Tuesday, 10 April 2012
SAUDI KEMBALI MAINKAN PERAN YANG DIATUR AMERIKA
Keterangan gambar: PM Nur Maliki dan Wapres Hashemi (kanan)
Kemenangan rakyat Irak atas Amerika yang telah menjajah mereka selama 8 tahun mungkin masih harus melalui perjuangan yang lebih berat lagi. Amerika meninggalkan politik pecah-belah yang kini masih membutuhkan proses panjang untuk diselesaikan rakyat Irak. Apalagi dengan peran aktif para pembantu Amerika di sekeliling mereka seperti Arab Saudi dan Qatar untuk memainkan skenario Amerika.
Hubungan politik Iran dan Arab Saudi hampir dipastikan akan mengalami kemunduran besar dalam waktu dekat ini setelah Saudi menerima kedatangan buronon pemerintah Irak, yaitu mantan wapres Tareq al-Hashemi yang dituduh mengorganisir pasukan teroris di Irak. Padahal Saudi baru saja membuka kantor perwakilan diplomatiknya di Irak yang ditutup sejak invasi Irak atas Kuwait tahun 1990.
Seorang pejabat Saudi yang tidak disebutkan namanya mengakui kepada kantor berita Perancis "Agence France Press (AFP)", Kamis (5/4), bahwa “Hashemi telah tiba di kerajaan dan telah bertemu dengan menlu Saud al-Faisal”. Pejabat lainnya menuturkan kepada "Reuters" bahwa Hashemi telah datang ke Saudi hari hari Kamis (5/4) untuk melakukan ibadah umroh.
Sebelumnya Hashemi telah membuat hubungan Irak dengan Qatar memanas setelah kedatangannya ei negeri tersebut hari Minggu (1/4). Irak langsung menuntut Qatar untuk mengembalikan Hashemi dan menyebut tindakan Qatar sebagai "tidak bisa diterima". Pemerintah Qatar menolak tuntutan Irak dan menyebut hal itu sebagai "melanggar norma diplomatik".
"Tindakan pemerintah Qatar menerima kedatangan seorang buronan adalah tidak bisa diterima dan Qatar harus menghentikan tindakan mereka serta menyerahkan kembali (Hashemi) ke Irak," kata wakil PM Irak, Hussein al-Shahristani, sehari setelah kedatangan Hashemi di Qatar.
Hashemi sendiri diterima langsung oleh Emir Qatar Sheikh Hamad bin Khalifa al-Thani hari Senin (2/4). Mereka berdua mendiskusikan "hubungan 2 negara bersaudara dan perkembangan di kawasan," demikian tulis kantor berita Qatar QNA.
Shahristani juga mengecam pemerintahan otonomi Kurdistan di Irak yang telah melindungai Hashemi sejak dikeluarkannya perintah penangkapan kepada Hashemi akhir tahun silam, atau setelah penarikan pasukan Amerika dari Irak. Tindakan melindungi dan membiarkan Hashemi melarikan diri ke luar negeri disebut Shahristani sebagai "pelanggaran terang-terangan terhadap hukum dan keadilan."
Hashemi sendiri menolak tuduhan tersebut dan menyebutnya sebagai "tuduhan berdasar motif politik". "Tidak ada putusan hukum apapun terhadap saya, dan permintaan itu (ekstradisi dari pemerintah Irak kepada Qatar) melanggar artikel 93 konstitusi Irak yang memberikan hak imunitas kepada saya," komentar Hashemi kepada AFP.
Lebih jauh Hashemi bahkan membuat pernyataan kontroversial perihal hubungan Sunni-Shiah di Irak yang sensitif. Dalam wawancara dengan Al Jazeera, Rabu (4/4), Hashemi menyebutkan bahwa PM Nur Maliki yang berasal dari kalangan Shiah, berusaha menyingkirkan orang-orang Sunni dari kekuasaan dan tuduhan terhadap dirinya juga berdasar motif sektarian. Untuk meyakinkan pernyataannya tersebut Hashemi mengatakan bahwa lebih dari 90% tahanan di Irak adalah orang-orang Sunni.
Hubungan Irak dengan "negara bagian" Kurdistan sendiri masih tidak menentu, terutama setelah larinya Hashemi serta aksi penghentian ekspor minyak dari Kurdistan oleh pemerintah provinsi Kurdistan. Pemerintahan Provinsi Kurdistan di Arbil sejak awal meminta agar wilayah Kirkuk yang kaya minyak dimasukkan dalam wilayah mereka, hal yang ditolak mentah-mentah oleh pemerintah pusat di Baghdad. Perselisihan ini dipandang sebagai ancaman serius bagi keutuhan jangka panjang negara Irak paska pendudukan Amerika.
Pada bulan lalu gubernur propinsi Kurdistan Massud Barzani bahkan mengancam akan memisahkan diri dari Irak dengan menuduh PM Nuri Al Maliki telah memonopoli kekuasaan dan membentuk tentara yang loyal pada dirinya sendiri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment