Sunday, 3 October 2010
Mobil Listrik Iran dan Jepang
Keterangan gambar: mobil hybrid produksi Iran
Saya selalu mengagumi negara-negara yang senantiasa melakukan terobosan untuk mensejahterakan rakyatnya karena bosan melihat para pemimpin negeri sendiri lebih banyak berfikir untuk kesenangan diri sendiri daripada kesejahteraan rakyatnya. (Halo Pak SBY, bagaimana dengan kabar ttg anggaran pakaian presiden yang mencapai Rp 70 juta per-bulan dan furniture mencapai 2,5 miliar setahun? Kalau memang tidak benar, mengapa tidak menuntut balik LSM yang menjadi wistle blower berita ini, sebagaimana Anda menuntut orang yang telah menfitnah Anda sebagai pelaku poligami?).
Saya mengagumi Jepang yang mempelopori pengoperasian kereta api super cepat pertama di dunia pada tahun 1964, karena meski dengan kecepatan biasa sekalipun, kereta api adalah moda transportasi massal yang paling efisien sampai saat ini, di samping juga ramah lingkungan. Saya mengagumi Cina yang telah mengoperasikan kereta api tercepat di dunia (kecepatan operasional mencapai 350 km per-jam dan rata-rata mencapai 310 km/jam, bukan kecepatan eksperimental yang dicatat oleh kereta api TGV Perancis) dan membangun jalur kereta api hingga ke Lhasa di puncak Himalaya, hingga mendorong perekonomian Cina semakin maju di samping harga diri bangsa Cina yang semakin tinggi karena memiliki teknologi sipil dan perkereta-apian paling maju di dunia. Saya juga mendengar China tengah merencanakan mengoperasikan bus raksasa yang bisa mengangkut ratusan orang sekali angkut yang prinsip kerjanya meniru container crane.
Sementara para pemimpin Indonesia hanya pintar berwacana: jembatan Selat Sunda, jalan tol Trans Sumatera, Kalimantan, Irian, dan Sulawesi, dlsb. Kalau pun ada terobosan seperti bus Trans Jakarta misalnya, dilakukan dengan setengah hati sehingga Jakarta masih saja macet dan penuh polusi. Beberapa antek kepentingan bisnis mobil dan minyak bahkan sempat mencoba menghambat pembangunan Trans Jakarta, dengan isu penghijauan kawasan Pondok Indah, atau isu kemacetan yang justru ditimpakan kepada Trans Jakarta. Pemda Jakarta bahkan rela merugi puluhan miliar dengan menunda pengoperasian dua jalur Trans Jakarta meski infrastuktur dan busnya telah tersedia. Proyek monorail yang telah memasuki tahap pembangunan konstruksi pun dihentikan di tengah jalan dengan kerugian yang ditanggung tidak sedikit nilainya.
Kini SBY bahkan mewacanakan pemindahan ibukota yang berani bertaruh hingga masa jabatannya berakhir, tidak akan pernah jelas di mana nantinya ibukota baru yang dimaksud SBY. Atau kalau pun kemudian telah mulai dibangun, dibiarkan mangkrak sebagaimana monorail.
Sekitar tiga tahun lalu saya pernah berdebat dengan seorang bloger terkenal di blognya yang pernah menjadi blog paling banyak dikunjungi di Indonesia. Sang bloger ternyata "pro-status quo", bagitu saya menyebutnya, atau para bloger barat menyebutnya "stupid liberal", "ignorant", "braindead", "brainwashed" dll. Sebenarnya saya lebih senang menyebutnya "useful idiots" sebagaimana sebutan Stalin kepada orang-orang kulit putih na'if pendukung komunisme. Mereka adalah orang-orang yang mencurigai orang-orang yang kritis dan terbuka pikirannya sebagai "paranoid" atau "conspiracy theorist". Singkat kata kami berdebat soal efisiensi mobil listrik, di mana saya berpendapat mobil listrik lebih efisien dan performanya tidak kalah dibanding mobil bahan bakar fosil, sementara sang blogger berpendapat sebaliknya.
Saat itu sebenarnya saya masih belum mendapatkan informasi tentang mobil listrik buatan Jepang yang mampu berlari hingga 350 km/jam. Saya juga belum mendapatkan informasi tentang Tesla Roadster, mobil listrik yang mampu berlari hingga kecepatan 250 km/jam sepanjang 350 km non-stop. Mobil ini bahkan tidak kalah performancenya dibanding mobil-mobil sport mewah seperti Porche, Ferrari atau Lamborghini, karena Tesla Roadster mampu mencapai kecepatan 100 km/jam hanya dalam waktu 3,7 detik. Tentu saja Tesla Roadster lebih nyaman karena tidak mengeluarkan bunyi ledakan di dalam mesinnya sebagaimana mobil berbahan bakar fosil. Dan satu lagi, Tesla Roadster jauh lebih ramah lingkungan karena tidak mengeluarkan asap.
Baru-baru ini saya membaca berita tentang pengoperasian mobil taxi berbahan bakar listrik di Jepang serta produksi mobil hybrid oleh Iran. Dalam hal ini saya merasakan sebuah kontradiksi dengan keadaan di tanah air. Jepang adalah negara produsen mobil berbahan bakar fosil terbesar di dunia, sementara Iran adalah salah satu produsen bahan bakar fosil terbesar di dunia. Secara logika, mereka tidak terlalu membutuhkan mobil irit bahan bakar karena bertentangan dengan kepentingan ekonomi mereka. Jika mobil mobil listrik atau mobil hybrid menggantikan mobil berbahan bakar fosil, maka Jepang akan mengalami kerugian. Demikian juga Iran yang minyaknya menjadi kurang laku. (Oh ya, Iran diam-diam ternyata memiliki perusahaan pembuat mobil sendiri yang dalam satu tahun mampu memproduksi 700.000 mobil. Ini tentunya menjadi sumbangsih besar kesejahteraan rakyat Iran, karena industri ini menyerap tenaga kerja yang tidak sedikit serta tentunya keuntungan berupa devisa dari mobil yang diekspor, atau minimal menghemat devisa karena tidak perlu mengimpor). Tapi para pemimpin kedua negara berfikir sehat: mobil bahan bakar fosil adalah "barang kotor" yang harus segera dibuang karena polutan dan boros.
Lalu saya membandingkannya dengan keadaan di Indonesia. Saya melihat dari hari ke hari kota-kota besar di Indonesia semakin penuh sesak dengan kendaraan motor yang mengakibatkan kemacetan dan polusi udara. Secara ekonomi kondisi ini juga sangat merugikan karena banyaknya bahan bakar yang terbuang percuma. Mohon ma'af kalau saya berfikir, pemerintah memang tidak pernah bermaksud mengurangi jumlah kendaraan bermotor untuk digantikan dengan sarana transportasi publik yang nyaman, aman dan murah, karena berarti berkurang fee dan komisi yang mereka terima dari para pebinis mobil dan BBM.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment