Tuesday, 6 February 2018

KRITIKLAH DAKU, KAU KUSURUH ATASI MASALAH

by : Iramawati Oemar


Sungguh "ajaib" cara pemerintah jaman now menjawab kritik dari masyarakat.
Ketika harga beras naik tinggi pada Februari 2015 lalu, masyarakat mengeluhkan mahalnya harga beras. Menko PMK (dahulu sebutannya Menko Kesra) Puan Maharani menjawab : jangan banyak-banyak makan nasi.


Hai, hellooo..., tidak semua rakyat sedang dalam program diet karbohidrat. Justru bagi sebagian besar wong cilik yang setiap hari bekerja keras dengan tenaga fisik, yang penting perut kenyang. Dan rasa kenyang itu mereka dapat dari makan nasi. Mereka gak sanggup beli roti, makan sereal, minum susu coklat kental, banyak makan buah. Tidak, bagi mereka yang penting nasinya banyak, lauknya sedikit tak apalah, yang penting ada sambal dan disiram kuah sayuran. Jadi, kalau disuruh kurangi makan nasi, apa tidak makin memberatkan bagi rakyat karena harus mencari bahan lain pengganti nasi untuk sekedar mengganjal perutnya?!
Ketika harga cabe mahal, Mentan meminta kaum ibu menanam cabe sendiri. Seakan dia tak berpikir bahwa yang keberatan dengan harga cabe yang mencekik leher bukan cuma ibu rumah tangga yang tiap hari cuma butuh segenggam cabe untuk secobek sambal di meja makan. Bagaimana dengan pemilik warteg, pedagang bakso, warung Padang, dll, yang setiap harinya butuh cabe dalam jumlah banyak?! Apakah mereka semua punya cukup lahan untuk tanam cabe?! Apakah semua orang punya waktu cukup untuk merawat tanaman cabenya agar terus berbuah lebat sepanjang tahun?!
Ketika tarif listrik terus "disesuaikan" sehingga rakyat harus menanggung biaya dua kali lipat dari biasanya, kritikan atas mahalnya tarif listrik dijawab "cabut saja meterannya!" dengan kata lain "ya elo gak usah pake listrik!".
Luar biasa sekali, seolah kompak kalau ada kritikan dan keluhan masyarakat, dikembalikan kepada masyarakat masalahnya.
Untunglah saat banyak yang berteriak harga telur ayam mahal, tidak disuruh bertelur sendiri. Mungkin karena keburu disindir nettizen.
*** *** ***
Jagad medsos heboh pasca Zaadit Taqwa mengacungkan kertas kuning kepada Presiden Joko Widodo saat Dies Natalis UI, Jum'at 2 Februari kemarin lusa.
Sontak Zaadit dibully disemua lini medsos. Akun Instagramnya diserbu loversnya pak jokowi. Seorang buzzer menulis "prestasi" presiden yang kemudian diviralkan para lovers.
Namun satu hal yang nyaris seragam dari hujatan mereka kepada Zaadit Taqwa maupun kepada mahasiswa UI : mereka menyuruh siapapun yang mengkritik soal kondisi gizi buruk di Asmat-Papua, agar berangkat saja kesana. Mereka yang berang dengan kartu kuning untuk Jokowi, menantang agar para dokter muda lulusan FKUI untuk berangkat ke Papua. Pokoknya intinya yang mengkritik harus bisa membuktikan berangkat sendiri kesana.
Bukan hanya buzzer dan tim horenya yang beargumen demikian. Tak kurang Presiden Jokowi sendiri, menurut kabar berita di sebuah media, akan memberangkatkan Zaadit ke Asmat. Padahal Presiden sendiri pernah berdalih akses ke sana sulit, ketika awal mula kasus wabah campak dan gizi buruk di Papua diblow-up media.
Jadi, kalau pemerintah sendiri merasa kesulitan akses kesana, mengapa malah menyuruh mahasiswa pergi kesana?!
Sulitnya akses menuju kesana seakan membantah dengan sendirinya gembar gembor soal infrastruktur hebat yang dibangun di Papua. Nettizen mungkin masih ingat, sekitar 2,5 tahun lalu ada kabar heboh, konon katanya di Papua telah dibangun jalan raya yang membelah hutan Papua. Belakangan, klaim itu ketahuan bahwa yang diambil adalah foto dari sebuah hutan di Amazon. Nettizen kemudian menyindirnya dengan meme "Hutan Terbelah di Langit Papua", plesetan dari sebuah judul film. 
Klaim hebat soal pembangunan jalan raya yang membelah Papua itu seakan contoh nyata dari "smoke and mirror" yang belum lama ditulis jurnalis asing.
Mungkin itu sebabnya jurnalis BBC dipulangkan ke Jakarta dan dilarang melanjutkan peliputan di Agats, agar mereka tak bisa memotret yang sebenarnya.

No comments: