Indonesian Free Press -- Beberapa hari terakhir ini saya agak terganggu dengan berita tentang aksi-aksi kerusuhan di Iran, yang oleh media-media di Indonesia digambarkan sangat massif dan berdarah-darah.
"21 orang tewas dalam aksi kerusuhan di Iran 6 hari terakhir," begitu tulis running text sebuah televisi nasional yang dikenal dekat dengan pemerintahan Jokowi.
Tidak ada sumber yang jelas yang disebutkan dalam berita ini dan gambar-gambar yang ditayangkan justru mengkonfirmasi bahwa aksi-aksi tersebut adalah rekayasa. Aksi-aksi tersebut hanya diikuti oleh puluhan orang. Jauh dari sebuah aksi massa yang bisa memberikan perubahan.
Lebih serius lagi, media-media itu bahkan melakukan pembohongan publik dengan mengabarkan aksi demonstrasi tandingan yang mendukung pemerintah, yang diikuti oleh massa yang jauh lebih besar, juga diklaim sebagai aksi anti pemerintah.
Selain media-media massa dan aktifis-aktifis media sosial, para pejabat Amerika termasuk Presiden Donald Trump, juga sibuk berkomentar keras atas aksi-aksi yang terjadi di Iran. Atas aksi-aksi anarkis tersebut, Trump menyebutnya sebagai 'aksi damai' dan menuntut pemerintah Iran menghormati para demonstran. Sementara media-media massa menggambarkan aksi-aksi tersebut sebagai aksi menuntut perubahan regim atau perubahan sistem pemerintahan dan kenegaraan, bukan sekedar aksi menuntut perbaikan ekonomi.
Mereka tidak melaporkan bahwa setiap tahun di bulan Desember, rakyat Iran di seluruh penjuru negeri menggelar aksi damai memperingati kegagalan kudeta 'Revolusi Hijau' tahun 2009 dan aksi-aksi ini telah ditunggangi oleh anasir-anasir zionis di Iran dan luar Iran untuk menjustifikasi sanksi-sanksi dan langkah-langkah politik keras terhadap Iran, khususnya paska kemenangan Iran dalam perjanjian nuklir Iran dengan negara-negara utama dunia tahun 2015.
Perlu diingatkan kembali bahwa pada tahun 2009 Iran dilanda apa yang disebut dengan Revolusi Hijau, sebuah plot zionis internasional untuk menggulingkan pemerintahan yang dianggap tidak sejalan dengan agenda-agenda zionis internasional. Aksi ini menunggangi sengketa pilpres yang dimenangkan kubu konservatif yang sukses menempatkan Ahmadinejad sebagai Presiden Iran. Rencana ini gagal setelah mayoritas rakyat Iran menyadari rencana busuk zionis itu dan kemudian menggelar aksi-aksi demonstrasi serentak di seluruh negeri pada tanggal 9 Desember untuk mendukung pemerintah dan sistem kenegaraan Iran.
Dalam aksi-aksi demonstrasi tahunan tanggal 28 dan 29 Desember lalu, seperti tahun-tahun sebelumnya juga diwarnai dengan tuntutan perbaikan ekonomi di tengah kondisi ekonomi Iran yang masih belum pulih karena saksi-sanksi internasional. Bagi yang mengenal bangsa Iran tentu tidak heran, karena rakyat Iran memang dikenal 'vokal' dalam menyampaikan aspirasinya. Namun kali ini situasinya berubah tajam karena aksi-aksi ini juga ditunggangi oleh anasir-anasir zionis yang pada tahun 2009 gagal menjalankan rencananya.
Mereka, umumnya berasal dari kalangan kelas menengah-atas liberal idiot yang bermimpi menjadi bagian dari dunia modern yang dipimpin Amerika, dan dipimpin oleh agen-agen Amerika yang menjadi warga negara Iran. Mereka sama persis dengan orang-orang yang kemarin menjadi pendukung Ahok. Di antara bentuk pembajakan aksi tersebut adalah munculnya tuntutan-tuntutan yang 'aneh', seperti tuntutan agar Iran keluar dari konflik di Suriah, Irak dan Palestina hingga tuntutan pembubaran sistem ketata-negaraan dimana negara dipimpin oleh para ulama namun tetap berjalan seperti negara-negara modern lainnya yang demokratis. Mereka menginginkan disingkirkannya peran para ulama.
Meski jumlah mereka sedikit, namun didukung oleh media internasional dan para pemimpin negara-negara ZOG (Zionist Occupation Goverment) serta jaringan inteligen Amerika-Israel yang rapi. Tidak heran, suara mereka lebih nyaring dibandingkan aspirasi sesungguhnya warga Iran.
Menurut sebuah jajak pendapat yang digelar media pemerintah Iran tahun lalu, misalnya, sekitar 67.9% rakyat Iran mendukung kampanye anti-ISIS yang digelar Iran di Suriah dan Irak. Sebanyak 64.9% bahkan mendukung pengerahan pasukan Iran untuk mendukung regim Bashar al Assad di Suriah, naik dari 62.7% tahun sebelumnya.
"Kelompok-kelompok kecil yang membajak aksi protes terhadap pemerintahan Presiden Rouhani didukung kuat seperti biasanya oleh Amerika melalui AVAAZ, RAND Cooperation, Human Rights Watch dan kelompok-kelompok lain yang baru muncul dan langsung bergabung dalam rombongan. Kelompok-kelompok demonstrasi yang dibajak (Amerika) itu terkoordinasi rapi, namun mereka jauh lebih kecil dibandingkan aksi-aksi yang asli dan yang mayoritas," tulis DR. Lasha Darkmoon dalam blognya Moon of Alabama, 31 Desember lalu.
Pada bulan Juni 2009 Brookings Institute merilis 'panduan' bagi pemerintah Amerika untuk 'mengatasi Iran', berjudul 'WHICH PATH TO PERSIA'. Dalam panduan ini disampaikan empat cara untuk mengatasi Iran:
Part I - Mengucilkan Iran: solusi diplomatik.
Part II - Melucuti senjata Iran: solusi militer
Part III - Menggulingkan Iran: mengubah sistem negara Iran
Part IV - Menggertak Iran: pengekangan
Part III meliputi:
Chapter 6: Revolusi Velvet: mendukung pembangkangan sipil
Chapter 7: Mendorong pemberontakan dengan mendukung kelompok-kelompok minoritas dan kelompok oposisi.
Chapter 8: Kudeta dengan mendukung gerakan militer melawan regim.
Revolusi Velvet atau "color revolution" gagal pada tahun 2009 setelah publik Iran justru berbalik melawannya setelah sadar bahwa ini adalah skenario zionis internasional.
Apa yang terjadi di Iran saat ini adalah kombinasi dari chapter 6 dan chapter 7.
"Di balik apa yang disebut sebagai gerakan rakyat memprotes kebijakan ekonomi pemerintahan Presiden Rouhani, sebuah gerakan militan tengah dijalankan untuk memicu perang saudara. Kita telah melihat hal yang sama terjadi di Libya dan awal dari konflik Suriah," tulis wartawan senior dan pengamat poltik Tony Cartalucci di Land Destroyer Report, seraya menyebut apa yang ditulis Brookings Institute sebagai 'panduan untuk menumbangkan pemerintahan negara-negara di dunia.
Pada bulan Juni lalu media terkemuka Amerika Wall Street Journal (WSJ) melaporkan bahwa CIA telah membentuk sel operasi khusus untuk menyerang Iran:
"The Central Intelligence Agency has established an organization focused exclusively on gathering and analyzing intelligence about Iran, reflecting the Trump administration’s decision to make that country a higher priority target for American spies, according to U.S. officials. The Iran Mission Center will bring together analysts, operations personnel and specialists from across the CIA to bring to bear the range of the agency’s capabilities, including covert action," demikian tulis WSJ.
Sebagai pemimpin tim ini ditunjuk Michael D’Andrea, yang sebelumnya dianggap berhasil memimpin operasi serangan drone terhadap kelompok 'teroris' sekaligus menewaskan ratusan warga sipil tak bersalah di sejumlah negara Islam.
"D'Andrea adalah agen CIA yang telah 'menjatuhkan bola' saat dia seharusnya bisa mencegah serangan WTC 9-11. Ia terlibat kuat dalam program penyiksaan dan serangan drone maut di Pakistan dan Afghanistan. Ia diduga kuat menjadi otak dari kerjasama rahasia Amerika dengan para ekstremis Wahhabi di Libya, Iraq dan Suriah," tulis DR Lasha Darkmoon.
Pada akhir tahun 2016 yang baru lewat, sebuah serangan bom meledakkan pipa minyak di wilayah Omidiyeh di dekat perbatasan Irak. Kelompok Ansar al Furqan yang mengaku bertanggungjawab menyatakan telah membentuk unit khusus bersenjata Ahwaz Martyrs Brigade. Serangan itu ditujukan untuk 'menimbulkan kerugian ekonomi bagi regim kriminal Iran'.
Ansar al-Fruqan adalah pecahan dari kelompok 'teroris' Jundallah yang telah berhasil ditumpas Iran, namun sempat menimbulkan kerugian besar bagi Iran. Kelompok ini mengklaim berjuang untuk kemerdekaan Baluchistan di wilayah yang terletak antara perbatasan Iran dan Pakistan.
Pengamat inteligen Mark Perry dalam sebuah laporan tahun 2012 menulis:
"Satu rangkaian memo CIA menjelaskan bagaimana agen-agen Israel Mossad menyamar sebagai orang-orang Amerika merekrut anggota kelompok teroris Jundallah untuk memerangi Iran. Agen-agen Mossad menyewa teroris Jundallah untuk membunuhi ahli-ahli nuklir Iran."
"Maka tidak mengejutkan jika kelompok pengganti Jundallah menyerang infrastruktur ekonomi Iran pada saat yang sama ketika Mossad dan CIA mengkoordinasikan kampanye lain untuk menumbangkan regim Iran. Hal ini dengan jelas menunjukkan adanya sebuah rencana besar yang terorganisir," tulis DR. Darkmoon.(ca)
No comments:
Post a Comment