Oleh: Natalius Pigai
Penyataan saya pada minggu lalu tentang dukungan Gerindra untuk pencalonan gubernur Papua ternyata mampu memancing reaksi serius berbagai pihak. Beberapa artikel juga ditulis menilai pernyataan tersebut, sepertinya saya memiliki ambisi untuk politik Papua. Ada yang menilai tindakan tidak etis untuk menjatuhkan citra Jokowi, ada juga yang menilai bawah saya memainkan politik framing negatif untuk dongkrak ambisi politik di Papua dan framing negatif untuk ganggu citra Jokowi. Tetapi jutaan orang justru apresiasi melalui berbagai media sosial. Semua penilai tersebut sungguh-sungguh saya apresiasi dan saya hormati karena sebagai konsekuensi dari kebebasan berfikir, berpendapat juga kebebasan ekspresi.
Semua dugaan dan penilaian negatif publik khususnya pendukung Jokowi dan Ahok tersebut ternyata salah. Saya bukan seorang ambisius yang mengejar jabatan, kekuasaan dan uang. Banyak tawaran jabatan di negeri ini saya telah menolak.
Tentu saja kita memiliki ketajaman naluri untuk melihat reaksi publik, juga mampu mengantarkan orang menuju ke alam pemikiran yang baru untuk menyadarkan opini dunia maya dan alam nyata atau idealitas dan realitas . Karena intelektualitas (pengetahuan), skillsness (ketrampilan) dan attitute (mental dan moralitas) untuk mengungkapkan sesuatu secara fakta dan terukur.
Kembali ke topik bahwa Siapa yang bilang kalau Jokowi tidak memiliki catatan kelam atau catatan buram sebagai seorang yang dapat diindikasikan sebagai pelaku pelanggar HAM berat selama 3 tahun kepemimpinan Jokowi?
Jokowi yang terpilih sebagai Presiden karena kapitalisasi dugaan pelanggaran HAM berat oleh Prabowo karena ditunjang oleh media massa dan para aktivis HAM. Selain itu, persoalan HAM dirumuskan secara tegas oleh Jokowi dalam butir Cita-cita NAWACITA telah memberi harapan animo massa untuk dongkrak elektabilitas. Prabowo tersudut di 2014 karena memang memiliki catatan hasil penyelidikan Komnas HAM meskipun belum pernah dinyatakan dalam putusan peradilan Hak Asasi Manusia.
Dilihatdari kebijakan dan tindakannya dalam memimpin negeri ini selama 3 tahun, maka apakah Jokowi tidak diduga sebagai pelaku pelanggar HAM jika dilakukan penyelidikan oleh Komnas ham atau penyelidik internsional?. Berikut adalah sederet kasus pelanggaran HAM atau terkait persoalan HAM yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan Jokowi jika dilihat dari perspektif hukum hak asasi manusia:
1. Kasus Paniai telah tercatat sebagai kejahatan kemanusiaan (gross violation of human right) termasuk dalam kategori pelanggaran HAM Barat yang berkasnya sedang diproses dan terhenti di Komnas HAM. Kasus Paniai adalah salah satu hasil produk rejim kepemimpinan Joko Widodo, menitipkan peristiwa kelam baru bagi Bangsa ini karena itu sebagai kepala negaran tidak bisa lepas tanggung jawab (commander resposibilities). Bagaimana pun juga Jokowi menambah 1 berkas pelanggaran
HAM berat di Komnas HAM.
HAM berat di Komnas HAM.
2. Adanya; penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang, penyiksaan/penganiayaan (torture) dan pembunuhan (kilings) terhadap lebih dari 6 ribu orang Papua selama 3 tahun merupakan catatan negatif rejim Jokowi. Jokowi tidak bisa menghindari sebagai kepala negara/kepala pemerintahan sebagai penanggungjawab komando (commander resposibilities).
3. Adanya dugaan terjadi genocida secara perlahan melalui berbagai kebijakan (slow motion genocide) di Papua berdasarkan hasil
Penyelidikan beberapa lembaga internasional bisa diduga apakah dengan sadar atau sengaja (by commision) atau lakukan Pembiaran (by ommision) oleh negara dimana Jokowi sebagai kepala negara.
Tindakan 1 dan 3 ini mengancam integritas nasional karena itu selain bertanggungjawab melalui proses penyelidikan juga Jokowi harus bertanggungjawab juga secara politis dengan mengurungkan niatnya untuk maju sebagai capres di 2019.
Penyelidikan beberapa lembaga internasional bisa diduga apakah dengan sadar atau sengaja (by commision) atau lakukan Pembiaran (by ommision) oleh negara dimana Jokowi sebagai kepala negara.
Tindakan 1 dan 3 ini mengancam integritas nasional karena itu selain bertanggungjawab melalui proses penyelidikan juga Jokowi harus bertanggungjawab juga secara politis dengan mengurungkan niatnya untuk maju sebagai capres di 2019.
4. Pernyataan Penolakan grasi dan eksekusi mati kasus narkoba awal 2015. Ini kasus paling serius dibanding eksekusi tahap-tahap berikutnya. Eksekusi mati 2015 kalau lakukan penyelidikan Jokowi tidak hanya di duga sebagai commander responsibilities tetapi juga pelaku (mens rea). Harus bertanggungjawab melalui proses penyelidikan hukum hak asasi manusia.
5. Pengekangan kebebasan civil (civil liberties) dan hak untuk menjalankan agama dan kepercayaan khususnya bagi umat Islam melalui Perpu Ormas. Membiarkan adanya Labilitas integrasi sosial dan politik sejak Jokowi berkuasa merupakan perusakan terhadap tatanan dan destruktif terhadap pilar demokrasi, hak asasi dan perdamaian.
6. Ketidakmampuan melaksanakan proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM Berat oleh Jokowi bertentangan dan inkonsistensi terhadap cita2 NAWACITA yang justru ditulis dengan tangan sendiri. Apabila sampai tahun 2019 Jokowi tidak bisa melaksanakan maka merupakan pembohongan publik harus Dipertangungjawabkan. Penunjukan pejabat kabinet yang berindikasi pelanggaran HAM adalah secara sadar menenggelamkan asa (ketajaman) untuk menyelesaikan pelanggaran Hak asasi Manusia. Disitulah Jokowi tidak memiliki Sensivitas kemanusiaan dan keadilan.
7. Belum adanya tindakan Pengungkapan keberadaan Wiji Tukul dan Pengungkakan kasus Munir sesuai janji Jokowi dan ekspektasi keluarga korban telah menjadi memori buruk (memoria passionis). Sangat disayangkan bahwa selama kepemimpinan Jokowi ini jangankan soal penyelesaian, memulai proses saja sama sekali tidak ada.
Ke tujuh persoalan inilah yang membingkai Jokowi dan beliau akan berada dalam pusaran HAM. Apalagi dari keenam kasus tersebut, salah satu kasus diatas jika dilakukan penyelidikan oleh Komnas HAM atau lembaga penyelidik internaional Jokowi patut diduga tidak hanya sebagai penaggungjawab komando (commander resposibilities tetapi pelaku (mens rea) sebagai pelanggar HAM Berat.
Dengan demikian pada tahun 2019 saya meyakini bahwa persoalan Hak Asasi Manusia akan mengganjal karier politik Jokowi. Selain tidak mendapat dukungan dari keluarga korban, juga aktivis kemanusiaan, NGO kemanusiaan juga institusi seperti Komnas HAM bahkan tidak akan mendapat dukungan dan simpati internasional juga rakyat Indonesia
(Natalius Pigai, Komisioner Komnas HAM 2012-2017/ Aktivis Kemanusiaan).
No comments:
Post a Comment