Ketika terjadi aksi-aksi demonstrasi yang mengawali krisis politik Syria, bulan Februari 2011, peristiwa itu sama sekali bukan bentuk pemberontakan kepada pemerintah, melainkan tuntutan reformasi biasa oleh warga yang menuntut kebebasan berpolitik dan penghentian praktik-praktik korupsi sebagaimana terjadi di kebanyakan negara lainnya.
Aksi-aksi demonstrasi tersebut sedikit banyak juga terinspirasi oleh gerakan Revolusi Arab (Arab Springs) yang tengah melanda kawasan. Namun juga ada faktor lainnya, yaitu krisis ekonomi yang dipicu oleh reformasi ekonomi politik yang belum berjalan maksimal serta terjadinya kegagalan panen akibat faktor iklim yang tidak sesuai perkiraan. Semua itu memberi kesempatan bagi munculnya kembali sentimen sektarian, terlebih lagi dengan masuknya agen-agen wahabi/salafis di Syria ke dalam kelompok masyarakat yang pernah menjadi korban penumpasan pasukan pemerintah terhadap gerakan perlawanan yang digalang oleh kelompok Ikhwanul Muslimin pada dekade 1980-an.
Pada akhirnya, mental rakyat Syria yang telah terbentuk sebagai bangsa yang sangat toleran, pada beberapa kelompok mulai muncul radikalisme agama. Kondisi ini kemudian diperparah dengan masuknya militan-militan bersenjata dari luar negeri, terutama aktifis Al Qaida ataupun kelompok salafi radikal dari negara-negara Arab.
Tidak semua para "pejuang" Al Qaida ataupun salafi radikal bergerak karena motifasi agama, sebagian lainnya adalah karena motifasi uang. Mereka mendapat gaji dan bonus tinggi yang disediakan negara-negara petro-dollar Saudi dan Qatar. Para "mujahid profesional" dari Afghanistan, Bosnis, Chechnya, Irak, Yordania, Libya dll pun mengalir ke Syria, daripada ke Myanmar untuk membebaskan rakyat Rohingya, atau ke Pelestina untuk membebaskan Masjidil Aqsa.
Media-media massa barat dan Arab "ngotot" tentang keberadaan pasukan Syria yang membelot ke kubu pemberontak. Namun tentu saja keberadaan pasukan yang membelot tidak dilandasi karena penolakan mereka terhadap perintah menindas rakyat sipil, melainkan karena motif uang sebagaimana para "mujahid" di atas.
Tentara pemberontak Free Syrian Army menggunakan bendara bergaris hijau (bendera pemerintah bergaris merah) dan tiga bintang (bendera pemerintah berbintang 2). Media barat menyebut bendera mereka sebagai "bendera kemerdekaan", merujuk pada kemerdekaan Syria dari kekuasaan Perancis tahun 1946. Namun kenyataan sebenarnya bendera yang digunakan pemberontak adalah bendera kolonialis Perancis yang masih bercokol di Syria hingga tahun 1958. Tiga bintang melambangkan 3 etnis agama yang diakomodasi kolonialis Perancis, yaitu Alawit, Druze dan Kristen.
Penggunaan bendera kolonialis Perancis tentu saja tidak dimaksudkan sebagai simbol revolusi, melainkan simbol kolonialisme barat yang menjadi dasar dari pemberontakan di Syria saat ini.
Selama 18 bulan pemberontakan, para pemberontak tergabung dalam satuan-satuan kecil yang kurang terorganisir dengan kesisiplinan yang rendah. Sebagian dari mereka yang tergabung dalam satuan "Free Syrian Army" berada di bawah komando Turki. Namun pada dasarnya mereka adalah kepanjangan tangan dari NATO, markas besar mereka bahkan berada di markas NATO di pangkalan udara Incirlik, Turki.
Sebagian kelompok lainnya adalah para militan Salafi dan Al Qaida. Mereka berada di bawah komando negara-negara ARab Teluk seperti Saudi dan Qatar. Dalam tingkat lebih rendah negara-negara Teluk lainnya juga turut memberikan pengaruh pada mereka seperti ditunjukkan oleh kunjungan beberapa anggota parlemen Bahrain di markas persembunyian pemberontak Syria baru-baru ini. Namun pada akhirnya komando tertinggi kelompok ini berada di meja direktur CIA.
Revolusi pregressif yang diawali oleh gerakan petani miskin yang kemudian ditunggangi oleh tentara bayaran asing identik dengan yang terjadi di Nicaragua ketika CIA mengorganisir gerilyawan CONTRA untuk menggulingkan pemerintahan Sandinista, atau tatkala CIA mengorganisir kelompok-kelompok bersenjata termasuk kelompok kejahatan Mafia dalam insiden pendaratan Teluk Babi untuk menggulingkan Presiden Cuba Fidel Castro.
Tidaklah mengherankan jika para mantan gerilyawan CONTRA Cuba pada bulan Mei lalu mengadakan pelatihan dan seminar tentang perang gerilya kepada para pemberontak Syria.
(bersambung)
Ref:
"The Syrian opposition: who’s doing the talking?"; Charlie Skelton; Guardian.co.uk; 12 Jul 2012
"Who is Fighting in Syria?"; Thierry Meyssan; Information Clearing House; 25 Juli 2012
“Syrian opposition sets up summer camp in Miami”, Jean Guy Allard, Voltaire Network, 29 Mei 2012).
No comments:
Post a Comment