Sunday, 6 November 2016

Setelah 4 November, Lalu Bagaimana?

Indonesian Free Press -- Akhirnya aksi demonstrasi besar-besaran ummat Islam Indonesia terhadap kasus penistaan agama oleh mantan gubernur DKI Ahok pada tanggal 11 November berjalan sukses, menjungkir-balikkan harapan dan perkiraan para pendukung Ahok bahwa aksi tersebut akan berjalan chaos.

Ratusan ribu, beberapa pengamat bahkan menyebutkan angkanya mencapai 2 juta orang, berkumpul dan berbaris secara damai di depan istana negara, menyuarakan aspirasinya menuntut Ahok untuk diadili. Sampai maghrib aksi berjalan damai hingga ketika para demonstran tengah bergerak mundur sempat terjadi aksi kerusuhan. Pada malam harinya di wilayah Penjaringan juga terjadi aksi anarkisme terhadap sebuah minimarket. Namun kedua peristiwa itu, berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, hampir dipastikan dilakukan oleh provokator dan bukan oleh para demonstran.


Menghadapi kondisi yang di luar harapan itu, media pendukung Ahok, Metro TV, tampak gugup dan menampilkan judul liputan yang sangat jauh dari sebelum-sebelumnya, yaitu 'Aksi Demonstrasi Damai'.

Namun, meski aksi berjalan sukses, para demonstran yang mayoritas dari ummat Islam kecewa karena harapannya untuk bisa berdialog langsung dengan presiden mengalami kegagalan. Presiden Jokowi lebih memilih untuk melakukan kunjungan kerja yang tidak terlalu penting yaitu mengunjungi sebuah proyek pembangunan sarana transportasi, dan menolak menerima kunjungan para demonstran. Publik pun kecewa, karena JOkowi telah mengabikan aspirasi 'riel' ummat Islam yang merupakan mayoritas di Indonesia, selain membuktikan kebohongannya pada waktu kampanye pilpres lalu untuk selalu menerima peserta aksi-aksi demonstrasi yang ditujukan kepadanya.

Para perwakilan demonstran hanya diterima oleh Wapres Jusuf Kalla dan beberapa pejabat terkait. Dan kepada para demonstran Jusuf Kalla menyampaikan janji Kapolri untuk menyelesaikan kasus Ahok dalam waktu maksimal dua minggu. Sementara Jokowi sendiri, yang kembali ke Istana Negara setelah aksi demonstrasi berakhir di tengah malam, memberikan pernyataan pers yang dianggap kurang memenuhi harapan para demonstran. Ia berjanji akan menyelesaikan kasus penistaan agama Ahok secara 'cepat, tegas dan transparan', namun disertai tuduhan tidak simpatik tanpa bukti kepada para demonstran bahwa aksi mereka ditunggangi oleh aktor-aktor politik.

Merespons pernyataan Presiden itu Kapolri pun menyatakan bahwa gelar perkara kasus Ahok akan dilakukan secara terbuka. Namun ia berbohong soal tenggat waktunya. Jika sebelumnya ia berjanji akan menuntaskan kasus ini dalam waktu dua minggu (penyelidikan hingga penyidikan dan penyerahan berkas ke Kejaksaan), ia hanya menyebutkan bahwa waktu dua minggu itu hanya untuk penyelidikan sebelum Ahok bisa dinyatakan sebagai tersangka.

Kebohongan polisi kemudian terus berlanjut, seiring upaya pengalihan isyu kasus Ahok yang dilakukan secara massif oleh para pendukung Ahok. Polisi seolah-olah sudah mem-framing bahwa Ahok tidak bersalah, dan ia hanya korban fitnah yang dilakukan oleh Buni Yani, penyebar video penistaan agama Islam oleh Ahok di Kepulauan Seribu pada bulan September lalu. Publik pun curiga bahwa gelar perkara secara terbuka justru menjadi justifikasi 'framing' yang dilakukan polisi dan para pendukung Ahok. Mereka tahu bahwa hal itu tidak menjamin terjadinya penyelidikan dan penyidikan yang fair, karena polisi bisa menentukan sendiri para saksi dalam proses ini. Beberapa 'tokoh' juga sudah mendeklarasikan diri sebagai pendukung Ahok, dan mereka bisa dipakai oleh polisi, seperti Imam Masjid Istiqlal Nasaruddin, dan mantan ketua Muhammadiyah Syafei Ma'arif.

Lalu, bagaimana jika yang terjadi adalah seperti 'framing' polisi dan para pendukung Ahok?

Hampir bisa dipastikan akan terjadi chaos. Tuntutan diadilinya Ahok justru akan membesar, dan ini hanya memberikan dua pilihan bagi pemerintah untuk meresponnya, yaitu melakukan tindakan represif, atau 'terpaksa' memenuhi tuntutan publik dengan menangkap Ahok dengan tuduhan menimbulkan keributan dan mengancam keamanan.

Jika langkah kedua yang dipilih pemerintahan Jokowi, kerusuhan mungkin bisa dihentikan dan pemerintahan Jokowi pun aman dari pemakzulan. Namun, jika pilihan pertama yang dipilih, maka kondisi yang paling ditakutkan bakal terjadi. Darah akan tertumpah dan itu akan mendorong TNI untuk bertindak dengan mengambil alih keamanan dan sekaligus otomatis mengambil alih kekuasaan dari pemerintahan Jokowi.

TNI yang lahir dari rakyat, dan selalu bersama rakyat dalam segala situasi sulit, tentu tidak akan rela negara yang turut didirikan  oleh para pendiri TNI ini hancur hanya gara-gara seorang Ahok dan regim Jokowi yang melindunginya. Apalagi melihat fakta bahwa sekelompok kecil pemilik modal, yang kebetulan adalah etnis yang sama dengan Ahok, telah terlalu mendominasi dalam banyak aspek. Setelah menguasai ekonomi, mereka kini bahkan berusaha untuk menguasai politik.

Hanya orang bodoh yang menganggap kasus Ahok ini akan berakhir begitu saja setelah polisi menetapkannya bebas dari tuntutan pidana penistaan agama. Terlebih lagi ini adalah negara Indonesia yang didirikan melalui perjuangan bersenjata oleh segala komponen masyarakat, dan ummat Islam dan TNI sebagai tulang punggungnya.

Sekarang 'bola panas' tengah berada di tangan Kapolri dan Presiden Jokowi. Jika mereka tidak bijak dan dan terus bermain api, mereke berdua yang harus menanggung akibat.(ca) 

1 comment:

Kasamago said...

hanya TNI yang masih berpihak pada suara publik.. hal ini tmpk terlihat dr keakraban para peserta demo dg aparat, bahkan ad berita TNI membantu kepulangan peserta demo yg terlantar..

Semoga saja Pemerintah memberikan keadilan yg diharapkan..