Sudah lama saya sebenarnya ingin mengupas banyak tentang sejarah kelam raja-raja tiran Arab. Apalagi dengan adanya krisis Syria dimana dua penguasa Arab, Saudi dan Qatar memainkan peran antagonis yang menyesakkan dada siapapun yang mencintai kebenaran dengan bantuan mereka terhadap para pemberontak. Dan alhamdulillah, obsesi saya terbantukan oleh munculnya sebuah artikel menarik yang ditulis oleh Finian Cunningham, wartawan senior independen Inggris berjudul "Britain’s barbaric ‘special relationship’ with Arab dictators" yang muncul di situs favorit saya, thetruthseeker.co.uk tgl 27 Agustus lalu. Tulisan berikut ini merupakan ringkasan dari artikel tersebut.
Foto-foto di media massa yang memperlihatkan perdana menteri Inggris David Cameron menyambut hangat raja Bahrain Hamad Khalifa di kantor Cameron di Downing Street 10 minggu lalu, menimbulkan pesan yang menyayat hati masyarakat, terutama Inggris, yang menganggap Inggris sebagai kampiun demokrasi dan perlindungan HAM.
Cameron yang lebih tegap dan tinggi dengan jas dan dasinya yang "modern" menjabat tangan Hamad khalifa dengan pakaian jaman pertengahannya, sangat tepat menggambarkan hubungan Inggris dengan negara-negara Arab bekas jajahannya sebagai hubungan "patron-client" alias tuan dan pelayannya.
Betapa berbudayanya, pemimpin Inggris mengundang seorang raja badui berbincang-bincang di tempat yang menjadi simbol demokrasi dan kebudayaan, membicarakan hal-hal yang tidak begitu penting melainkan hal-hal tentang kepentingan Inggris.
Dalam agenda pertemuan tersebut, menurut media-media liberal Inggris seperti "Guardian", David Cameron menyinggung masalah HAM yang kini tengah menjadi sorotan dunia di Bahrain. Namun hal yang lebih utama gagal disinggung-singgung oleh media massa, yaitu hubungan bisnis antara kedua negara.
Seperti biasa, Inggris berhasil memainkan perannya sebagai negara yang mengedepankan hubungan bisnis sekaligus pejuang demokrasi dan HAM. Dan seperti biasa, sang "client" diberi kesempatan untuk mempertahankan diri dari tuduhan pelanggar HAM dengan dalih "memiliki prinsip dan nilai-nilai moral sendiri" yang "agak berbeda" dengan nilai-nilai barat.
Usai pertemuan, menlu Bahrain Shaikh Khalid Al Khalifa yang tidak lain saudara kandung sang raja, sebagaimana semua jabatan strategis lainnya di kerajaan yang dipegang oleh saudara dan kerabat raja, mengatakan bahwa agenda utama pertemuan adalah membicarakan "stabilitas kawasan". Stabilitas di sini tentu bukan berarti kestabilan kepentingan rakyat di kawasan melainkan kepentingan bisnis negara-negara barat dan kestabilan politik penguasa diktator Arab di kawasan itu.
Jujur saja, Inggris tidak pernah peduli dengan masalah HAM dan demokrasi di Bahrain dan juga di manapun di dunia. Sebaliknya Inggris-lah salah satu negara yang paling banyak melanggar HAM dan demokrasi di dunia. Di masa lalu saat Inggris menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia, ia adalah juara pelanggaran HAM dan demokrasi. Kini ia menempati posisi runner-up di bawah Amerika.
Dinasti al-Khalifa yang kini menguasai Bahrain, sebagaimana juga dinasti-dinasti Arab lainnya, 200 tahun yang lalu diangkat oleh Inggris menjadi penguasa untuk mendukung kepentingan Inggris. Mereka semuanya pada awalnya hanyalah orang-orang suku badui terbelakang yang tidak mengerti baca tulis, namun sangat berguna bagi Inggris dalam mempertahankan kekuasaannya. Dengan kebodohannya itu mereka tidak segan-segan melakukan hal-hal di luar nalar kemanusiaan. Para orang-orang tua di Bahrain masih bisa mengingat dengan jelas bagimana dahulu raja mengirimkan preman dan tukang pukul untuk memunguti pajak dari rakyat-rakyat miskin. Sesekali terdengar kabar seorang bangsawan menculik wanita cantik dari kalangan jelata untuk dijadikan gundik.
Kekejian seperti itu mungkin tidak pernah lagi terdengar saat ini, namun bentuk-bentuk kekejian lain yang lebih "canggih" menggantikannya. Kerajaan memanipulasi kekuasaan melalui pemilu "main-main" dan menguasai semua sumber ekonomi terutama minyak, dan hanya menyisakan sedikit untuk rakyatnya. Dan sementara sebagian besar rakyat Bahrain hidup dalam kemiskinan, diskriminasi pekerjaan serta pengangguran, raja dan keluarganya hidup dalam istana mewah yang dibangun di atas tanah gusuran, memperkaya diri dengan bisnis kotor dan praktik-praktik korupsi dengan perusahaan-perusahaan, perbankan dan industri minyak asing.
Rakyat Bahrain telah berulangkali memprotes ketidak adilan ini. Mereka menginginkan pemerintah yang dipilih oleh mereka sendiri dan bekerja untuk kepentingan rakyat. Ini adalah tuntutan demokrasi dan HAM yang mendasar,
Selama beberapa dekade rakyat asli Bahrain yang mayoritas beragama Shiah, berulangkali menyampaikan penolakannya atas regim korup Al-Khalifa yang Sunni yang dilindungi oleh Inggris dengan kekuatan militernya. Pada tahun 1950-an hingga 1960-an tentara Inggris yang ditempatkan di negeri ini sering melakukan penembakan terhadap para demonstran.
Saat Inggris memberikan hadiah kemerdekaan kepada Bahrain tahun 1971, Inggris meninggalkan Bahrain dari pintu depan, namun diam-diam kembali melalui pintu belakang. Aparat keamanan Baharain misalnya, sampai saat ini masih dipimpin oleh perwira inteligen Inggris. Dan dengan itu semua polisi Bahrain berhasil menjadi salah satu polisi paling brutal di dunia. Salah satu intel Inggris yang menjadi pemimpin polisi Bahrain adalah Kolonel Ian Henderson antara tahun 1968 hingga 1998. Selama kepemimpinannya itulah ribuan rakyat Bahrain ditahan dan disiksa, sebagian bahkan melalui tangan Henderson sendiri.
Inggris juga menerapkan metode lain untuk berkuasa sebagaimana telah dilakukan di tempat-tempat lain, yaitu mengeksploitir perbedaan di dalam masyarakat. Di Bahrain Inggris sengaja menciptakan sentimen Shiah-Sunni dengan memberikan dukungan tanpa batas pada penguasa Sunni di atas penderitaan rakyat yang Shiah.
Untuk memperkuat "kebijakan" dikotomi Shiah-Sunni ini Inggris sengaja mendatangkan pekerja-pekerja Sunni dari berbagai negara untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga publik maupun perusahaan-perusahaan besar di Bahrain.
(bersambung)
No comments:
Post a Comment