Tuesday, 27 February 2018

Adu Panco Cina-India di Maladewa

Indonesian Free Press -- Dalam konstalasi politik dunia, persaingan Cina melawan India kini tengah menjadi salah satu sorotan dunia. Tahun lalu India secara tiba-tiba menarik diri dari proyek OBOR gagasan Cina dan terlibat ketegangan perbatasan setelah mengirim tentara ke wilayah sengketa antara kedua negara. Selanjutnya India secara demonstratif membentuk poros India-Jepang-Amerika dalam satu langkah yang jelas-jelas ditujukan untuk membendung pengaruh Cina. Dan kini keduanya tengah terlibat adu otot di Maladewa, negara yang secara geografis, historis dan kultural merupakan orbit India namun dalam beberapa tahun terakhir berhasil direbut oleh Cina.


Maladewa adalah sebuah negeri kecil berpenduduk kurang dari setengah juta jiwa dengan wilayah laut mencapai 10 kali lipat wilayah daratannya. Kini, negeri ini menjadi ajang perebutan pengaruh, yang bisa merembet menjadi perang terbuka, antara Cina and India, dua negara berpenduduk terbesar di dunia yang jika dijumlahkan mencapai 1/3 jumlah penduduk dunia.


Maladewa kini terpecah oleh krisis politik dengan masing-masing blok secara terbuka menyerukan kepada sekutunya, Cina dan India untuk membantu. Krisis ini diawali pada awal Februari lalu ketika Mahkamah Agung membatalkan tuntutan hukum kepada pemimpin oposisi dan mantan Presiden Mohammed Nasheed, dan memerintahkan agar 12 politisi oposisi yang dipecat dari parlemen, dikembalikan kursinya.

Presiden yang berkuasa, Abdulla Yameen, menolak keputusan itu dan mengumumkan kondisi darurat. Dua hakim agung dan mantan presiden lainnya, Maumoon Abdul Gayoom, ditangkap dengan tuduhan merencanakan kudeta.

Abdulla Yameen adalah presiden yang dikenal sangat dekat dengan Cina, sementara lawan-lawannya adalah sekutu India. Dalam konteks seperti ini, baik Yameen maupun Nasheed berlomba-lomba menarik dukungan dari sekutu-sekutunya di luar negeri. Yameen mengirim utusan ke Cina, Pakistan dan Saudi Arabia. Sedangkan Nasheed, yang kini tinggal di Sri Lanka, melalui akun Twitter-nya menyerukan dukungan India dan Amerika.

"Atas nama rakyat Maladewa kami dengan rendah hati meminta: 1. India mengirimkan utusan yang didukung oleh kekuatan militer untuk membebaskan para hakim dan tahanan politik, termasuk Presiden Gayoom. Kami meminta kehadiran fisik mereka. 2. Amerika untuk menghentikan semua transaksi keuangan para pejabat pemerintah yang berkuasa yang melalui bank-bank Amerika," demikian kicauan Nasheed.

Kekuatan lain yang berjauhan seperti Uni Eropa, juga melibatkan diri dalam krisis ini dengan mengecam langkah Presiden Yameen. Mereka kemudian mengirim delegasi ke Maladewa untuk bertemu kubu oposisi dengan mengabaikan Presiden Yameen.

India sejauh ini tampak berusaha menahan diri dengan komentar-komentar bernada 'moderat' dari Perdana Menteri Narendra Modi maupun pejabat-pejabat tinggi lainnya. Mereka hanya meminta Presiden Yameen untuk 'menghormati demokrasi' dan berjanji akan 'memainkan peran konstruktif' di Maladewa. Namun media-media massa dan sejumlah politisi India memberikan reaksi keras dengan menyerukan pemerintah untuk melakukan tindakan nyata demi menghentikan pengaruh Cina di
halaman samping' India.

Sementara itu, Cina tampak lebih 'agressif' menanggapi krisis ini dengan mengirimkan sejumlah kapal perangnya mendekati Samudra Hindia, meski kemudian menariknya kembali ke Laut Cina demi menghindarkan situasi semakin panas. Namun editorial media pemerintah, Global Times, dengan tegas mengingatkan India untuk tidak melakukan campur tangan ke Maladewa.

“India harus menahan diri. Cina tidak akan melakukan campur tangan, namun itu bukan berarti kami akan diam jika India melanggar prinsip ini. Jika India secara sepihak mengirimkan pasukan ke Maladewa, Cina akan menghentikannya,” tulis editorial Global Times.

Apa yang membuat India khawatir adalah pengaruh Cina yang berkembang pesat di Maladewa dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini semakin terbukti setelah Presiden Yameen mendukung proyek OBOR Cina, yaitu proyek ambisius yang menghubungkan kawasan Asia, Timur Tengah dan Eropa dengan infrastruktur Cina.

Selain itu, Presiden Yameen juga telah memberi ijin bagi kapal-kapal perang Cina untuk berlabuh di Maladewa. Prof. Sreeram Chaulia, seorang analis politik INdia mengatakan bahwa situasi di Maladewa bisa menggelincirkan India dan Cina ke dalam konflik militer.

“Jika presiden berkuasa Abdullah Yameen mencoba melakukan kecurangan pemilu yang akan digelar tahun ini, atau jika ia membatalkannya, kita akan melihat reaksi keras dari India," kata Chaulia dalam wawancara dengan Russia Today, 21 Februari lalu.

India memiliki sejarah keterlibatan militer di Maladewa untuk menjaga pengaruhnya. Pada tahun 1988 tentara India tiba untuk menyelamatkan Presiden Maumoon Abdul Gayoom dari ancaman kudeta. Namun untuk kali ini, situasinya jauh lebih kompleks untuk diselesaikan India dengan cara yang sama, meski secara militer India tidak akan kesulitan untuk mengulangi keberhasilan tahun 1988.

“Maladewa adalah negeri yang masyarakatnya terpecah. Ini seperti Suriah dimana faksi-faksi yang bersaing mendapatkan dukungan yang seimbang. Separoh dari rakyat adalah pendukung presiden berkuasa dan India masih melihat yang terjadi adalah konflik sosial yang tidak bisa diselesaikan dengan militer," kata Chaulia lagi.

Sementara itu Aleksey Kupriyanov, peneliti senior research dari Institute of World Economy and International Relations, mengatakan kepada Russia Today bahwa intervensi militer INdia hanya akan terjadi jika penguasa saat ini melakukan langkah blunder, seperti mengijinkan pembangunan pangkalan militer Cina, membubarkan parlemen dan menangkapi tokoh-tokoh oposisi pro-India.

"Jika semua pihak menahan diri, maka krisis akan mereda. Baik Cina maupun India tidak menginginkannya," katanya.

Cina dan India masih terlibat dalam konflik perbatasan yang di masa lalu sempat berujung pada konflik militer. Keduanya saling mengklaim wilayah Doklam di perbatasan kedua negara. Tahun 1962 kedua negara itu terlibat perang terbatas di perbatasan. Tahun lalu INdia mengirim tentara ke wilayah ini, memicu ketegangan kedua negara selama berbulan-bulan.

Menurut Kupriyanov, situasi di Maladewa sekarang ini sangat dilematis. Jika tidak ada perubahan status, maka status India akan rusak dan Cina menang. Sebaliknya, jika Presiden Yameen mengembalikan status ke situasi sebelum krisis, India lah yang menjadi pemenang dan Cina kalah. Maka, ajang pemilihan presiden tahun ini menjadi kesempatan bagi penyelesaian krisis yang tepat.

"Pada periode antara Agustus dan Oktober Maladewa akan menggelar pemilihan presiden. India dalam hal ini akan mendapatkan keuntungan terbesar jika blok oposisi yang didukungnya mendapatkan akses maksimal kepada para pemilih suara, yaitu ketika para pemimpinnya tidak dipenjara dan tidak dihalang-halangi dalam berkampanye,” kata Kupriyanov.

"Sedang Cina akan mendapat keuntungan jika Yameen tetap berkuasa karena ia sangat pro-Cina. Atau jika tidak, Cina masih bisa mempertahankan kepentingannya di Maladewa, mungkin dengan membuat kesepakatan dengan India,” tambahnya.

Saat ini kedua negara berkekuatan nuklir itu saling menunggu reaksi 'lawan'-nya terhadap negara kecil yang nyaris tidak tampak di dalam peta itu.(ca)

1 comment:

Kasamago said...

Maladewa secara historis jls lebhl dekat ke India.. dominasi China atas Maladewa jelas sngt menampar India
..