Friday, 9 December 2011

Puasa Asyura – Penyimpangan Historis?


By daengrusle On January 18, 2008



Hari ini, 10 Muharram, banyak Muslim yang saleh me­lakukan puasa Asyura (Asyura artinya tanggal 10 Muharram) Mereka ingin mencontoh Rasulullah saw. yang berpuasa pada hari itu. Saya kutipkan salah satu hadis tentang puasa Asyura dari Shahih Bukhari:

“Dari Ibnu ‘Abbas, ketika Nabi Muhammad saw. tiba di Madinah dia melihat orang Yahudi berpuasa pada hari Asyura. Nabi saw. bertanya: ‘Apakah ini?’ Orang-orang Yahudi berkata: ‘Ini hari yang balk. Pada hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, maka Musa a.s. berpuasa pada hari itu.’ Kata Nabi saw.: ‘Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian.’ Maka Nabi pun melakukan puasa dan menyuruh orang untuk melakukannya juga.”

Bukhari menyatakan -hadis ini sahih. Tetapi marilah kita teliti dengan ilmu hadis dan kritik historis. Segera kita menemukan beberapa hal yang janggal.

Pertama. Sahabat yang meriwayatkan peristiwa ini adalah Abdullah ibnu ‘Abbas. Menurut para penulis biografinya, Ibnu ‘Abbas lahir tiga tahun sebelum hijrah. Ia hijrah ke Madinah pada tahun ketujuh Hijri. jadi, ketika Nabi saw. tiba di Madinah, Ibnu ‘Abbas masih di Makkah dan belum menyelesai­kan masa balita-nya.

Dari mana Ibnu ‘Abbas mengetahui peristiwa, itu? Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia menyembunyikan sumber berita, sehingga seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa itu. Dalam ilmu hadis, perilaku seperti itu disebut tadlis (Pelakunya disebut mudallis)

Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu ‘Abbas. Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian. Dia keburu meninggal dunia. Masih menurut Muslim, dan juga dari Ibnu ‘Abbas, Nabi saw. sempat melakukannya setahun sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat Ibnu ‘Abbas ini dengan riwayat-riwayat dari sahabat-sahabat Nabi yang lain, kita akan menemukan lebih banyak lagi pertentangan. Menurut Siti Aisyah, Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa Asyura setelah turun perintah puasa Ramadhan (Shahih Bukhari). Menurut Mu`awiyah, Nabi saw. memerintahkan puasa Asyura pada waktu haji wada [Shahih Bukhari]

Ketiga, Nabi saw. menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura ketika dia tiba di Madinah. Semua ahli sejarah sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi`ul Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10 Muharram pada 12 Rabi`ul Awwal? Mungkinkah orang shalat Jum’at pada hari Senin?

Keempat, Nabi saw. diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk melakukan puasa Asyura. Bukankah Nabi berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara? “Bedakan dirimu dari orang Yahudi,” kata Rasulullah saw. Begitu seringnya Nabi saw. mengingatkan umat Islam waktu itu untuk berbeda dengan Yahudi, sampai seorang Yahudi berkata, “Lelaki ini (maksudnya Muhammad) tidak ingin membiarkan satu pun tradisi kita yang tidak ditentangnya)” [Lihat Sirah Al-Halabi­yah, 2:115]

Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya dikenal oleh sebagian umat Islam, berdasarkan riwayat yang otentisitas dan validitasnya kita ragukan itu.

Berdasarkan penelitian di atas, banyak di antara kita dengan setia menjalankan sunnah Rasulullah saw yang tidak benar. Bila pe­nelitian historis ini kita lanjutkan kita akan menemukan bahwa puasa Asyura adalah hasil rekayasa politik Bani Umayyah. Yazid bin Mu`awiyah berhasil membantai -keluarga Rasulullah saw. di Karbela pada 10 Muharram. Bagi para pengikut keluarga Nabi saw, hari itu adalah hari dukacita, hari berkabung, bukan hari bersyukur. Bani Umayyah menjadikan hari itu hari bersyukur. Salah satu ungkapan syukurnya ialah menjalankan puasa. Di samping riwayat-riwayat di atas ditambahkan juga riwayat-riwayat lain. Konon, pada 10 Muharram Allah SWT menyelamatkan Musa dari kejaran Fir`aun, menyelamatkan Nuh dari air bah, menyelamatkan Ibrahim, dari api Namrud, dan sebagainya.

[tulisan diatas di kutip dari buku Islam Aktual - Jalaluddin Rakhmat, dibawah judul: Kritik Hadist]

Tak ada kisah tragis yang melebihi kedahsyatan tragedi Karbala, bahkan Raja Bani Umayah waktu itu, Yazid bin Muawiyah secara diplomatis berusaha menyangkal kejadian itu dan melemparkan tanggung jawab ke panglima perangnya yang durjana Ubaidillah bin Ziyad, walaupun strategi politik dan kenyataan sejarahnya malah menguatkan hal itu. Imam Huseyn bin Ali AS adalah Amirul Mukminin dan Khalifah Nabi yang sah yang dipilih oleh umat Islam waktu itu, sepeninggal saudaranya Hasan bin Ali AS. Perseteruan politik dan kerakusan akan kekuasaan oleh Bani Umayah membuat mereka hilang ingatan, berusaha membantai lawan politiknya yang tak lain adalah cucunda Rasulullah SAWW.

Suatu ketika di suatu masa, seorang pemimpin keluarga, pemimpin komunitas yang disucikan, selama 10 hari berturut2 dipaksa untuk berpuasa di padang gersang, tak jauh darinya ada oase yang dijaga oleh tentara2 bengis yang berpedoman pada kitab yang sama, al-Quran yang mulia. Imam Huseyn bin Ali Sayyidu- syuhada Alaihimussalam, cucunda Rasulullah SAWW dengan kekuatannya yang hanya berjumlah 72 orang melewati hari ke 10 Muharram tahun 61Hijriah dengan erangan ketika leher suci beliau dipenggal oleh Syimr bin Dzil Jausyan. Cerita lengkap dapat disimak di link ini; Pembantaian di Karbala. Dan kemudian sejarah membuktikan, pembantaian demi pembantaian yang dilakukan oleh sesama Muslim diteruskan oleh para durjana bersorban demi kekuasaan dunia.

10 Muharram tahun 61 Hijriah, Imam Husain a.s. gugur syahid di Padang Karbala. Sebelumnya, Imam Husain a.s. dipaksa untuk berbaiat kepada Yazid yang telah mengangkat diri sebagai khalifah umat muslimin. Imam Husain menolak berbaiat dan beliau bersama 72 sahabat dan anggota keluarganya, meninggalkan Madinah untuk menuju kota Kufah. Sebelumnya, rakyat kota Kufah mengundang beliau agar memimpin perjuangan melawan Yazid. Namun, represi dari pemerintahan Yazid membuat rakyat Kufah berkhianat dan dalam perjalanan menuju Kufah, kafilah Imam Husain digiring ke Padang Karbala, di tepi sungai Eufrat. Akhirnya pada tanggal 10 Muharam, pasukan Yazid menyerang Imam Husain. Dalam pertempuran yang sangat tidak seimbang itu, Imam Husain dan para pembela setia beliau gugur syahid.

Akulah Husein putra Ali, putra Fatimah
Untuk tunduk, aku tak kan sudi
Kubela keluarga ayahku sampai mati
aku memegang teguh agama Nabi

Kafilah Karbala Tiba di Damaskus
1 Shafar tahun 61 Hijriah, kafilah Karbala tiba di Damaskus, ibu kota pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Dua puluh hari sebelumnya, tanggal 10 Muharram, Imam Husain a.s. beserta 72 anggota kafilah beliau bertempur di Padang Karbala melawan pasukan Yazid yang berjumlah ribuan orang. Imam Husain a.s. dan beberapa kerabat serta sahabat setia beliau gugur syahid dalam pertempuran ini. Sisa rombongan yang terdiri dari kaum perempuan, anak-anak, dan Imam Ali Zainal Abidin yang saat itu sedang sakit, ditawan oleh pasukan Yazid dan digiring ke Damaskus. Di hadapan khlayak Damaskus, Imam Zainal Abidin dan Sayyidah Zainab menyampaikan kejadian Karbala dan membongkar perilaku keji pasukan Yazid. Untuk mengelakkan kemarahan rakyatnya, Yazid mengingkari telah memerintahkan pembunuhan terhadap Imam Husain a.s. dan melemparkan kesalahan kepada komandan pasukannya, Ubaidillah bin Ziyad. Yazid juga terpaksa membebaskan kafilah Karbala untuk kembali ke Madinah.


* dicopas dari http://www.daengrusle.net/puasa-asyura-penyimpangan-historis/


Catatan blogger:

Tidak banyak orang yang mengaku Islam yang mengetahui bahwa pada Hari Asyura tidak hanya Hussein yang meninggal dibantai secara keji oleh Yazid bin Muawiyah bin Abu Sufyan laknatullah. Hari itu semua kerabat keluarga Rosul (ahlul bayt) laki-laki tewas dibantai. Salah satunya adalah cicit Rosul yang masih bayi, yang dipanah pasukan Yazid saat dalam gendongan Hussein.

Tapi Allah telah berkehendak untuk memakmurkan dan memuliakan keturunan Rosul. Salah satu putra Hussein, Sayyed Zainal Abidin selamat dari pembantaian karena dilindungi oleh bibinya, Zainab sang cucu Rosul. Dari Zainal Abidin inilah kemudian keturunan Rosul berkembang hingga sekarang hingga tidak ada manusia mulia pemeluk Islam yang tidak mengaku sebagai keturunan Rosul.

Dan Shiah adalah komunitas yang dengan gigih mempertahankan kemuliaan keturunan Rosul, baik dengan memberi gelar khusus maupun perlakuan khusus lainnya kepada mereka.

Allah berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang memusuhimu-lah yang terputus (keturunannya)".

Kita tidak tahu dimana sekarang keturunan musuh-musuh Rosul. Makam Yazid dan keluarganya konon dibongkar oleh orang-orang setelah regim Bani Umayyah runtuh, tulang belulangnya dibakar. Makam Muawiyah yang masih ada di Damaskus kini hanya menjadi tempat orang buang kotoran hingga harus ditembok tinggi dan digembok rapat.

1 comment:

abu bakar said...

solat dhuha adakah penyimpangan historis?