Oleh: Masri SItanggang
Assalamu alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.
Sahabatku Muslim, aku tidak tahu keberadaanmu persisnya di mana. Kukirimkan surat Ini lewat media sosial, dengan harapan sampai jugalah ke haribaanmu dan kau pun bersenang hati membacanya. Harapanku, Kau dan istri beserta anak-anakmu sehat wal afiat dan senantiasa dalam naungan hidayah Allah swt sebagaimana keadaan kami saat ini.
Muslim sahabatku…,
Engkau tentu mengikuti berita-berita memilukan yang terjadi di negeri ini sejak sekitar Oktober 2016 lalu. Engkau pasti mengetahui bagaimana ayat-ayat Allah dihinakan dan dijadikan bahan olok-olokan di negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini oleh si Ahok, yang mengundang berjilid-jilid protes jutaan ummat islam. Memang, Ahok akhirnya divonis masuk penjara (entah penjara mana, aku pun tak jelas) dan Allah mengembalikan Jayakarta kepada umat Islam.
Engkau pun tentu tahu, meski Ahok sudah dipenjara, ternyata masalah belum selesai, khan ? Bahkan Bau menyengat tiba-tiba menyeruak menyelimuti atmosfir negeri; seakan bau itu memang sudah tersimpan rapat sejak lama. Persoalan Ahok ternyata tidak tunggal dan Ahok tidak sendirian. Ada banyak hal kemudian tersingkap : ada masalah ekonomi yang rumit dan hutang yang kian kuat melilit hingga penjualan aset-aset negara, ada masalah politik yang kian gaduh akibat dugaan kuatnya peran pengusaha di perpolitikan, ada masalah ideologi Pancasila yang bisa jadi alat menakut-nakuti serta merebaknya faham komunis, ada masalah membanjirnya tenaga kerja Cina yang diduga membawa misi lain dan ada juga masalah hukum yang hanya tajam ke bawah.
Lain dari tu, ratusan penista Islam atau umat Islam bermunculan. Ada yang terang-terangan melalui medsos atau verbal dalam acara resmi, ada pula yang tersamar tetapi jelas membangun kesan kuat bahwa Islam atau umat islam itu rendah dan tak beradab. Yang terakhir ini, misalnya, melalui film-film atau bahkan acara resmi dalam simulasi penanggulangan kejahatan : simbol-simbol Islam dikenakan oleh si penjahat. Memang, di antara pelaku pelecehan itu ada yang dijerat hukum, tapi banyak juga yang lepas karena kedudukan mereka. Ulama-ulama dan tokoh kita yang kritis tak luput dilecehkan dan dikriminalisasi. Tidak sedikit di antara mereka yang ditahan aparat dengan tuduhan “ujaran kebencian” yang sukar dimengerti. Sampai surat ini kutuliskan, masih banyak yang mendekam di balik jeruji besi.
Tak sampai di situ, anehnya lagi, kelompok Islam kritis diserang dengan tuduhan-tuduhan yang sangat menyakitkan seperti intoleran, anti kebhinekaan dan bahkan anti NKRI. Ini bukan hanya tuduhan keblinger, tapi gila. Tuduhan yang membalikkan fakta. Coba bayangkan, ummat Islam yang di awal kemerdekaan tidak kurang dari 95 persen dari jumlah penduduk Indonesia dan telah berjuang mati-matian untuk merdeka dari penjajah Portugis-Inggeris-Belanda-Jepang yang non mulim itu, kalau tidak toleran, mungkinkah mereka bisa hidup di negeri ini menjadi kaya sebagai pengusaha atau pejabat negara ? Jika ummat Islam tidak memelihara kebhinekaan, mungkinkah mereka masih bertahan dalam agama dan tradisinya yang bukan Islam itu ? Apalagi tuduhan anti NKRI ! Ini betul-betul tuduhan gila yang menyakitkan ! Itulah sebabnya, Sahabatku Muslim, aku menulis sebuah artikel berjudul : SIAPA ANTI NKRI ? ( http://gipnkri.com/simaklah-sejarah-siapa-cinta-nkri/ ), agar mereka tau bahwa negeri ini merdeka karena perjuangan umat Islam. Bolehlah sejenak kau luangkan waktumu untuk membacanya.
Kalau dituduh radikal, aku masih bisalah menerima. Sebab, menurutku, kita memang harus radikal menghadapi kebathilan. Tidak ada kompromi terhadap kebathilan yang berujung pada bercampurnya kebaikan dan kejahatan. Menghadapi penjajah memang harus radikal, dan itu telah kita buktikan sehingga berbuah merdeka. Sebagai seorang yang bergelar akademis PhD, aku bangga jadi seorang yang selalu berfikir radikal. Itu pula sebabnya aku menulis artikel berjudul : CATAT, SAYA SEORANG RADIKAL ( http://gipnkri.com/catat-saya-seorang-radikal/ ) Sekali lagi, kalau sahabat punya waktu, bacalah juga tulisan ini…
Pendek kata, persoalan yang selama ini tertutup rapat, dengan kasus Ahok, terbuka semua. Complicated, memang, tapi jelas bahwa semua persoalan itu mengindikasikan adanya sebuah gerakan besar yang bermuara pada satu titik : Indonesia baru ! Mungkin Indonesia hasil restorasi, yang jauh berbeda dengan Indonesia yang dibayangkan para orang tua kita dulu.
Muslim sahabat karibku…
Sekali lagi, aku sangat yakin apa yang kutulis di atas kau ketahui semua, bahkan aku yakin pengetahuanmu jauh lebih luas dari apa yang dapat kutulis. Oleh sebab itu poinku dalam surat ini bukanlah untuk mengulang-ulang apa yang sudah kau ketahui melainkan ingin curhat. Ya, aku ingin curhat : menumpahkan kegelisahan dan kesedihan hatiku…
Sahabatku Muslim yang baik…,
Apa yang terjadi di negeri ini memang menyesakkan dada kita semua. Namun yang membuat aku teramat sangat sedih adalah melihat umat kita dalam merespon apa-apa yang terjadi itu. Mereka seperti yang baru saja tersadar dari tidurnya yang panjang, seperti tidak percaya akan apa yang sedang terjadi di depan mata; mereka mengeluh kenapa diperlakukan seperti itu, tidak menyangka akan mendapat perlakuan kejam dan tidak adil; mereka seperti pasrah meratapi nasib. Tidak banyak di antara ummat kita yang justeru bersyukur dengan semua kejadian ini…
Yang Mulia Sahabatku Muslim…,
Mungkin melalui lidahmu umat ini akan bisa mengerti dan mau menerima. Tolonglah sampaikan kepada mereka tentang misi Rasulullah SAW diutus. Sebagai mana firman Allah dalam surah At-Taubah ayat 33 atau As-Shaf ayat 9, Rasul diutus bukan “main-main” tetapi mengemban tugas yang jelas dan tegas, yakni “Liyudzhirohu ‘aladddini kullihi”, untuk memenangkan sistem tatanan Islam –mengalahkan semua sistem tatanan kehidupan yang ada. Itu artinya, Rasulullah diturunkan ke arena untuk bertarung. Ya, arena pertarungan. Sebab tidak mungkin ada menang dan kalah bila tidak ada pertarungan. Kepastian adanya pertarungan itu dipertegas oleh anak kalimat “sekalipun orang-orang musyrik membencinya” pada ayat-ayat tadi, atau “dan cukuplah Allah menjadi saksi (atas kemenangan itu)” pada surah Al-Fath ayat 28.
Maka sebagai pengikut Rasulullah, umat Islam pun mestinya tidak boleh lalai bahwa mereka juga mengemban misi bertarung. Rasanya sungguhlah tidak patut bagi seseorang mengaku sebagai pengikut Muhammad Rasulullah dan berharap mendapat syafaat Beliau di hari akhir nanti, bila ia berpangku tangan sementara Rasul sendiri bertarung untuk kemenangan Islam. Umat Islam semestinya sadar betul bahwa dunia ini adalah arena kompetisi, pentas pertarungan antar sistem tatanan kehidupan : haq versus bathil.
Sungguh aku amat sangat bersedih, sahabatku Muslim, karena umat Islam tidak menyadari bahwa mereka sedang bertarung! Karena itulah mereka tidak pernah mempersiapkan diri utuk menghadapi lawan; karena itu mereka tidak merasa memiliki lawan; karena itu pula sering-sering kawan dijadikan lawan dan lawan dijadikan kawan. Dapatlah kau bayangkan orang yang seperti ini berada di ring pertarungan, apalah yang akan diperolehnya kecuali babak belur, berkeluh kesah, tidak menyangka mendapat pukulan bertubi-tubi dengan perasaan terdzalimi ! Ya, tidak mungkin bisa menang. Bagaimana mungkin bisa menang kalau merasa bertarung saja pun tidak ?
Kesedihanku memang mendalam sahabat, terutama karena hal ini sesungguhnya sudah sejak lama kusampaikan kepada ummat islam dalam berbagai kesempatan ceramah. Sudah sejak lama, jauh sebelum ada kasus Ahok. Tetapi respon umat terhadap hal ini belum seperti yang diharapkan. Malah aku digelar sebagai orang yang keras –mungkin istilah lain dari radikal. Sampai kira-kira dua pekan silam, di satu malam sepulang diskusi dengan teman-teman, aku duduk di salah satu sisi ranjang. Mataku belum mau diajak tidur, pikiranku masih belum mau berhenti mempersoalkan respon ummat islam terhadap perkembangan akhir-akhir ini. Istriku menghampiri, duduk di sampingku, lalu berkata : “Buya tulis saja surat kepada saudara kita Muslim, biar dia yang menyampaikannya kepada umat.” Istriku tampakya dapat membaca apa yang menyelimuti pikiran dan perasaanku saat itu. Memang, soal-soal keumatan seperti ini sering aku diskusikan kepadanya. Aku beruntung punya istri seperti dia, yang pernah belajar di lingkungan PII, nyambung dengan pikiranku.
Aku faham maksudnya kenapa harus menulis surat kepadamu, dan mungkin saja dia benar. Aku bukanlah ulama dan bukan Ustadz kondang. Aku Doktor di bidang Soil Science and Chemistry, Kimia dan Ilmu Tanah. Mungkin saja umat kurang percaya kalau aku yang menyampaikan dan membahas ayat-ayat seperti ini. Karenanya diperlukan orang yang statusnya ulama atau Ustadz kondang untuk menyampaikannya. Aku terima usul istriku itu dengan perlahan menganggukan kepala. Tak terasa air mataku berlinang dan bergulir hangat di atas pipi. Aku sedih, tapi sekaligus terharu bahagia punya istri seperti dia...
Sahabat baikku Muslim…,
Itulah sebabnya kutuliskan surat ini kepadamu, ini adalah saran dari isttriku tercinta, meski pun aku tidak tahu persis di mana keberadaanmu. Aku tahu, kau lebih mampu membahasakan persoalan ini kepada umat dan Insya Allah lisanmu lebih dapat diterima umat yang banyak ini.
Duhai Sahabat baikku Muslm…,
Sungguh Allah sangat menyangi kita. Allah tidak hanya mengingatkan bahwa kita sedang bertarung, tetapi juga memberi tahu siapa lawan tarung kita. Mereka adalah Yahudi, Nasrani dan orang-oramg yang mengikuti millah keduanya sebagaimana tertera pada Al-Baqarah ayat 120. Menariknya lagi, di Al-Baqarh 120 itu Allah menggunakan fiil mudari’ atau present tense dalam bahasa Inggeris, yang berarti kebencian orang-orang Yahudi dan Nasrani berlaku sejak dahulu, sekarang dan hingga masa datang; tidak ada batas waktu. Kebencian tiada akhir, itulah kata yang tepat untuk menjelaskannya. Kukatakan Allah sangat sayang kepada kaum muslimin, ya, betul. Bukankah pertarungan yang teramat sulit adalah ketika kita tidak mengenali siapa lawan tarung ? Jadi, dengan menurunkan Al-Baqarah 120, menurutku, Allah ingin mengingatkankan agar kaum muslim tidak lengah sedetik pun terhadap mereka yang tersebut di dalamnya. Allah inginkan kita menang.
Peristiwa menyakitkan yang sambung-menyambung menyusul kasus penistaan agama oleh Ahok, seperti yang kutuliskan di atas, yang kau pun lebih tahu soal itu, adalah kasih sayang Allah yang patut untuk kita syukuri. Allah ingin membuktikan secara nyata tentang apa yang telah difirmankannya di AL-Qur’an, sehingga tak perlu mencari tafsir lain. Lebih dari itu, peristiwa Ahok telah secara nyata memetakan siapa kawan dan siapa pula lawan. Mestinya kita bersyukur, sebesar-besar syukur, bukan mengeluh !
Muslim sahabat baikku…,
Tolonglah sampaikan kepada umat ini melalui lisanmu yang telah dinugerahi Ilahi QOULAN SADIDA tentang apa yang kutliskan di atas. Ingatkanlah umat ini untuk menyukuri apa yang telah Allah tampakkan dan hadapilah pertarungan ini. Tolong Ingatkan pula umat ini akan perntah Allah di ayat 60 dari surah Al-Anfal, ayat yang juga merupakan wujud luar biasanya kasih sayang Allah agar memastikan umat islam dapat meraih kemenangan. Allah memerintahkan umat Islam untuk mempersiapkan kekuatan apa saja yang mungkin, yang dapat membuat musuh-musuh Allah, musuh-musuh umat islam, gentar. Ya, kekuatan apa saja, sebab pertarungan ini banyak front. Bukan front tunggal !
Terimakasih sahabat baikku. Doa kami sekeluarga menyertai perjalanan dakwahmu. Isteriku akan sangat bahagia jika engkau pun berkenan menyampaikan salamnya untuk istri dan anak-anakmu..
Terimakasihku yang tiada terhinggajuga kuhaturkan kepada sahabat lain yang mungkin juga ikut membantu menyampaikan surat ini ke hadapanmu lewat media atau lisannya langsung. Kiranya mereka beroleh balasan setimpal dari Allah swt atas kebaikan yang mereka lakukan.
Akhir Pekan di Bulan Nopember,
*Masri Sitanggang*
No comments:
Post a Comment