Thursday 30 August 2012

HUBUNGAN KOTOR INGGRIS DAN DIKTATOR-DIKTATOR ARAB (2)

Inggris juga menerapkan metode lain untuk berkuasa sebagaimana telah dilakukan di tempat-tempat lain, yaitu mengeksploitir perbedaan di dalam masyarakat. Di Bahrain Inggris sengaja menciptakan sentimen Shiah-Sunni dengan memberikan dukungan tanpa batas pada penguasa Sunni di atas penderitaan rakyat yang Shiah.

Untuk memperkuat "kebijakan" dikotomi Shiah-Sunni ini Inggris sengaja mendatangkan pekerja-pekerja Sunni dari berbagai negara untuk mengisi jabatan di lembaga-lembaga publik maupun perusahaan-perusahaan besar di Bahrain, dan terutama adalah jabatan-jabatan di kemiliteran. Rekayasa sosial ini dimaksudkan untuk memperkuat kekuataan regim pro-Inggris sekaligus memperkuat sentimen Suni-Shiah yang setiap saat bisa dimanfaatkan untuk kepentingan Inggris.

Namun meski puluhan ribu warganegara asing dari negara-negara mayoritas Sunni seperti Syria, Jordania, Yaman, Saudi Arabia dan Pakistan masuk ke Bahrain untuk mendapatkan kewarganegaraan serta jabatan, secara demogratis warganegara Bahrain masih didominasi oleh orang-orang Shiah. Namun tetap saja isu seputar orang-orang Sunni asing yang menjadi warganegara Bahrain telah menjadi sebuah isu yang sensitif.

Sejak meletusnya kerusuhan di Bahrain yang dipicu oleh revolusi di Tunisia dan Mesir, regim al Khalifa telah berulangkali melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap warganya sendiri dengan menggunakan bantuan pasukan Saudi Arabia dan negara-negara Teluk lainnya. Belasan orang telah tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka dan cacat. Dalam satu episode kerusuhan yang paling biadab, pasukan dari Saudi Arabia menyerbu sebuah rumah sakit dan memukuli serta mengusir para demonstran yang tengah dirawat.

Ribuan orang telah mengalami penyiksaan, termasuk wanita dan anak-anak. Beberapa di antaranya bahkan tewas di ruang tahanan akibat penyiksaan aparat keamanan, sebuah fenomena yang hanya terjadi di masa lalu di negara-negara beradab.
Regim al Khalifa tidak mungkin bisa bertahan tanpa dukungan Inggris, juga Amerika dan regim-regim diktator Arab lainnya. Di tengah-tengah aksi kerusuhan yang terus melanda Bahrain, Inggris dan Amerika terus membanjiri aparat keamanan Bahrain dengan senjata "shotgun" (senjata laras panjang untuk pertempuran jarak dekat, mengeluarkan peluru yang memecah dan menyemprotkan butiran logam kecil) dan gas air mata. Senjata-senjata itu digunakan untuk menyerbu rumah-rumah penduduk dan tahun lalu telah menewaskan 40 warga sipil. Markas besar Armada V Amerika di Bahrain adalah simbol paling teguh yang menunjukkan dukungan barat terhadap regim al Khalifa.

Bulan November tahun lalu sebuah komisi penyidik internasional yang dipimpin pengacara Mesir Cherif Bassiouni menyimpulkan bahwa pemerintah Bahrain telah melakukan aksi-aksi brutal secara sistematik terhadap warga sipil. Komisi meminta pemerintah untuk melepaskan semua tahanan politik serta para aktifis HAM yang ditahan. Namun dengan cuek regim Al Khalifa mengabaikan tuntutan itu dan terus saja melakukan aksi-aksi biadabnya. Sementara itu baik Inggris maupun Amerika diam seribu bahasa atas semua kebiadaban itu. Sebaliknya mereka terus saja membanjiri Bahrain dengan senjata. Awal tahun ini saja Amerika telah mengirimkan senjata-senjatanya senilai $53 juta.

Inggris dan Amerika serta media massa mapan mereka mencoba menyembunyikan fakta dan menyebut regim al Khalifa tengah mencoba mengimplementasikan reformasi dan menggelar dialog nasional. Mereka mengabaikan fakta bahwa rakyat Bahrain tidak ingin lagi diperintah oleh regim pembunuh dan penindas seperti keluarga al Khalifa dan menginginkan pemerintahan yang dipilih oleh rakyat sendiri. Sebuah tuntutan demokrasi yang paling mendasar.

Tahun lalu, sebulan setelah laporan komisi penyidik internasional dirilis, Raja Hamad al Khalifa juga datang ke Inggris menemui David Cameron. Sebagai balasan Cameron mengirim seorang perwira polisi senior John Yates untuk "melatih" aparat keamanan Bahrain menghormati nilai-nilai HAM. Yates bergabung dengan utusan Amerika yang telah lebih dahulu dikirim, John Timoney. Namun pada dasarnya mereka tidak jauh berbeda dengan Henderson, hanya mungkin sedikit lebih "santun".

Gambaran lebih besar dari semua itu adalah bahwa Bahrain merupakan bagian integral dari panguasa-penguasa diktator Sunni Arab pelayan kepentingan Inggris dan Amerika. Sebagaimana penguasa Bahrain, penguasa-penguasa Saudi, Kuwait, Qatar, Uni Emirat Arab, Oman dan adalah regim-regim bentukan Inggris, berasal dari kalangan Arab badui primitif yang didudukkan di singgasana untuk menjamin minyak terus mengalir ke barat. Untuk itu semua para penguasa itu rela menindas rakyatnya sendiri.

Paska munculnya gerakan "Arab Spring" penguasa-penguasa itu bahkan memainkan peran yang lebih menonjol lagi bagi kepentingan barat: menjadi sponsor pemberontakan-pemberontakan bersenjata di negara-negara Arab untuk mendudukkan pemimpin-pemimpin baru yang lebih pro-barat. Mereka telah berhasil melakukannya di Libya dan kini tengah mengimplementasikannya di Syria dengan target terakhirnya Iran.

Hanya beberapa hari sebelum Cameron bertemu Raja Hamad al-Khalifa di London, seorang bocah berumur 16 tahun bernama Husam Al Haddad, ditembak punggungnya dan dipukuli hingga tewas oleh pasukan pembunuh al Khalifa dalam sebuah aksi demonstrasi damai di Manama. Pada saat hampir bersamaan polisi Saudi menangkap, menembak, dan memenjarakan seorang ulama Shiah yang sudah renta dengan tuduhan mengobarkan pemberontakan.


No comments: