Saturday, 5 November 2011

KRISIS NUKLIR JEPANG. (LAGI-LAGI) ISRAEL DI BELAKANG BENCANA


Seorang jurnalis terkemuka Jepang, Yoishi Shimatsu, baru-baru ini membuat pernyataan menghebohkan tentang bencana reaktor nuklir Fukushima yang terjadi Maret lalu.

Menurut Yoishi, mantan editor Japan Times Weekly, Amerika dan Israel mengetahui adanya kebocoran radiasi dari material senjata nuklir setelah terjadinya tsunami yang merusak reaktor Fukushima. Selain itu ia juga menuduh Israel telah melakukan sabotase terhadap reaktor nuklir Fukushima sebagai balasan atas sikap politik Jepang yang mengakui kemerdekaan Palestina.

Menurut Yoishi, material nuklir yang membahayakan telah dikirimkan ke reaktor Fukushima pada tahun 2007 atas perintah Presiden dan Wapres Amerika, George W. Bush dan Dick Cheney, atas permintaan PM Israel Ehud Olmert. Bagi yang agak bingung memahami hal ini, silakan periksa bahwa konstitusi Jepang pun adalah buatan Amerika, dan pemerintah serta rakyat Jepang tidak berdaya, bahkan hanya untuk menutup sebuah pangkalan militer Amerika yang para personilnya sering membuat ulah menyakitkan penduduk Jepang.

Material membahayakan itu adalah inti bom nuklir yang secara rahasia diambil dari fasilitas nuklir BWXT Plantex, dekat Amarillo, Texas. Sebagai transporternya, Israel, membawa material itu dari pelabuhan Houston. Namun Israel menyimpan material terbaiknya untuk mereka sendiri dan membawa sisanya ke Jepang untuk diproses lebih lanjut di Fukushima.

Shimatsu menyebut peran seorang mantan agen CIA, Roland Vincent Carnaby, yang mengetahui pengiriman tersebut. Namun kemudian ia meninggal secara misterius setelah ditembak polisi Houston di suatu persimpangan lampu merah. Ia ditembak di kepala dan dada, sementara ia sama sekali tidak bersenjata. Menurut Shimatsu, Roland mengetahui operasi penyelundupan material itu yang dilakukan dinas inteligen Israel, Mossad.

Dalam tuduhan lainnya yang lebih menghebohkan, Shimatsu menyebutkan bahwa 20 menit sebelum reaktor nuklir Fukushima meleleh, Israel telah menyabot reaktor itu dengan virus Stuxnet yang menyerang sistem keamanan reaktor tersebut. Virus tersebut membuat reaktor gagal dihentikan operasinya dan membuat reaktor meleleh dan bocor, sekaligus menghamburkan radioaktif dari material yang dikirim tahun 2007. Tindakan sabotase tersebut dilakukan Israel karena kecewa dengan pemerintah Jepang yang berniat untuk mengakui kemerdekaan Palestina.

Meski tuduhan tersebut belum bisa diverifikasi, terdapat berbagai kejanggalan yang membuat tuduhan tersebut masuk akal. Misalnya saja pemerintah Jepang menutup-nutupi tingkat bahaya radio aktif yang keluar dari reaktor yang meleleh dengan menyebut tingkat bahaya adalah Level 4, sementara para ahli dari luar negeri menyebutkan tingkatnya mencapai Level 7 atau tingkat paling membahayakan.

Dan ada lagi catatan menarik, yaitu pada tahun 2009, 2 tahun setelah pengiriman material nuklir Amerika oleh Israel, badan atom internasional, International Atomic Energy Agency (IAEA) mengeluarkan peringatan kepada Jepang untuk tidak meninggalkan kebijakan anti-senjata nuklir-nya. IAEA telah mengetahui bahwa Jepang telah memiliki material yang cukup untuk membuat senjata nuklir.

Pada tahun 1996, sebuah dokumen kemenlu Jepang yang bocor ke publik menyebutkan bahwa Jepang menganut kebijakan strategi ganda terkait senjata nuklir, sejak tahun 1960-an. Meski secara resmi menyatakan kebijakan anti-senjata nuklir, namun Jepang tetap mempertahankan kemampuannya untuk membuat senjata nuklir. Partai Liberal Demokrat yang mendominasi politik Jepang, selalu mengatakan bahwa tidak ada larangan dalam konstitusi Jepang yang melarang senjata nuklir.

Ada analisis yang memyebutkan bahwa tujuan Bush-Cheney mengirim material senjata nuklir ke Jepang adalah agar Jepang memiliki kemampuan membuat senjata nuklir setiap saat demi menghadapi Cina yang terus tumbuh kemampuannya. Cheney dan Bush sengaja mempromosikan senjata nuklir ke Jepang dan India demi "mengepung" Cina dengan kekuatan nuklir.


Sumber:
"Japanese Journalist Accusses Israel of Fukushima Sabotage"; Richard Walker; American Free Press; 14 October 2011

No comments: