantori, Ahmaad Samanto, dan suami-istri Otong dan Dina Sulaeman. Bahkan organisasi orang-orang Shiah yang dipimpin Jalaluddin Rachmat, Ijabi, secara resmi dan terang-terangan menyatakan dukungannya pada Jokowi.

Pada tulisan pertama saya sudah menyebutkan alasan mereka cenderung berorientasi politik seperti itu, yaitu karena penyakit sindrom 'minoritas tertindas'. Karena penyakit ini, mereka secara instan dan tanpa melakukan analisis mendalam mendukung tokoh yang ditolak oleh kelompok mayoritas (Islam Sunni) dan membela yang didukung kelompok-kelompok minoritas (non-Islam). Namun pengamatan lebin mendalam menunjukkan adanya motif-motif lain, yaitu ekonomi dan trauma G-30S/PKI.

Bisa dikatakan bahwa sebagian besar 'elit' Shiah itu tergantung hidupnya pada kelompok-kelompok bisnis non-Muslim seperti group Kompas/Gramedia, Tempo/Graffiti Press, Media INdonesia/Metro TV, media-media milik Group Lippo, Yayasan Paramadina yang didanai Amerika, dll. Penerbit Mizan yang didirikan oleh Haidar Bagir juga tidak bisa melepaskan diri dari bayang-bayang Kompas/Gramedia dan Tempo/Graffiti Press.

Faktor trauma G-30S/PKI bisa ditunjukkan dengan sikap politik orang-orang Shiah Indonesia yang umumnya membela PKI dan sangat anti Soeharto/Orde Baru. Penolakan mereka pada Prabowo pada pilpres 2014 lalu juga disebabkan oleh faktor ini karena menganggap beliau sebagai bagian dari Orde Baru. Menurut saya patut diduga sebagian orang-orang yang mengaku Shiah Ahlul Bait itu sebenarnya adalah keturunan PKI yang menyembunyikan kekomunisannya dan tetap memupuk dendam kepada ummat Islam yang telah menghancurkan komunisme di Indonesia.

Ahmad Samanto, penulis buku-buku 'bestseller', dalam satu postingan di blognya menuduh Pak Harto sebagai dalang G-30S/PKI, hanya karena asumsi dan persepsi pribadi dan fakta-fakta yang keliru. Ia berasumsi Pak Harto iri dan membenci Ahmad Yani karena Pak Yani hendak diangkat sebagai pengganti Pak Karno, dan karena itu Pak Harto 'pasti' telah menculik dan membunuh Pak Yani. Samanto juga menuduh Pak Harto telah memerintahkan dua batalyon dari Divisi Diponegoro dan Divisi Brawijaya untuk datang ke Jakarta guna membantu gerakan G-30S/PKI. Padahal sebagai Panglima Kostrad beliau sama sekali tidak berhak memberi komando kepada pasukan yang tidak di bawah komandonya.

Apa yang dilakukan Quito Riantori lebih hebat lagi. Putra salah satu sastrawan Indonesia itu menuduh Karni Ilyas sebagai seorang pengikut faham wahabi-salafi hanya karena Ahok menjadi 'pecundang' dalam sebuah acara diskusi ILC-TVOne. Alasannya adalah karena Karni ILyas berdarah Minang. Tuduhan itu tentu saja sangat tendensius dan tanpa dasar dan sangat tidak pantas dilakukan oleh seseorang yang menggunakan akal, dan bisa disebut sebagai tuduhan rasis.

Padahal Riantori dan kawan-kawannya adalah orang-orang yang gemar menuduh orang yang berseberangan pandangan politiknya dengan tuduhan 'rasis'. Namun ia sendiri telah menunjukkan diri sebagai manusia rasis. Bertambah ironis lagi adalah fakta bahwa ia sendiri juga berdarah Minang, sama seperti Karni Ilyas yang dituduhnya rasis.

Sikap orang-orang Shiah (saya lebih suka menyebutnya sebagai Shiah Jokowi-Ahok, bukan Shiah Ahlul Bait) itu tentu saja bertolak belakang dengan semangat 'ukhuwah Islamiah' yang diperjuangkan oleh para ulama Islam se-dunia. Mereka juga berseberangan dengan sikap pemerintah Iran yang tetap menjunjung tinggi semangat persatuan Islam, yang ditunjukkan dengan dukungan Iran kepada pemerintahan Mohammad Moersi di Mesir, dan pemerintahan Erdogan di Turki, meski keduanya adalah tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang dibenci orang-orang Shiah.

Pemerintah Iran bahkan tetap mendukung kelompok pejuang Palestina Hamas, meski yang terakhir ini telah mengkhianati Iran dengan mendukung pemberontakan di Suriah. Dalam masalah Pilpres 2014 dan Pilkada DKI pun pemerintah Iran juga bersikap bijaksana dengan bersikap netral.

Sebagai perbandingan, orang-orang Shiah Indonesia sangat membenci PKS yang merupakan 'turunan' dari gerakan Ikhwanul Muslimin. Sedemikian bencinya sehingga mereka rela kehilangan akalnya. Mereka akan membenci apapun yang 'disentuh' oleh PKS. Mereka, misalnya, membenci Walikota Bandung Ridwan Kamil hanya karena yang bersangkutan didukung oleh PKS, tidak peduli sebesar apapun prestasi Ridwan Kamil. Sebaliknya, mereka mendukung Ahok, tidak peduli sebesar apapun kerusakan yang ditimbulkannya. Bagi mereka akal sudah tidak berlaku dan lebih penting adalah nafsu.(ca)

4 comments:

Unknown said...

Tuduhan tidak berdasar,tedensius,tanpa analisis yg mendalam,sedemikian bencinya sehingga mereka rela kehilangan akalnya,sangat tidak pantas,asumsi dan persepsi pribadi...bla..bla...like sun,like father...

JavadMehriAli said...

TULISAN MAKIN GAK "MUTU" DAN "ANEH"

Unknown said...

Sebuah analisa yang ngawur dan dapat berdampak hilangnya kepercayaan publik atas indenpendensi penulid artikel ini..jangan jangan ada kepentingan srhingga ngawur tampa dukungan ilmu yang memadai sebagai pengulas berita

Unknown said...

Sebuah analisa yang ngawur dan dapat berdampak hilangnya kepercayaan publik atas indenpendensi penulid artikel ini..jangan jangan ada kepentingan srhingga ngawur tampa dukungan ilmu yang memadai sebagai pengulas berita